Menangkap Peluang pada Langkah Baru Konsumen
A
A
A
ERA digital membuat cara dan proses membeli seorang calon pembeli berbeda dengan sebelumnya. Dulu harus mendatangi lokasi di mana produk yang akan dibeli dipajang, namun sekarang bisa dilakukan dari mana saja cukup dengan mengoperasikan laptop, atau tablet atau smartphone.
Kalau sebelumnya penjual harus menyediakan tempat dengan lokasi yang strategis, dijadikan show-room untuk mendisplay produk sekarang mengalihkan sebagian investasinya untuk menyajikan showroom secara virtual dalam bentuk platform website dan blog di internet. Kita menyaksikan menjamurnya toko on-line yang bermunculan dengan iklan mereka yang gencar di berbagai media TV maupun cetak.
Situasi ini mengubah pola dan proses dalam pengambilan keputusan membeli dari konsumen. Bagi penjual yang tidak menyadari akan perubahan ini akan tertinggal dan kehilangan pembeli, bagi penjual yang cukup aktif akan berusaha untuk mengikutinya, namun itu saja tidak menjamin keberhasilan jika sekadar ikut-ikutan.
Hanya penjual yang kreatif dan inovatif dan menjadi trendsetter yang akan memimpin pasar melalui pemasaran ala digital. Sebagaimana persaingan dalam dunia nyata (real world), maka persaingan dalam dunia maya (virtual world) tidak kalah seru.
Ketika penjual berhadapan langsung dengan pembeli maka penjual mempunyai kesempatan untuk memengaruhi dan membujuk calon pembeli namun melalui dunia maya kesempatan itu sangat berkurang oleh karena interaksi sepenuhnya berada di tangan dan dikendalikan oleh calon pembeli.
Oleh karena itu, menjadi tantangan besar bagi penjual dalam menangkap peluang pada setiap langkah baru pembeli secara digital yang jauhberbedadengantransaksidi dunia nyata. Bagaimana merancang agar calon pembeli tertarik dan mengikuti petunjuk dari penjual melalui tahapan proses membeli secara digital.
McKinsey melakukan riset selama enam tahun terhadap dua ratus perusahaan berskala global dan lokal untuk menelusuri proses perjalanan calon pembeli dalam mengambil keputusan di era digital ini dan pernah dimuat di Harvard Business Review , bulan Desember 2010 dan September 2013.
Perusahaan penjual yang tadinya reaktif menunggu calon pembeli mengklik, kini menjadi agresif dan proaktif melalui alur dan langkah yang menarik dan mudah bagi calon pembeli. Ada empat jenis kemampuan yang perlu dimiliki oleh perusahaan penjual yang memasarkan produknya secara digital: a. automation, b. proactive personalization, c. contextual interaction, d. journey innovation.
Pertama, automation (otomatisasi). Meliputi digitalisasi dan penyederhanaan langkahlangkah konsumen yang dahulunya dilakukan secara manual. Contoh yang mudah adalah transfer uang yang dulunya harus datang di counter bank, mengisi formulir, menyetor uang, sekarang cukup dengan mengklik di smartphone, proses berjalan dan transaksi terlaksana.
Demikian pula dengan proses membeli barang, semua dapat dilakukan dengan smartphone dalam genggaman tangan. Proses memilih barang, mengonfirmasi pembelian, membayar harganya dan dalam hitungan hari bahkan jam barang tiba di rumah kita atau di tempat yang kita berikan alamat lengkapnya.
Jika ada keluhan, kembali anda mengklik pada inbox pengaduan, menyampaikan keluhan kita dan barang ditukar atau uang dikembalikan.
Kedua, proactive personalization. Setelah pembeli melakukan satu kali transaksi kita mempersiapkan kartu langganan secara digital yang memuat informasi dan data dari setiap pembeli, bukan saja profil pembeli yang bersangkutan akan tetapi juga riwayat pembelian:
Nama dan jenis barang, kuantitas, nilai uang, frekuensi pembelian dan data serta informasi lainnya yang dapat dihimpun dengan demikian kita dapat proaktif menawarkan baik untuk produk yang pernah di beli maupun produk baru yang cocok bagi setiap pelanggan kita. Melalui interaksi dan pesanan pelanggan, kita dapat mengetahui perilaku para pelanggan kita.
Ketiga, contextual interaction. Pembeli umumnya tidak terhenti pada satu transaksi dan menginginkan adanya komunikasi dengan penjual entah dengan cara berhadapan muka langsung, berbicara melalui telepon dan sekarang dengan berbagai jenis koneksi digital, ataupun dengan memposting pada inbox yang disediakan dan juga e-mail. Jangan sampai pembeli merasa tidak diindahkan karena tidak mendapat tanggapan dari penjual.
Keempat, journey innovation. Sistem komunikasi dua arah, memerlukan modifikasi dan inovasi dengan tujuan untuk memberikan kenyamanan dalam berinteraksi, antusias dengan berbagai fitur, laman dan atraksi yang disajikan, kemudahan dalam melakukan pemesanan, menyampaikan keluhan maupun pujian disertai dengan kecepatan dalam penanganan atau tindak lanjut dari setiap pemesanan maupun keluhan.
Dalam mempertahankan dan membina hubungan dengan pelanggan, perusahaan perlu terus menerus memelihara kontak dengan para pelanggan melalui berbagai saluran komunikasi yang disebutkan di atas, namun perlu diperhatikan agar kita tidak mengganggu berlebihan terhadap pelanggan kita oleh karena bisa menimbulkan kejengkelan yang menyebabkan dan mendorong pelanggan memutuskan hubungan dan tidak lagi merespons setiap kontak yang kita lakukan.
DR. ELIEZER H. HARDJO PH.D., CM
Ketua Dewan Juri Rekor Bisnis (ReBi) & The Institute of Certified Professional Managers (ICPM)
Kalau sebelumnya penjual harus menyediakan tempat dengan lokasi yang strategis, dijadikan show-room untuk mendisplay produk sekarang mengalihkan sebagian investasinya untuk menyajikan showroom secara virtual dalam bentuk platform website dan blog di internet. Kita menyaksikan menjamurnya toko on-line yang bermunculan dengan iklan mereka yang gencar di berbagai media TV maupun cetak.
Situasi ini mengubah pola dan proses dalam pengambilan keputusan membeli dari konsumen. Bagi penjual yang tidak menyadari akan perubahan ini akan tertinggal dan kehilangan pembeli, bagi penjual yang cukup aktif akan berusaha untuk mengikutinya, namun itu saja tidak menjamin keberhasilan jika sekadar ikut-ikutan.
Hanya penjual yang kreatif dan inovatif dan menjadi trendsetter yang akan memimpin pasar melalui pemasaran ala digital. Sebagaimana persaingan dalam dunia nyata (real world), maka persaingan dalam dunia maya (virtual world) tidak kalah seru.
Ketika penjual berhadapan langsung dengan pembeli maka penjual mempunyai kesempatan untuk memengaruhi dan membujuk calon pembeli namun melalui dunia maya kesempatan itu sangat berkurang oleh karena interaksi sepenuhnya berada di tangan dan dikendalikan oleh calon pembeli.
Oleh karena itu, menjadi tantangan besar bagi penjual dalam menangkap peluang pada setiap langkah baru pembeli secara digital yang jauhberbedadengantransaksidi dunia nyata. Bagaimana merancang agar calon pembeli tertarik dan mengikuti petunjuk dari penjual melalui tahapan proses membeli secara digital.
McKinsey melakukan riset selama enam tahun terhadap dua ratus perusahaan berskala global dan lokal untuk menelusuri proses perjalanan calon pembeli dalam mengambil keputusan di era digital ini dan pernah dimuat di Harvard Business Review , bulan Desember 2010 dan September 2013.
Perusahaan penjual yang tadinya reaktif menunggu calon pembeli mengklik, kini menjadi agresif dan proaktif melalui alur dan langkah yang menarik dan mudah bagi calon pembeli. Ada empat jenis kemampuan yang perlu dimiliki oleh perusahaan penjual yang memasarkan produknya secara digital: a. automation, b. proactive personalization, c. contextual interaction, d. journey innovation.
Pertama, automation (otomatisasi). Meliputi digitalisasi dan penyederhanaan langkahlangkah konsumen yang dahulunya dilakukan secara manual. Contoh yang mudah adalah transfer uang yang dulunya harus datang di counter bank, mengisi formulir, menyetor uang, sekarang cukup dengan mengklik di smartphone, proses berjalan dan transaksi terlaksana.
Demikian pula dengan proses membeli barang, semua dapat dilakukan dengan smartphone dalam genggaman tangan. Proses memilih barang, mengonfirmasi pembelian, membayar harganya dan dalam hitungan hari bahkan jam barang tiba di rumah kita atau di tempat yang kita berikan alamat lengkapnya.
Jika ada keluhan, kembali anda mengklik pada inbox pengaduan, menyampaikan keluhan kita dan barang ditukar atau uang dikembalikan.
Kedua, proactive personalization. Setelah pembeli melakukan satu kali transaksi kita mempersiapkan kartu langganan secara digital yang memuat informasi dan data dari setiap pembeli, bukan saja profil pembeli yang bersangkutan akan tetapi juga riwayat pembelian:
Nama dan jenis barang, kuantitas, nilai uang, frekuensi pembelian dan data serta informasi lainnya yang dapat dihimpun dengan demikian kita dapat proaktif menawarkan baik untuk produk yang pernah di beli maupun produk baru yang cocok bagi setiap pelanggan kita. Melalui interaksi dan pesanan pelanggan, kita dapat mengetahui perilaku para pelanggan kita.
Ketiga, contextual interaction. Pembeli umumnya tidak terhenti pada satu transaksi dan menginginkan adanya komunikasi dengan penjual entah dengan cara berhadapan muka langsung, berbicara melalui telepon dan sekarang dengan berbagai jenis koneksi digital, ataupun dengan memposting pada inbox yang disediakan dan juga e-mail. Jangan sampai pembeli merasa tidak diindahkan karena tidak mendapat tanggapan dari penjual.
Keempat, journey innovation. Sistem komunikasi dua arah, memerlukan modifikasi dan inovasi dengan tujuan untuk memberikan kenyamanan dalam berinteraksi, antusias dengan berbagai fitur, laman dan atraksi yang disajikan, kemudahan dalam melakukan pemesanan, menyampaikan keluhan maupun pujian disertai dengan kecepatan dalam penanganan atau tindak lanjut dari setiap pemesanan maupun keluhan.
Dalam mempertahankan dan membina hubungan dengan pelanggan, perusahaan perlu terus menerus memelihara kontak dengan para pelanggan melalui berbagai saluran komunikasi yang disebutkan di atas, namun perlu diperhatikan agar kita tidak mengganggu berlebihan terhadap pelanggan kita oleh karena bisa menimbulkan kejengkelan yang menyebabkan dan mendorong pelanggan memutuskan hubungan dan tidak lagi merespons setiap kontak yang kita lakukan.
DR. ELIEZER H. HARDJO PH.D., CM
Ketua Dewan Juri Rekor Bisnis (ReBi) & The Institute of Certified Professional Managers (ICPM)
(dmd)