Lembong Khawatirkan Melambungnya Utang Turki
A
A
A
JAKARTA - Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong mengkhawatirkan kondisi perekonomian Turki yang utang jangka pendeknya tembus USD200 miliar. Pasalnya, jika terjadi gagal bayar maka dampaknya akan merembet hingga Tanah Air.
Dia mengatakan, Indonesia tidak boleh lengah menghadapi kondisi perekonomian global yang tidak pasti. Kendati telah terjadi beberapa perbaikan, namun Lembong masih menganggap kondisi perekonomian global tetap rawan.
"Kita enggak boleh lengah meskipun sudah banyak kemajuan baik di dunia luar maupun domestik, tapi kondisi (ekonomi) luar masih rawan, kondisi di dalam kita masih ketinggalan," katanya dalam acara Apindo CEO's Gathering di Ballroom Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (7/12/2015).
Menurutnya, cadangan devisa Turki dan Bank Indonesia (BI) memang tidak jauh berbeda, berada di kisaran USD100 miliar. Namun, utang jangka pendek Turki hingga dua kali lipat dari cadangan devisanya atau sekitar USD200 miliar.
"Jadi waktu meeting IMF tahunan kemarin, Turki ini punya total utang USD200 miliar yang harus di roller over, kalau ada apa-apa, misal turki gagal perpanjang (utang), efeknya akan domino," tutur dia.
Menurutnya, jika suatu saat Turki gagal bayar utangnya tersebut maka dampaknya bisa merembet ke negara lain seperti Brazil. maka, bukan tidak mungkin risiko tersebut mengancam Indonesia.
Pasalnya, hal tersebut pernah terjadi pada krisis moneter 1997. Kala itu, Thailand menjadi negara pertama yang melakukan devaluasi terhadap mata uangnya akibat krisis moneter.
Banyak orang beranggapan, devaluasi bath yang dilakukan Thailand tidak akan memengaruhi Indonesia. Karena, saat itu Indonesia masih ditopang cadangan devisa dan kekayaan alam yang berlimpah.
Namun kenyataannya tak lama setelah Thailand dilanda krisis, Korea juga mengalami hal yang sama dengan Thailand. Sejak itu, investor mulai khawatir dan ragu dengan ketahanan kondisi perekonomian Indonesia.
"Kemudian setelah itu Thailand ambruk, eh tiba-tiba Korea ikutan ambruk. Korea dulu ambruk, trus setelah Korea ambruk orang baru mulai nervous dengan Indonesia. Jadi itu contoh di mana masih banyak risiko dalam kondisi global," tandasnya.
Dia mengatakan, Indonesia tidak boleh lengah menghadapi kondisi perekonomian global yang tidak pasti. Kendati telah terjadi beberapa perbaikan, namun Lembong masih menganggap kondisi perekonomian global tetap rawan.
"Kita enggak boleh lengah meskipun sudah banyak kemajuan baik di dunia luar maupun domestik, tapi kondisi (ekonomi) luar masih rawan, kondisi di dalam kita masih ketinggalan," katanya dalam acara Apindo CEO's Gathering di Ballroom Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (7/12/2015).
Menurutnya, cadangan devisa Turki dan Bank Indonesia (BI) memang tidak jauh berbeda, berada di kisaran USD100 miliar. Namun, utang jangka pendek Turki hingga dua kali lipat dari cadangan devisanya atau sekitar USD200 miliar.
"Jadi waktu meeting IMF tahunan kemarin, Turki ini punya total utang USD200 miliar yang harus di roller over, kalau ada apa-apa, misal turki gagal perpanjang (utang), efeknya akan domino," tutur dia.
Menurutnya, jika suatu saat Turki gagal bayar utangnya tersebut maka dampaknya bisa merembet ke negara lain seperti Brazil. maka, bukan tidak mungkin risiko tersebut mengancam Indonesia.
Pasalnya, hal tersebut pernah terjadi pada krisis moneter 1997. Kala itu, Thailand menjadi negara pertama yang melakukan devaluasi terhadap mata uangnya akibat krisis moneter.
Banyak orang beranggapan, devaluasi bath yang dilakukan Thailand tidak akan memengaruhi Indonesia. Karena, saat itu Indonesia masih ditopang cadangan devisa dan kekayaan alam yang berlimpah.
Namun kenyataannya tak lama setelah Thailand dilanda krisis, Korea juga mengalami hal yang sama dengan Thailand. Sejak itu, investor mulai khawatir dan ragu dengan ketahanan kondisi perekonomian Indonesia.
"Kemudian setelah itu Thailand ambruk, eh tiba-tiba Korea ikutan ambruk. Korea dulu ambruk, trus setelah Korea ambruk orang baru mulai nervous dengan Indonesia. Jadi itu contoh di mana masih banyak risiko dalam kondisi global," tandasnya.
(izz)