Pemerintah Belum Sanggup Beri Jaminan Pengangguran
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah belum dapat menyanggupi pemberian jaminan pengangguran seperti yang sudah diterapkan di negara-negara maju. Jaminan pengangguran tersebut dikucurkan sebagai tanggungan pemerintah ketika buruh atau pekerja di Indonesia mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pusat Kajian Jaminan Sosial Nasional (PKJSN), Ridwan Max Sijabat mengungkapkan, jaminan sosial sesuai ketentuan Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO), meliputi jaminan kesehatan, jaminan sakit, jaminan hari tua dan jaminan pengangguran.
"Kan tidak selalu pekerja bekerja terus bukan karena keinginannya. Seperti di negara barat, kalau warganya tidak bekerja akibat PHK, berhenti karena sudah tidak sanggup lagi bekerja, pemerintah harus memberi jaminan pengangguran kepada mereka. Tapi di sini, pemerintah cuek, mau mati ya biar saja," ujarnya, dalam Focus Group Discussion/FGD bertajuk Membedah Implementasi Era Baru Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Indonesia, Senin (14/12/2015).
Di negara maju lainnya, lanjut Ridwan, jaminan sosial berupa jaminan pengangguran disuntikkan kepada warganya yang sudah tak lagi bekerja meskipun dengan nilai yang kecil untuk modal mereka menjalani kehidupan sehari-hari.
Sementara di Indonesia, pekerja yang terkena PHK justru berlomba-lomba mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT) sebagai andalan untuk menjalani kehidupan selanjutnya saat menganggur.
Padahal tujuan JHT sejatinya jaminan tersebut bisa dicairkan saat pekerja memasuki usia pensiun sekitar 56 tahun dan sudah tidak bekerja lagi.
"Paling ngenes, beberapa perusahaan besar melakukan PHK massal, lalu diambil JHT-nya. Akhirnya, pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan terpaksa mencairkan JHT," jelas Ridwan.
Dalam ketentuan ILO, JHT dapat diambil saat usia pekerja memasuki masa pensiun 56 tahun. Jumlahnya pun berkisar 40-45% dari total penghasilan pekerja. "Jadi ini yang belum bisa diimplementasikan. Kita hanya ikut-ikutan supaya dicap pro pekerja. Padahal, pelaksanaan kebijakan jaminan sosial sangat terburu-buru dan setengah hati," pungkas Ridwan.
Sementara itu, BPJS Ketenagakerjaan dalam menghimpun dana iuran setiap tahun tumbuh 10%-12%. Pimpinan SPSI, Atum Burhanuddin mengatakan, dana iuran itu terbagi 22% deposito, surat utang 48,21%, saham 21%, reksadana 8% dan properti 1%.
Dia mengatakan, BPJS Ketenagakerjaan yang memiliki dana kelolaan sudah lebih baik dari saat bernama Jamsostek. Dapat menyalurkan kembali dana tersebut ke peserta. Dampak positifnya ke hak ahli waris bisa lebih sejahtera. "Kalau dulu meninggal kecelakaan hanya dibayar Rp20 juta, sekarang berapapun dibayar, bahkan 65 kali gaji pokok," tandasnya.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Nasional (PKJSN), Ridwan Max Sijabat mengungkapkan, jaminan sosial sesuai ketentuan Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO), meliputi jaminan kesehatan, jaminan sakit, jaminan hari tua dan jaminan pengangguran.
"Kan tidak selalu pekerja bekerja terus bukan karena keinginannya. Seperti di negara barat, kalau warganya tidak bekerja akibat PHK, berhenti karena sudah tidak sanggup lagi bekerja, pemerintah harus memberi jaminan pengangguran kepada mereka. Tapi di sini, pemerintah cuek, mau mati ya biar saja," ujarnya, dalam Focus Group Discussion/FGD bertajuk Membedah Implementasi Era Baru Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Indonesia, Senin (14/12/2015).
Di negara maju lainnya, lanjut Ridwan, jaminan sosial berupa jaminan pengangguran disuntikkan kepada warganya yang sudah tak lagi bekerja meskipun dengan nilai yang kecil untuk modal mereka menjalani kehidupan sehari-hari.
Sementara di Indonesia, pekerja yang terkena PHK justru berlomba-lomba mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT) sebagai andalan untuk menjalani kehidupan selanjutnya saat menganggur.
Padahal tujuan JHT sejatinya jaminan tersebut bisa dicairkan saat pekerja memasuki usia pensiun sekitar 56 tahun dan sudah tidak bekerja lagi.
"Paling ngenes, beberapa perusahaan besar melakukan PHK massal, lalu diambil JHT-nya. Akhirnya, pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan terpaksa mencairkan JHT," jelas Ridwan.
Dalam ketentuan ILO, JHT dapat diambil saat usia pekerja memasuki masa pensiun 56 tahun. Jumlahnya pun berkisar 40-45% dari total penghasilan pekerja. "Jadi ini yang belum bisa diimplementasikan. Kita hanya ikut-ikutan supaya dicap pro pekerja. Padahal, pelaksanaan kebijakan jaminan sosial sangat terburu-buru dan setengah hati," pungkas Ridwan.
Sementara itu, BPJS Ketenagakerjaan dalam menghimpun dana iuran setiap tahun tumbuh 10%-12%. Pimpinan SPSI, Atum Burhanuddin mengatakan, dana iuran itu terbagi 22% deposito, surat utang 48,21%, saham 21%, reksadana 8% dan properti 1%.
Dia mengatakan, BPJS Ketenagakerjaan yang memiliki dana kelolaan sudah lebih baik dari saat bernama Jamsostek. Dapat menyalurkan kembali dana tersebut ke peserta. Dampak positifnya ke hak ahli waris bisa lebih sejahtera. "Kalau dulu meninggal kecelakaan hanya dibayar Rp20 juta, sekarang berapapun dibayar, bahkan 65 kali gaji pokok," tandasnya.
(dmd)