Daerah Harus Kreatif Biayai Pembangunan
A
A
A
BANDUNG - Pemerintah daerah didorong lebih kreatif dalam pembiayaan pembangunan di daerah masing-masing. Sebab, pola pendanaan pembangunan yang konvensional melalui APBD terbukti tidak mencukupi.
Untuk itu, kepala daerah harus lebih kreatif memanfaatkan opsi-opsi pembiayaan yang ada. Chief Economist PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) Ryan Kiryanto mengatakan, cukup banyak alternatif yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah daerah (pemda).
“Alternatifnya bisa melalui perbankan, tapi jauh lebih komersial. Ada opsi lainnya, yaitu penerbitan obligasi daerah dan kerja sama pemerintah-swasta,” ujar Ryan di acara “Local Economic Forum” kerja sama KORAN SINDO dengan BNI di Hotel Panghegar, Bandung, Rabu 16 Desember kemarin.
Ryan mencontohkan pola pendanaan melalui obligasi daerah dengan jangka waktu tujuh tahun dengan tingkat bunga 8% yang dapat digunakan untuk mendanai pembangunan pasar tradisional, membangun jembatan, jalan raya atau infrastruktur lainnya. “Lalu dari mana mengembalikannya? Bisa dari PDRB (produk domestik regional bruto) yang naik hasil dorongan pembangunan infrastruktur yang didanai melalui pola obligasi daerah itu,” tuturnya.
Sementara opsi KPS, lanjut dia, dilakukan pemda dengan menggandeng pihak swasta. Dalam hal ini, jelas dia, pemerintah bisa menyediakan lahan, sementara swasta hadir melalui pendanaannya. Ada pula pola kompensasi dalam KPS, misalnya pemda membangun jalan tol dan memberi konsesi pengelolaan jalan tol tersebut selama 20 tahun dengan berbagai perjanjian.
Karena itu, sambungnya, perlu orang-orang di pemerintahan yang familiar dengan konsep-konsep itu. Dalam hal ini, imbuh dia, perlu paradigma baru di mana pemerintah juga memahami pemikiran pengusaha, agar terjadi harmoni di antara keduanya. “Intinya, pemerintah membuka diri dengan pengusaha untuk berkolaborasi,” tuturnya.
Di acara yang sama, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengatakan sudah menerapkan hal tersebut untuk pembiayaan infrastruktur Pemerintah Kota Bandung, kata dia, berencana menerapkan pola kerja sama pemerintah-swasta. “Dengan cara konvensional, ya pasti pembangunannya begini-begini saja,” ujarnya.
Dia menjelaskan, jika hanya mengandalkan APBD, dalam satu tahun Pemkot Bandung cuma memiliki dana Rp6 triliun yang hampir setengahnya digunakan untuk memenuhi gaji pegawai. Sementara, pihaknya butuh Rp60 triliun untuk mewujudkan pembangunan ideal Kota Bandung. “Jadi kita ajak pihak ketiga untuk membangun kota. Pemkot membayar dalam kurun waktu bisa 15 tahun atau 25 tahun,” jelasnya.
Manfaatnya, kata Emil, selain arus kas keuangan pemkot tetap terjaga, perubahan yang mendorong pertumbuhan ekonomi juga bisa lebih cepat. Menurut dia, pola pembiayaan KPS tersebut ditujukan untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi di wilayahnya, yang dua tahun terakhir ini pertumbuhannya mencapai 8,86%.
Deputi Kepala Kantor Regional 2 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jabar Ishak Saing menambahkan, seiring dinamika perekonomian di Jawa Barat, pihaknya bertekad memperketat pengawasan demi menekan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Dia menyebutkan, hingga September tahun ini, angka kredit bermasalah di Jabar mencapai 3,05%, di atas rata-rata nasional yang hanya 2,25%.
Ishak mengatakan, 40% industri nasional berada di Jabar sehingga wajar ketika ekonomi bergejolak, industri pun goyah dan kemudian berdampak pada tingginya NPL. “Ekonomi terganggu mau tak mau juga menggangu kelancaran kredit. Karena itu, tugas kami makin besar, pengawasan harus lebih berkualitas demi menekan NPL ini,” ujarnya.
Sementara, Division Head M2M Solution Indosat Ooredoo Hendra Sumiarsa mengatakan, dunia usaha di daerah perlu memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mendukung perkembangan bisnisnya. Dalam hal ini, jelas dia, pihaknya ikut mendukung melalui peningkatan kapasitas jaringan, termasuk up grade jaringan 4G plus.
“Pemanfaatan teknologi informasi memungkinkan pengusaha daerah yang tadinya hanya bisa menjangkau pasar lokal bisa menjangkau pasar internasional. Sudah banyak contohnya. Kami dari penyedia jaringan telekomunikasi berupaya memfasilitasi dengan peningkatan kapasitas jaringan,” ujarnya.
Dalam forum tersebut, mengemuka pula dorongan agar sinergi antara pemerintah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota ditingkatkan untuk mendukung pembangunan. Sebab, tanpa sinergi, pembangunan bisa berjalan kurang terintegrasi, sehingga potensi besar perekonomian yang dimiliki daerah tidak bisa dioptimalkan.
“Tanpa sinergi kegiatan di sektor hulu tidak nyambung dengan sektor hilirnya. Misalnya, kulit dari Garut malah diekspor, padahal Cibaduyut sangat butuh bahan baku kulit untuk sepatu. Nah di sini terlihat kurangnya integrasi,” ujar ekonomi.
Menurutnya, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menyinergikan antara program pembangunan di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
Untuk itu, kepala daerah harus lebih kreatif memanfaatkan opsi-opsi pembiayaan yang ada. Chief Economist PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) Ryan Kiryanto mengatakan, cukup banyak alternatif yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah daerah (pemda).
“Alternatifnya bisa melalui perbankan, tapi jauh lebih komersial. Ada opsi lainnya, yaitu penerbitan obligasi daerah dan kerja sama pemerintah-swasta,” ujar Ryan di acara “Local Economic Forum” kerja sama KORAN SINDO dengan BNI di Hotel Panghegar, Bandung, Rabu 16 Desember kemarin.
Ryan mencontohkan pola pendanaan melalui obligasi daerah dengan jangka waktu tujuh tahun dengan tingkat bunga 8% yang dapat digunakan untuk mendanai pembangunan pasar tradisional, membangun jembatan, jalan raya atau infrastruktur lainnya. “Lalu dari mana mengembalikannya? Bisa dari PDRB (produk domestik regional bruto) yang naik hasil dorongan pembangunan infrastruktur yang didanai melalui pola obligasi daerah itu,” tuturnya.
Sementara opsi KPS, lanjut dia, dilakukan pemda dengan menggandeng pihak swasta. Dalam hal ini, jelas dia, pemerintah bisa menyediakan lahan, sementara swasta hadir melalui pendanaannya. Ada pula pola kompensasi dalam KPS, misalnya pemda membangun jalan tol dan memberi konsesi pengelolaan jalan tol tersebut selama 20 tahun dengan berbagai perjanjian.
Karena itu, sambungnya, perlu orang-orang di pemerintahan yang familiar dengan konsep-konsep itu. Dalam hal ini, imbuh dia, perlu paradigma baru di mana pemerintah juga memahami pemikiran pengusaha, agar terjadi harmoni di antara keduanya. “Intinya, pemerintah membuka diri dengan pengusaha untuk berkolaborasi,” tuturnya.
Di acara yang sama, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengatakan sudah menerapkan hal tersebut untuk pembiayaan infrastruktur Pemerintah Kota Bandung, kata dia, berencana menerapkan pola kerja sama pemerintah-swasta. “Dengan cara konvensional, ya pasti pembangunannya begini-begini saja,” ujarnya.
Dia menjelaskan, jika hanya mengandalkan APBD, dalam satu tahun Pemkot Bandung cuma memiliki dana Rp6 triliun yang hampir setengahnya digunakan untuk memenuhi gaji pegawai. Sementara, pihaknya butuh Rp60 triliun untuk mewujudkan pembangunan ideal Kota Bandung. “Jadi kita ajak pihak ketiga untuk membangun kota. Pemkot membayar dalam kurun waktu bisa 15 tahun atau 25 tahun,” jelasnya.
Manfaatnya, kata Emil, selain arus kas keuangan pemkot tetap terjaga, perubahan yang mendorong pertumbuhan ekonomi juga bisa lebih cepat. Menurut dia, pola pembiayaan KPS tersebut ditujukan untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi di wilayahnya, yang dua tahun terakhir ini pertumbuhannya mencapai 8,86%.
Deputi Kepala Kantor Regional 2 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jabar Ishak Saing menambahkan, seiring dinamika perekonomian di Jawa Barat, pihaknya bertekad memperketat pengawasan demi menekan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Dia menyebutkan, hingga September tahun ini, angka kredit bermasalah di Jabar mencapai 3,05%, di atas rata-rata nasional yang hanya 2,25%.
Ishak mengatakan, 40% industri nasional berada di Jabar sehingga wajar ketika ekonomi bergejolak, industri pun goyah dan kemudian berdampak pada tingginya NPL. “Ekonomi terganggu mau tak mau juga menggangu kelancaran kredit. Karena itu, tugas kami makin besar, pengawasan harus lebih berkualitas demi menekan NPL ini,” ujarnya.
Sementara, Division Head M2M Solution Indosat Ooredoo Hendra Sumiarsa mengatakan, dunia usaha di daerah perlu memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mendukung perkembangan bisnisnya. Dalam hal ini, jelas dia, pihaknya ikut mendukung melalui peningkatan kapasitas jaringan, termasuk up grade jaringan 4G plus.
“Pemanfaatan teknologi informasi memungkinkan pengusaha daerah yang tadinya hanya bisa menjangkau pasar lokal bisa menjangkau pasar internasional. Sudah banyak contohnya. Kami dari penyedia jaringan telekomunikasi berupaya memfasilitasi dengan peningkatan kapasitas jaringan,” ujarnya.
Dalam forum tersebut, mengemuka pula dorongan agar sinergi antara pemerintah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota ditingkatkan untuk mendukung pembangunan. Sebab, tanpa sinergi, pembangunan bisa berjalan kurang terintegrasi, sehingga potensi besar perekonomian yang dimiliki daerah tidak bisa dioptimalkan.
“Tanpa sinergi kegiatan di sektor hulu tidak nyambung dengan sektor hilirnya. Misalnya, kulit dari Garut malah diekspor, padahal Cibaduyut sangat butuh bahan baku kulit untuk sepatu. Nah di sini terlihat kurangnya integrasi,” ujar ekonomi.
Menurutnya, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menyinergikan antara program pembangunan di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
(hyk)