Penundaan Blok Masela Jadi Citra Buruk Iklim Investasi RI
A
A
A
JAKARTA - Masih terkatung-katungnya proyek Blok Abadi Masela selama tiga bulan terakhir ini dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di Tanah Air. (Baca: Jokowi Galau soal Pembangunan Kilang di Blok Masela).
Direktur Energy Watch Mamit Setiawan menilai, semakin lama penundaan keputusan tersebut, tentu menjadikan risikonya semakin besar. Pasalnya, pada saat kontraktor mengajukan plan of development (POD) ke SKK Migas, dipastikan kontraktor menggunakan harga pada saat itu.
Menurutnya, jika penundaan itu mengakibatkan perubahan harga sehingga menimbulkan kenaikan harga, maka itu akan membebani negara terkait dengan cost recovery yang diajukan kontraktor.
Selain itu, kata Mamit, penundaan yang tak pasti di Blok Abadi Masela ini dapat menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di Indonesia. Penundaan keputusan tersebut berdampak pada iklim investasi karena dapat memengaruhi penilaian investor, terutama investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia.
"Mereka pasti beranggapan, investasi di Indonesia kurang menguntungkan, karena ketidakpastian dalam pengambilan keputusan. Beberapa hal yang seharusnya masuk ke dalam kategori bisnis bisa dibelokkan ke dalam kategori politis yang pada akhirnya menambah ketidakpastian cukup lama," kata Mamit dalam rilisnya di Jakarta, Selasa (29/12/2015).
Namun, dia optimistis bahwa investor masih berminat menanamkan modalnya karena memang potensi migas di Indonesia cukup besar. Hanya saja, investor pasti berpikir ulang dan berhitung secara saksama terutama untuk hal-hal di luar aspek bisnis seperti aspek politik.
"Indonesia masih perlu investasi dari luar negeri karena beberapa cadangan migas kita berada di laut dalam sehingga dibutuhkan dana dan teknologi besar," ujarnya.
Menurut data yang dikeluarkan SKK Migas, untuk membangun fasilitas terapung di laut alias offshore, Inpex membutuhkan dana investasi sebesar USD14,8 miliar. Sementara untuk membangun fasilitas LNG di darat atau onshore, membutuhkan dana USD19,3 miliar.
Sebagai catatan, nasib proyek Blok Masela diharapakan akan ditentukan dalam pertemuan rapat kabinet terbatas yang diinisiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Beberapa hari sebelumnya, konsultan independen terpilih telah memberikan hasil kajiannya yang mendukung rekomendasi dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) untuk penetapan infrastruktur pengolahan gas menjadi gas alam cair (LNG) dengan membangun kilang terapung atau floating liquefied natural gas (FLNG).
Baca Juga:
Sistem Pembangunan Kilang Blok Masela Diputuskan Hari Ini
Konsultan Rekomendasikan Kilang Blok Masela Dibangun di Laut
Pemerintah Tak Mau Buru-buru Putuskan Blok Masela
Direktur Energy Watch Mamit Setiawan menilai, semakin lama penundaan keputusan tersebut, tentu menjadikan risikonya semakin besar. Pasalnya, pada saat kontraktor mengajukan plan of development (POD) ke SKK Migas, dipastikan kontraktor menggunakan harga pada saat itu.
Menurutnya, jika penundaan itu mengakibatkan perubahan harga sehingga menimbulkan kenaikan harga, maka itu akan membebani negara terkait dengan cost recovery yang diajukan kontraktor.
Selain itu, kata Mamit, penundaan yang tak pasti di Blok Abadi Masela ini dapat menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di Indonesia. Penundaan keputusan tersebut berdampak pada iklim investasi karena dapat memengaruhi penilaian investor, terutama investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia.
"Mereka pasti beranggapan, investasi di Indonesia kurang menguntungkan, karena ketidakpastian dalam pengambilan keputusan. Beberapa hal yang seharusnya masuk ke dalam kategori bisnis bisa dibelokkan ke dalam kategori politis yang pada akhirnya menambah ketidakpastian cukup lama," kata Mamit dalam rilisnya di Jakarta, Selasa (29/12/2015).
Namun, dia optimistis bahwa investor masih berminat menanamkan modalnya karena memang potensi migas di Indonesia cukup besar. Hanya saja, investor pasti berpikir ulang dan berhitung secara saksama terutama untuk hal-hal di luar aspek bisnis seperti aspek politik.
"Indonesia masih perlu investasi dari luar negeri karena beberapa cadangan migas kita berada di laut dalam sehingga dibutuhkan dana dan teknologi besar," ujarnya.
Menurut data yang dikeluarkan SKK Migas, untuk membangun fasilitas terapung di laut alias offshore, Inpex membutuhkan dana investasi sebesar USD14,8 miliar. Sementara untuk membangun fasilitas LNG di darat atau onshore, membutuhkan dana USD19,3 miliar.
Sebagai catatan, nasib proyek Blok Masela diharapakan akan ditentukan dalam pertemuan rapat kabinet terbatas yang diinisiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Beberapa hari sebelumnya, konsultan independen terpilih telah memberikan hasil kajiannya yang mendukung rekomendasi dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) untuk penetapan infrastruktur pengolahan gas menjadi gas alam cair (LNG) dengan membangun kilang terapung atau floating liquefied natural gas (FLNG).
Baca Juga:
Sistem Pembangunan Kilang Blok Masela Diputuskan Hari Ini
Konsultan Rekomendasikan Kilang Blok Masela Dibangun di Laut
Pemerintah Tak Mau Buru-buru Putuskan Blok Masela
(izz)