Investor Blok Masela Terancam Hengkang dari Indonesia

Senin, 11 Januari 2016 - 11:53 WIB
Investor Blok Masela Terancam Hengkang dari Indonesia
Investor Blok Masela Terancam Hengkang dari Indonesia
A A A
JAKARTA - Keputusan mengenai model pengolahan Blok Masela, Provinsi Maluku tertunda kendati sudah ada hasil rekomendasi dari konsultan independen maupun dari SKK Migas dengan membangun pengolahan gas di lepas pantai (floating liquified natural gas/FLNG).

Jika hasil penundaan pengolahan gas di Lapangan Abadi, Masela diputuskan menggunakan skemai darat (onshore liquefied natural gas/ONLG) dikhawatirkan Inpex Corporation dan Shell selaku investor hengkang dari proyek tersebut.

"Saya berharap Presiden Joko Widodo opsi skema terapung untuk mengembangkan Lapangan Abadi, Blok Masela. Tugas pemerintah memberikan kepastian kepada investor jangan memberikan sinyal negatif berupa ketidakpastian," kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa di Jakarta, Senin (11/1/2015).

Dalam berbagai forum baik di dalam maupun luar negeri, Presiden Jokowi memberikan komitmen untuk menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Apalagi KKKS seperti Inpex telah komitmen berinvestasi mengembangkan Blok Masela dengan investasi miliaran dolar Amerika Serikat.

"Maka itu proyek ini harus dilihat secara komprehensif karena memberikan keuntungan pada negara secara maksimal," tegasnya.

Fabby menambahkan, kajian ilmiah yang dilakukan konsultan independen sudah tepat sebagai keputusan yang harus diambil pemerintah. Jangan sampai, pemerintah justru mengambil keputusan membangun pengolahan gas di darat (Onshore LNG).

"Konsep FLNG di dasari atas kajian ilmiah yang tepat berbeda dengan kilang darat yang hanya memakai hipotesa," kata dia.

Menurutnya, kajian FLNG juga telah dilakukan Inpex selaku operator sejak 2010. Dalam kajian Inpex telah diputuskan pilihannya menggunakan pengolahan terapung bukan menggunakan pengolahan gas di darat.

"Kajian itu kembali dilakukan Inpex hasilnya sama yaitu opsi terbaik menggunakan FLNG dengan melibatkan konsultan independen dan melibatkan akademisi seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Teknologi Surabaya (ITS). Bila dikalkulasi kajian FLNG telah menghabiskan ribuan jam kerja serta dana ratusan juta dolar Amerika Serikat," tutur Fabby.

Kajian UI misalnya, menunjukkan opsi FLNG akan memberikan manfaat ekonomi lebih baik bagi Indonesia. PDB dari FLNG tercatat sebesar USD126,3 miliar sedangkan di darat PDB tercatat hanya mencapai USD122 miliar.

Sementara penerimaan negara dari FLNG tercatat USD51,8 miliar lebih besar dari onshore LNG sebesar USD42,3 miliar. "Penerimaan negara yang lebih besar melalui skema FLNG tentu akan memberikan penerimaan daerah yang juga lebih besar," katanya.

Di samping itu, pilihan FLNG lebih berdampak positif bagi pengembangan industri maritim di Indonesia dan industri pendukungnya. Juga alokasi gas bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan gas di dalam negeri, bahkan seluruh produksi gas dari Blok Masela bisa saja dijual di dalam negeri sepanjang harganya sesuai pasar.

"Pemerintah Indonesia, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dapat menggunakan revenue dari Blok Masela untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur serta diversifikasi ekonomi di Maluku," jelasnya.

Sebab itu, pemerintah harus segera memastikan Blok Masela berproduksi sesuai jadwal yang sudah dibuat berdasarkan kajian ilmiah oleh konsultan independen. Jika proyek ini terlambat berproduksi maka pasokan gas ke dalam negeri pada 2021 dan seterusnya akan terancam.

"Inpex juga telah menjamin akan memasok gas ke dalam negeri sebesar 25% dari produksinya. Selain itu akan ada supply base di pulau Saumlaki," ujar dia.

Karakter industri hulu migas bumi berbeda dari industri-industri pada umumnya. Karakter utama industri hulu migas adalah investasi besar, menggunakan teknologi tinggi, dan berisiko tinggi. Maka, pemerintah harus benar-benar memperhatikan ketiga karakter tersebut dalam memutuskan nasib pengembangan Lapangan Gas Abadi, Blok Masela.

Apalagi, dalam ketentuan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) disebutkan, segala risiko yang terjadi adalah menjadi tanggung jawab kontraktor, bukan tanggung jawab pemerintah. "Bila salah mengambil keputusan maka akan berakibat fatal, terutama bagi investor yang akan menanamkan investasi hingga USD15 miliar," ucapnya.

Pakar energi dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi berpendapat, pengolahan gas terapung di Lapangan Abadi lebih baik dibandingkan pengolahan gas di darat. Skema pembangunan pengolahan terapung di laut lebih efisisien dibanding di darat.

Selain itu, prosesnya tidak berbelit karena tidak melalui pembebasan tanah dan sejalan dengan program pemerintah membangun sektor kemaritiman. "Menurut saya floating akan lebih baik daripada di darat. Ini sejalan dengan program pemerintah membangun sektor kemaritiman," pungkasnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5943 seconds (0.1#10.140)