Brand in Crisis
A
A
A
MINGGU lalu untuk kesekian kali kita dikejutkan oleh berita tak mengenakkan mengenai Lion Air. Kepolisian Resort Bandara Soekarno Hatta membongkar sindikat porter Lion Air yang kerap mencuri barang berharga di bagasi penumpang. Tak tahu kenapa, berita buruk silih berganti menimpa maskapai terbesar hingga brand reputation-nya kian terpuruk.
Akhir Desember lalu maskapai ini terkena skandal memalukan ketika pilot dan pramugarinya kedapatan mengonsumsi narkoba. Masih menyangkut pilot dan pramugari, sebulan sebelumnya pilot Lion Air mengatakan hal-hal yang tidak pantas berupa tawaran pramugari cantik yang ditinggal suami kepada penumpang melalui pengeras suara sesaat setelah lepas landas. Sontak, tawaran itu membuat para penumpang terkejut. Sebab, tawaran itu disampaikannya melalui pengeras suara pesawat.
Masih di bulan November, Lion Air juga dirundung kemalangan karena diprotes penumpangnya yang emosi karena pesawat delay berjam-jam. Fatalnya, penumpang yang marah kemudian mencegat pesawat Lion lain dengan rute yang sama yang hendak lepas landas. Seperti kita tahu semua kejadian penumpang Lion Air marah karena pesawat delay merupakan kejadian rutin yang menimpa maskapai ini.
Dan yang paling parah tentu adalah kecelakaan pesawat. Seperti juga kita ketahui bersama, Lion Air adalah juga merupakan langganan kecelakaan. Sejak beroperasi Juni 2000 hingga 2012, maskapai ini setidaknya telah 19 kali mengalami kecelakaan. Saking seringnya mengalami kecelakaan, Lion Air masuk daftar maskapai yang dilarang di Uni Eropa bahkan masuk satu dari lima maskapai paling berbahaya di dunia.
Brand Haters
Dengan jumlah armada pesawat yang sangat besar, bahkan yang terbesar di antara maskapai lain, memang Lion Air bisa mengatakan seburuk apapun layanannya konsumen akan tetap menggunakannya. Namun perlu diingat, seperti halnya kanker ganas, masalah demi masalah yang menderanya bisa menggerogoti ekuitas merek (brand equity)-nya.
Elemen paling penting dari ekuitas merek adalah apa yang disebut brand evangelism. Brand evangelism adalah ekuitas merek yang terwujud karena adanya konsumen yang merekomendasikan dan membela merek. Itu kalau mereknya bagus dan membanggakan. Kalau sebaliknya, mereknya buruk dan menjengkelkan, maka konsumen justru menjadi brand haters atau bahkan brand terrorists.
Nah, yang saya cemaskan, begitu banyaknya masalah yang menimpa Lion Air di atas bisa menciptakan brand haters, dan itulah yang kini sedang massif terjadi. Don’t underestimate brandhaters. Karena seperti kata Pete Blackshaw, seorang pakar branding, “satisfied customers tell three friends, angry customers Tell 3,000”. Wajar saja, karena sesuatu kabar yang buruk memang lebih menarik digosipkan dan lebih gampang menyebar ketimbang kabar yang baik. Kalau Anda dibenci seorang konsumen yang telah Anda telantarkan barangkali tak begitu masalah. Tapi jika si konsumen mengajak 3000 temannya untuk ikut-ikutan membenci merek Anda, itu yang berbahaya.
Gunung Es
Mengamati begitu peliknya masalah yang dihadapai Lion Air, saya melihat maskapai ini sudah sampai pada tahapan krisis secara merek. Lion Air is brand in crisis. Dan celakanya, krisis merek ini tak bisa hanya diobati dengan branding gimmick seperti: kampanye PR, mengubah logo, atau membesut IMC (integrated marketing communications). Ya, karena obat tersebut tak menyembuhkan sumber penyakitnya.
Masalah bertubi-tubi Lion Air selama ini hanyalah tip of the iceberg, masalah yang hanya tampak di permukaan. Masalah sesungguhnya dan jauh lebih besar justru ada di bawah permukaan yaitu masalah manusia. Dan kalau kita bicara manusia, maka sumbernya ada di budaya perusahaan (corporate culture) dan kepemimpinan (brand leadership). Porter yang membobol bagasi penumpang, pilot dan pramugari yang nyabu, karyawan tidak disiplin yang memicu delay berjam-jam, atau crew yang ceroboh hingga mengancam keselamatan pesawat adalah masalah karakter, budaya, dan kepemimpinan yang lemah.
Seperti kebanyakan brand in crisis, yang dibutuhkan Lion Air adalah sebuah creative destruction: pembumihangusan kemapanan budaya dan pola kepemimpinan lama yang sudah terlanjur mengeras. Seluruh jajaran Lion Air harus membangun sense of crisis untuk menggelindingkan perubahan besar-besaran. Bahkan kalau diperlukan Lion Air bisa membawa masuk outside leader untuk memecah kebekuan dan menjadi katalis perubahan. Krisis di IBM tahun 1990-an misalnya, diselesaikan dengan sangat baik berkat kehadiran outside leader seperti Lou Gestner.
Harus diakui, Lion Air adalah salah satu merek lokal hebat yang pernah dimiliki negeri ini. Karena itu saya tidak rela jika krisis merek ini terus berlarut hingga menjadikannya terpuruk. Karena itu maskapai ini harus diselamatkan dari krisis. Siapa yang bisa menyelamatkan? Lion Air sendiri terutama para pemimpinnya di seluruh level organisasi.
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure
www.yuswohady.com
Twitter: @yuswohady
Akhir Desember lalu maskapai ini terkena skandal memalukan ketika pilot dan pramugarinya kedapatan mengonsumsi narkoba. Masih menyangkut pilot dan pramugari, sebulan sebelumnya pilot Lion Air mengatakan hal-hal yang tidak pantas berupa tawaran pramugari cantik yang ditinggal suami kepada penumpang melalui pengeras suara sesaat setelah lepas landas. Sontak, tawaran itu membuat para penumpang terkejut. Sebab, tawaran itu disampaikannya melalui pengeras suara pesawat.
Masih di bulan November, Lion Air juga dirundung kemalangan karena diprotes penumpangnya yang emosi karena pesawat delay berjam-jam. Fatalnya, penumpang yang marah kemudian mencegat pesawat Lion lain dengan rute yang sama yang hendak lepas landas. Seperti kita tahu semua kejadian penumpang Lion Air marah karena pesawat delay merupakan kejadian rutin yang menimpa maskapai ini.
Dan yang paling parah tentu adalah kecelakaan pesawat. Seperti juga kita ketahui bersama, Lion Air adalah juga merupakan langganan kecelakaan. Sejak beroperasi Juni 2000 hingga 2012, maskapai ini setidaknya telah 19 kali mengalami kecelakaan. Saking seringnya mengalami kecelakaan, Lion Air masuk daftar maskapai yang dilarang di Uni Eropa bahkan masuk satu dari lima maskapai paling berbahaya di dunia.
Brand Haters
Dengan jumlah armada pesawat yang sangat besar, bahkan yang terbesar di antara maskapai lain, memang Lion Air bisa mengatakan seburuk apapun layanannya konsumen akan tetap menggunakannya. Namun perlu diingat, seperti halnya kanker ganas, masalah demi masalah yang menderanya bisa menggerogoti ekuitas merek (brand equity)-nya.
Elemen paling penting dari ekuitas merek adalah apa yang disebut brand evangelism. Brand evangelism adalah ekuitas merek yang terwujud karena adanya konsumen yang merekomendasikan dan membela merek. Itu kalau mereknya bagus dan membanggakan. Kalau sebaliknya, mereknya buruk dan menjengkelkan, maka konsumen justru menjadi brand haters atau bahkan brand terrorists.
Nah, yang saya cemaskan, begitu banyaknya masalah yang menimpa Lion Air di atas bisa menciptakan brand haters, dan itulah yang kini sedang massif terjadi. Don’t underestimate brandhaters. Karena seperti kata Pete Blackshaw, seorang pakar branding, “satisfied customers tell three friends, angry customers Tell 3,000”. Wajar saja, karena sesuatu kabar yang buruk memang lebih menarik digosipkan dan lebih gampang menyebar ketimbang kabar yang baik. Kalau Anda dibenci seorang konsumen yang telah Anda telantarkan barangkali tak begitu masalah. Tapi jika si konsumen mengajak 3000 temannya untuk ikut-ikutan membenci merek Anda, itu yang berbahaya.
Gunung Es
Mengamati begitu peliknya masalah yang dihadapai Lion Air, saya melihat maskapai ini sudah sampai pada tahapan krisis secara merek. Lion Air is brand in crisis. Dan celakanya, krisis merek ini tak bisa hanya diobati dengan branding gimmick seperti: kampanye PR, mengubah logo, atau membesut IMC (integrated marketing communications). Ya, karena obat tersebut tak menyembuhkan sumber penyakitnya.
Masalah bertubi-tubi Lion Air selama ini hanyalah tip of the iceberg, masalah yang hanya tampak di permukaan. Masalah sesungguhnya dan jauh lebih besar justru ada di bawah permukaan yaitu masalah manusia. Dan kalau kita bicara manusia, maka sumbernya ada di budaya perusahaan (corporate culture) dan kepemimpinan (brand leadership). Porter yang membobol bagasi penumpang, pilot dan pramugari yang nyabu, karyawan tidak disiplin yang memicu delay berjam-jam, atau crew yang ceroboh hingga mengancam keselamatan pesawat adalah masalah karakter, budaya, dan kepemimpinan yang lemah.
Seperti kebanyakan brand in crisis, yang dibutuhkan Lion Air adalah sebuah creative destruction: pembumihangusan kemapanan budaya dan pola kepemimpinan lama yang sudah terlanjur mengeras. Seluruh jajaran Lion Air harus membangun sense of crisis untuk menggelindingkan perubahan besar-besaran. Bahkan kalau diperlukan Lion Air bisa membawa masuk outside leader untuk memecah kebekuan dan menjadi katalis perubahan. Krisis di IBM tahun 1990-an misalnya, diselesaikan dengan sangat baik berkat kehadiran outside leader seperti Lou Gestner.
Harus diakui, Lion Air adalah salah satu merek lokal hebat yang pernah dimiliki negeri ini. Karena itu saya tidak rela jika krisis merek ini terus berlarut hingga menjadikannya terpuruk. Karena itu maskapai ini harus diselamatkan dari krisis. Siapa yang bisa menyelamatkan? Lion Air sendiri terutama para pemimpinnya di seluruh level organisasi.
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure
www.yuswohady.com
Twitter: @yuswohady
(dmd)