Genjot Penerimaan Pajak, HT Sebut Pemerintah Pakai Cara Berisiko
A
A
A
JAKARTA - Chief Executive Officer (CEO) MNC Group Hary Tanoesoedibjo mengutarakan bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggunakan cara berisiko tinggi untuk menggenjot penerimaan pajak pada 2015.
Menurutnya pemerintah mengambil cara yang berisiko dengan memberlakukan kebijakan penghapusan sanksi utang yang muncul atas koreksi SPT (reinventing policy). "Banyak SPT yang dikoreksi kantor pajak," jelasnya di MNC News Center, Jakarta, Senin (11/1/2016).
"Peraturan baru, jika kantor pajak mengoreksi laporan pajak dan kita sudah bayar, maka kita punya hak untuk menggugat supaya koreksi itu dikembalikan lagi tapi dengan catatan pajak dibayar 100%. Jadi kita harus setor dulu pajak, baru kita banding terus dapet bunga. Itu banyak terjadi!" sambungnya.
Ketua Umum Partai Perindo ini menuturkan, reinventing policy tersebut di kacamata pemerintah layaknya hutang. Hal ini dikatakannya sebagai praktik yang berisiko tinggi. "Jadi ini suatu praktek yang berisiko tinggi. Itu yang menyebabkan penerimaan pajak jelang dua minggu di Desember meningkat luar biasa," imbuh dia.
Selain itu, sambung HT, meroketnya penerimaan pajak pada akhir 2016 juga disebabkan karena kebijakan revaluasi aset. "Akibat kebijakan revaluasi aset. Batas waktunya akhir 2015 kalo perusahaan merevaluasi akan diberikan insentif pajak. Jadi banyak yang melakukan itu. Sebagian juga dipaksa melakukan itu," tandasnya.
Sebagai informasi sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menerangkan soal total realisasi penerimaan pajak sampai dengan 31 Desember 2015 adalah sebesar Rp1.055.61 triliun. Dengan rincian Rp1.005,89 triliun hanya untuk pajak penghasilan (PPh) non PPh migas (minyak dan gas bumi) dengan total pertumbuhan penerimaan pajaknya 7,15%.
Sementara pajak penghasilan (PPh) untuk migas hanya mencapai Rp49,72%. Dia juga menerangkan pecapaian ini pertama kalinya penerimaan pajak telah tembus Rp1000 triliun, padahal situsi ekonomi di Indonesia sedang mengalami perlambatan. Meski begitu pencapaian ini meleset dari target 2015 sebesar Rp1.294,25 triliun.
Menurutnya pemerintah mengambil cara yang berisiko dengan memberlakukan kebijakan penghapusan sanksi utang yang muncul atas koreksi SPT (reinventing policy). "Banyak SPT yang dikoreksi kantor pajak," jelasnya di MNC News Center, Jakarta, Senin (11/1/2016).
"Peraturan baru, jika kantor pajak mengoreksi laporan pajak dan kita sudah bayar, maka kita punya hak untuk menggugat supaya koreksi itu dikembalikan lagi tapi dengan catatan pajak dibayar 100%. Jadi kita harus setor dulu pajak, baru kita banding terus dapet bunga. Itu banyak terjadi!" sambungnya.
Ketua Umum Partai Perindo ini menuturkan, reinventing policy tersebut di kacamata pemerintah layaknya hutang. Hal ini dikatakannya sebagai praktik yang berisiko tinggi. "Jadi ini suatu praktek yang berisiko tinggi. Itu yang menyebabkan penerimaan pajak jelang dua minggu di Desember meningkat luar biasa," imbuh dia.
Selain itu, sambung HT, meroketnya penerimaan pajak pada akhir 2016 juga disebabkan karena kebijakan revaluasi aset. "Akibat kebijakan revaluasi aset. Batas waktunya akhir 2015 kalo perusahaan merevaluasi akan diberikan insentif pajak. Jadi banyak yang melakukan itu. Sebagian juga dipaksa melakukan itu," tandasnya.
Sebagai informasi sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menerangkan soal total realisasi penerimaan pajak sampai dengan 31 Desember 2015 adalah sebesar Rp1.055.61 triliun. Dengan rincian Rp1.005,89 triliun hanya untuk pajak penghasilan (PPh) non PPh migas (minyak dan gas bumi) dengan total pertumbuhan penerimaan pajaknya 7,15%.
Sementara pajak penghasilan (PPh) untuk migas hanya mencapai Rp49,72%. Dia juga menerangkan pecapaian ini pertama kalinya penerimaan pajak telah tembus Rp1000 triliun, padahal situsi ekonomi di Indonesia sedang mengalami perlambatan. Meski begitu pencapaian ini meleset dari target 2015 sebesar Rp1.294,25 triliun.
(akr)