Harga Saham Freeport

Minggu, 17 Januari 2016 - 06:15 WIB
Harga Saham Freeport
Harga Saham Freeport
A A A
PT Freeport Indonesia (PTFI) telah mengumumkan harga saham yang ditawarkan dalam kewajiban divestasinya (melepas sebagian saham) kepada pemerintah Indonesia sebanyak 10,64%, dengan nilai USD1,7 miliar atau setara Rp23,5 triliun (Rp13.800/USD). Penawaran ini dinilai terlalu mahal mengingat harga komoditas dan nilai saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu sedang turun.

Freeport semestinya sudah menyampaikan penawaran divestasi pada akhir tahun lalu. Divestasi harus dilakukan sebagai syarat perpanjangan kontrak yang akan berakhir pada 2021.

Sebelumnya, dalam beleid lama, Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2010 tentang Pertambangan, Freeport seharusnya melakukan divestasi 30% saham kepada pemerintah secara bertahap hingga 2019, dua tahun menjelang masa kontrak berakhir.

PP diubah melalui Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2014. Dalam Pasal 97 disebutkan bahwa kewajiban divestasi bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan setelah akhir tahun kelima sejak berproduksi paling sedikit 20% pada tahun keenam. Kemudian, 30% pada tahun ketujuh dan 37% tahun berikutnya. Selanjutnya, pada tahun kesembilan wajib melepas 44% dan 51% dari jumlah seluruh saham pada tahun kesepuluh.

Saat ini, pemerintah baru memiliki 9,36% saham Freeport, maka sisa kewajiban berikutnya menjual 10,64% paling lambat Oktober 2015. Namun hingga tenggat berakhir, Freeport tak kunjung mengajuakan penawaran.

Pemerintah telah melayangkan dua kali surat teguran kepada Freeport pada awal November dan Desember 2015. Mengacu pada peraturan pemerintah, Freeport diberi waktu 90 hari untuk melakukan penawaran hingga 14 Januari 2016.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot mengatakan, pihaknya telah menerima surat penawaran dari Freeport terkait divestasi saham tersebut. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014, Freeport diminta melepaskan sahamnya sebanyak 10,64%. "Jadi Freeport telah mengirim surat kepada Menteri ESDM dan kami telah terima kemarin," ujarnya di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (14/1/2016).

Dia menuturkan, dalam surat penawaran yang diajukan Freeport disebutkan bahwa harga 100% saham raksasa tambang tersebut adalah sekitar USD16,2 miliar. "Dalam penawaran tersebut juga disampaikan besaran untuk 100% adalah USD16,2 miliar dan untuk 10,64% menjadi USD1,7 miliar," jelasnya.

Atas penawaran tersebut, lanjut Bambang, pemerintah akan melakukan kajian terhadap harga yang ditawarkan. Pemerintah akan membentuk tim lintas kementerian serta melibatkan konsultan independen guna menilai harga saham itu.

"Pemerintah juga bisa menunjuk independent valuer untuk menilai harga saham tersebut. Selanjutnya akan bertemu tim Freeport dan memutuskan harga yang disepakati kedua belah pihak," katanya.

Menurut Bambang, proses kajian mengenai valuasi saham yang ditawarkan Freeport tidak akan berlangsung lama. Diperkirakan, kajian akan selesai dalam waktu satu bulan atau 60 hari sesuai dengan PP Nomor 77 Tahun 2014. "Tentunya kita tidak mau berlama-lama, karena harus cepat. Tentunya kita melibatkan beberapa pihak mulai dari Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN," tegasnya.

Sementara itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ngotot dapat menyerap divestasi saham Freeport yang kemudian akan dibeli perusahaan pelat merah. Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, perusahaan yang dimaksud adalah PT Aneka Tambang (Persero) Tbk dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero).

Dia mengutarakan pihaknya berkeinginan agar BUMN dapat seoptimal mungkin menyerap saham perusahaan tambang asal AS tersebut. Apalagi, Freeport diketahui merupakan salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia. "‎Kalau kita bisa punya saham lebih dari 20% atau bisa sampai 30% tentu akan lebih baik," katanya di Auditorium Gedung Garuda Indonesia, Jakarta, Jumat (15/1/2016).

Menurutnya, jika perusahaan negara memiliki saham yang optimal di raksasa tambang itu akan menguntungkan masyarakat Indonesia secara umum. "Karena itu apabila dengan BUMN, maka akan memberikan kembali juga kepada rakyat. Bahwa bangsa Indonesia juga bisa memiliki saham lebih besar di sana (Freeport)," imbuhnya.

Dia mengakui saat ini pihaknya belum berkomuniksi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait keinginannya tersebut. "Ini memang belum berkomunikasi dengan Kementerian ESDM, kita juga menganalisa sendiri secara nilai apakah mampu atau tidak. Kalau dilihat dari kemampuan BUMN saya rasa kita mampu‎," tukasnya.

Menanggapi hal itu, Ketua Working Group Kebijakan Publik Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Budi Santoso mengatakan, sebelum pemerintah ataupun BUMN menyerap saham tersebut perlu melihat cadangan emas dan tembaga yang ada di ladang tambang Freeport, Papua.

Pemerintah harus bisa memastikan bahwa cadangan emas dan tembaga tersebut belum menjadi milik penambang sebelum mereka divestasi. "Artinya, nilai emas dan tembaga itu tidak boleh dimasukkan dalam proyeksi keuangan, tidak boleh masuk ke dalam aset dia," ujarnya, (15/1/2016).

Selain itu, pemerintah juga jangan lupa bahwa selama empat tahun terakhir Freeport tidak pernah membayar dividen kepada pemerintah. Jangan sampai pemerintah rugi dua kali, di mana Freeport tidak membayar dividen kemudian pemerintah harus membeli saham yang didivestasikan tersebut.

"Nah, jadi jangan sampai apa yang dibeli pemerintah, pemerintah enggak menikmati dividen dan tersandera. Wah ini duit gue belum balik nih, ya sudah diperpanjang saja (kontraknya). Jadi, ini pertimbangan pemerintah harus benar-benar hitung itu semua," tuturnya.

Penawaran Freeport Terlalu Mahal


Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) memandang penawaran 10,6% divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar USD1,7 miliar atau senilai Rp23,5 triliun terlalu mahal. Sebab, di Bursa Saham New York (NYSE) nilai saham Freeport hanya USD5 miliar.

"Nilai saham Freeport di Bursa New York hanya USD5 miliar, termasuk semua investasi Freeport di seluruh dunia," ungkap HT, Jumat (15/1/2016).

"Nilai saham Freeport USD5 miliar sudah termasuk peningkatan harga saham sebesar 12% kemarin akibat penawaran 10,6% saham ke pemerintah RI senilai USD1,7 miliar," jelasnya.

Hal senada disampaikan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi). Mereka juga menilai harga saham yang ditawarkan PT Freeport Indonesia sebesar USD1,7 miliar terlalu mahal. Hal tersebut berdasarkan perhitungan saham yang dipotret dari nilai aset dan keuntungan Freeport beberapa tahun belakangan.

Ketua Working Group Kebijakan Publik Perhapi Budi Santoso menjelaskan, nilai aset Freeport pada 2014 mencapai USD9,1 miliar. Sementara keuntungan bersih (net profit)-nya hanya USD500 juta. "Kalau kita hitung saham kan bisa dipotret pada harga, yaitu nilainya atau bisa dipotret dengan pendapatan ke depan dengan nett present value-nya. Nah, kalau kita lihat nilai aset Freeport 2014 USD9,1 miliar, sedangkan nett profit cuma USD500 juta pada tahun itu. Angka itu turun dari sekitar USD784 juta pada 2013," terangnya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (15/1/2016).

Jika dilihat dari perhitungan tersebut, maka portfolio saham Freeport sampai berakhirnya kontrak karya pada 2021 tidak sampai USD16,2 miliar seperti yang diklaim raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut. Harga 100% saham Freeport diperkirakan hanya sekitar USD11,6 miliar.

"Jadi kalau kita hitung, taruhlah nett profit USD500 juta kali 5 kan jadinya USD2,5 miliar. Kalau nilai aset hari ini, USD9,1 miliar jadi ditambahkan saja USD2,5 miliar. Jadinya paling USD11,6 miliar," beber Budi.

Perhitungan ini, lanjut dia, juga belum ditambahkan dengan potensi risiko kegiatan operasi raksasa tambang Paman Sam tersebut. Sebab, harga komoditas yang terus merosot di pasar dunia tak ayal turut menekan keuntungan Freeport.

"Menurunnya kira-kira berapa, saya belum ada data. Tapi, perkiraan saya kalau 2013 nilai asetnya USD784 juta, 2014 turun jadi USD500 juta, mungkin enggak linier. Anggaplah enggak menurun dari angka USD500 juta sampai lima tahun ke depan. Jadi nilainya kalau mau diakumulasi kan jadinya USD11,6 miliar. Sedangkan total USD16,2 miliar itu angka dari mana?" jelasnya.

Di sisi lain, nilai satu saham juga harus melihat risiko dan nilai bunga dari tahun ke tahun. Jadi nilai keuntungan bersih Freeport sebesar USD500 juta saat ini akan menurun pada lima tahun mendatang. "Jadi duit USD500 juta hari ini dan USD500 juta pada lima tahun ke depan kan pasti turun," imbuhnya.

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka harga untuk 10,64% saham yang ditawarkan Freeport seharusnya bisa lebih rendah dari USD1,7 miliar. Karena, harga sahamnya berdasarkan perhitungan tersebut secara keseluruhan hanya USD11,6 miliar.

Pandangan BEI


Terkait perusahaan BUMN mana yang cocok menyerap saham Freeport? Bursa Efek Indonesia (BEI) memandang PT Tabungan dan Asuransi Pensiun (Taspen), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) secara pendanaan kuat mengambil saham Freeport.

Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengatakan, lebih baik pemerintah menyerahkan tugas menyerap pengurangan (divestasi) sebagian saham Freeport kepada tiga perusahaan pelat merah itu ketimbang Antam dan Inalaum. "Kalau ke Taspen, BPJS, Asabri bisa merata semua. Mereka punya dana jangka panjang, siapa bilang tidak kuat?" ujarnya di Jakarta, Sabtu (16/1/2016).

Menurut Tito, pemerintah tinggal menghitung kembali harga divestasi saham yang ditawarkan oleh perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat itu sebesar USD1,7 miliar. "Buat saya adalah pemerintah tinggal duduk, hitung-hitungan bicara jangka panjang. Semua ada caranya, kok," katanya.

Selain itu, lanjut Tito, pemerintah juga harus ikut menyerap saham Freeport sebanyak 30% dan diberikan kesempatan kepada tiga perusahaan itu. "Saya selalu menyinggung tiga institusi yang eligibel. Tolong berikan kesempatan kepada Taspen untuk berikan kesempatan membeli, BPJS, dan Asabri. Kalau tiga yang beli, Freeport akan kasih murah," jelasnya.

Di sisi lain, dia mengatakan, jajaran direksi Freeport bisa berasal dari Indonesia semua jika pemerintah memiliki saham golden share atau dwiwarna. Langkah ini dapat menentukan jajaran direksi dan komisaris.

Menurut Tito, pemerintah bisa mencontoh Telkom yang sekitar 40% sahamnya dimiliki asing tapi jajaran direksinya semua dari Indonesia. "Itu bisa seperti Telkom. Pemerintah bisa punya saham golden share di Freeport, dari 21 perusahaan BUMN yang go public, 17 di antaranya pemerintah punya saham golden share," ujarnya di Jakarta, Sabtu (16/1/2016).

Sebelum memiliki saham golden share, jelas Tito, pemerintah terlebih dahulu bisa menyerap saham 10,64% Freeport Indonesia lewat perusahaan BUMN, seperti Taspen, Asabri, dan BPJS. "Pemerintah bisa lewat Taspen, Asabri, BPJS. Biar kepemilikan merata untuk masyarakat," katanya.

Terkait angka penawaran yang diajukan Freeport Indonesia sebesar USD1,7 miliar, menurut Tito, masih relatif karena porsi tambang terbesar dari perusahaan asal Amerika Serikat itu ada di Grasberg, Papua. "Saya bingung saja kadang-kadang. Angka Freeport saja saya tidak tahu. Sebulan yang lalu Pak Rizal Ramli dan media bilang itu besar sekali. Giliran ditawarkan, itu dibilang mahal sekali. Jadi yang mana?" pungkasnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5511 seconds (0.1#10.140)