Sekjen Perindo: Indonesia Harus Perkuat Diversifikasi Pangan
A
A
A
JAKARTA - Hari Gizi Nasional ke-56 yang diperingati hari ini masih menyisakan catatan buruk bagi pemerintah. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO), sebanyak 19,4 juta jiwa penduduk Indonesia dilanda kelaparan. Angka kelaparan di Indonesia tersebut merupakan yang tertinggi se-Asia Tenggara.
Sementara Kementerian Kesehatan mencatat, lebih dari 4,6 juta balita di tanah air mengalami gizi buruk. Dan Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi provinsi dengan persentase balita penderita gizi buruk tertinggi yakni 33%.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Perindo Ahmad Rofiq, tingginya angka kelaparan dan gizi di Tanah Air disebabkan rendahnya ketahanan pangan nasional. “Indonesia tidak punya ketahanan pangan. Itu berpengaruh terhadap pemenuhan gizi masyarakat, mengingat semua kebutuhan pangan kita impor,” ujarnya saat dihubungi, Senin (25/1/2016).
Seperti diketahui, Indonesia mengimpor berbagai kebutuhan pangan untuk memenuhi kebutuhan nasional. Mulai beras, gandum hingga kedelai. “Padahal itu kebutuhan primer yang bisa dijadikan sebagai bagian dari perbaikan gizi masyarakat,” katanya.
Akibat dipenuhi dari impor, lanjut dia, masyarakat kecil tidak dapat menjangkau kebutuhan pangan yang harganya meroket saat nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah. “Seharusnya pemerintah melakukan pendekatan local content,” ungkapnya.
Artinya, Indonesia harus memperkuat penganekaragaman pangan berdasarkan kearifan lokal sehingga memiliki kemandirian dan ketahanan pangan. Selain beras, masih banyak makanan pokok lain yang dikonsumsi masyarakat di berbagai daerah seperti sagu, jagung dan umbi-umbian. Pangan lokal tersebut perlu ditingkatkan produksinya, sehingga bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Rofiq menambahkan, penganekaragaman pangan disesuaikan dengan potensi masing-masing daerah. “Harapan kita, pemerintah melakukan mapping terhadap potensi-potensi lokal melalui program diversifikasi pangan untuk membangun ketahanan pangan nasional,” tuturnya. (Andini Safitri)
Sementara Kementerian Kesehatan mencatat, lebih dari 4,6 juta balita di tanah air mengalami gizi buruk. Dan Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi provinsi dengan persentase balita penderita gizi buruk tertinggi yakni 33%.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Perindo Ahmad Rofiq, tingginya angka kelaparan dan gizi di Tanah Air disebabkan rendahnya ketahanan pangan nasional. “Indonesia tidak punya ketahanan pangan. Itu berpengaruh terhadap pemenuhan gizi masyarakat, mengingat semua kebutuhan pangan kita impor,” ujarnya saat dihubungi, Senin (25/1/2016).
Seperti diketahui, Indonesia mengimpor berbagai kebutuhan pangan untuk memenuhi kebutuhan nasional. Mulai beras, gandum hingga kedelai. “Padahal itu kebutuhan primer yang bisa dijadikan sebagai bagian dari perbaikan gizi masyarakat,” katanya.
Akibat dipenuhi dari impor, lanjut dia, masyarakat kecil tidak dapat menjangkau kebutuhan pangan yang harganya meroket saat nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah. “Seharusnya pemerintah melakukan pendekatan local content,” ungkapnya.
Artinya, Indonesia harus memperkuat penganekaragaman pangan berdasarkan kearifan lokal sehingga memiliki kemandirian dan ketahanan pangan. Selain beras, masih banyak makanan pokok lain yang dikonsumsi masyarakat di berbagai daerah seperti sagu, jagung dan umbi-umbian. Pangan lokal tersebut perlu ditingkatkan produksinya, sehingga bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Rofiq menambahkan, penganekaragaman pangan disesuaikan dengan potensi masing-masing daerah. “Harapan kita, pemerintah melakukan mapping terhadap potensi-potensi lokal melalui program diversifikasi pangan untuk membangun ketahanan pangan nasional,” tuturnya. (Andini Safitri)
(dmd)