Istana Bantah Jokowi Pilih Kilang Darat untuk Blok Masela
A
A
A
JAKARTA - Lingkaran Istana Kepresidenan membantah pernyataan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Rizal Ramli yang menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengambil keputusan untuk pengembangan kilang di Blok Masela, Maluku Utara.
Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Prabowo menyatakan, sampai saat ini Presiden Jokowi belum memutuskan metode pembangunan Blok Masela apakah menggunakan skema floating LNG (offshore) atau pipanisasi di darat (onshore).
"Presiden masih mengkaji seluruh aspek proyek Masela. Mengingat besaranya skala dan kompleksitas proyek gas Blok Masela, keputusan harus dibuat dengan sangat berhati hati," katanya saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Selasa (23/2/2016).
Mantan petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menegaskan, Presiden saat ini masih mempertimbangkan banyak aspek tidak hanya aspek komersial dan teknis, tetapi juga aspek sosial, kultur, ekonomi, sampai pengembangan kawasaan setempat.
"Saat ini, Presiden sudah mendengar berbagai masukan. Dan sudah memahami argumen-argumen dari berbagai pihak, baik yang berpendapat membangun kilang di laut maupun membangun kilang di darat," imbuh dia.
Menurutnya, perhatian utama Presiden Jokowi adalah bagaimana masyarakat Maluku Selatan dan Maluku keseluruhan menperoleh manfaat secara maksimal, dari keberadaan proyek gas Masela tersebut. "Tetapi tentu juga memberi manfaat maksimal bagi negara," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan Menko bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengklaim, pemerintah Indonesia akan mengembangkan lapangan abadi Blok Masela dengan skenario pembangunan kilang LNG di darat (on shore). (Baca: Rizal Ramli Klaim Pemerintah Pilih Kilang Darat untuk Blok Masela).
"Keputusan itu diambil setelah dilakukan pembahasan secara menyeluruh dan hati-hati, dengan memperhatikan masukan dari banyak pihak. Pertimbangannya, pemerintah sangat memperhatikan multiplier effects serta percepatan pembangunan ekonomi Maluku khususnya, dan Indonesia Timur pada umumnya," jelasnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (22/2/2016).
Dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo selalu memberi arahan, untuk melaksanakan konstitusi dengan konsekuen. Terkait pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, Presiden Jokowi juga berkali-kali menegaskan, pemanfaatan ladang gas abadi Masela tidak sekadar sebagai penghasil devisa, tetapi juga harus menjadi motor percepatan pembangunan ekonomi Maluku dan Indonesia Timur.
Berdasarkan kajian pihaknya, lanjut dia, biaya pembagunan kilang darat (onshore) sekitar USD16 miliar. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut (ofshore), biayanya mencapai USD22 miliar. Dengan demikian, kilang di darat USD6 miliar lebih murah dibandingkan dengan kilang di laut.
Angka ini sangat berbeda dengan perkiraan biaya dari Inpex dan Shell. Mereka menyatakan, pembangunan kilang ofshore hanya USD14,8 miliar. Sedangkan pembangunan kilang di darat, mencapai USD19,3 miliar. “Inpex dan Shell telah membesar-besarkan biaya pembangunan kilang di darat. Sebaliknya, mereka justru mengecilkan biaya pembangunan di laut," ungkapnya.
"Untuk memastikan kebenarannya, kita tantang mereka. Jika ternyata biaya pembangunan di laut membengkak melebihi USD14,8 miliar, maka Inpex dan Shell harus bertanggungjawab membiayai kebihanannya, tidak boleh lagi dibebankan kepada cost recovery. Faktanya Inpex tidak berani. Ini menunjukkan mereka sendiri tidak yakin dengan perkiraan biaya yang mereka buat,” sambungnya.
Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Prabowo menyatakan, sampai saat ini Presiden Jokowi belum memutuskan metode pembangunan Blok Masela apakah menggunakan skema floating LNG (offshore) atau pipanisasi di darat (onshore).
"Presiden masih mengkaji seluruh aspek proyek Masela. Mengingat besaranya skala dan kompleksitas proyek gas Blok Masela, keputusan harus dibuat dengan sangat berhati hati," katanya saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Selasa (23/2/2016).
Mantan petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menegaskan, Presiden saat ini masih mempertimbangkan banyak aspek tidak hanya aspek komersial dan teknis, tetapi juga aspek sosial, kultur, ekonomi, sampai pengembangan kawasaan setempat.
"Saat ini, Presiden sudah mendengar berbagai masukan. Dan sudah memahami argumen-argumen dari berbagai pihak, baik yang berpendapat membangun kilang di laut maupun membangun kilang di darat," imbuh dia.
Menurutnya, perhatian utama Presiden Jokowi adalah bagaimana masyarakat Maluku Selatan dan Maluku keseluruhan menperoleh manfaat secara maksimal, dari keberadaan proyek gas Masela tersebut. "Tetapi tentu juga memberi manfaat maksimal bagi negara," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan Menko bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengklaim, pemerintah Indonesia akan mengembangkan lapangan abadi Blok Masela dengan skenario pembangunan kilang LNG di darat (on shore). (Baca: Rizal Ramli Klaim Pemerintah Pilih Kilang Darat untuk Blok Masela).
"Keputusan itu diambil setelah dilakukan pembahasan secara menyeluruh dan hati-hati, dengan memperhatikan masukan dari banyak pihak. Pertimbangannya, pemerintah sangat memperhatikan multiplier effects serta percepatan pembangunan ekonomi Maluku khususnya, dan Indonesia Timur pada umumnya," jelasnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (22/2/2016).
Dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo selalu memberi arahan, untuk melaksanakan konstitusi dengan konsekuen. Terkait pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, Presiden Jokowi juga berkali-kali menegaskan, pemanfaatan ladang gas abadi Masela tidak sekadar sebagai penghasil devisa, tetapi juga harus menjadi motor percepatan pembangunan ekonomi Maluku dan Indonesia Timur.
Berdasarkan kajian pihaknya, lanjut dia, biaya pembagunan kilang darat (onshore) sekitar USD16 miliar. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut (ofshore), biayanya mencapai USD22 miliar. Dengan demikian, kilang di darat USD6 miliar lebih murah dibandingkan dengan kilang di laut.
Angka ini sangat berbeda dengan perkiraan biaya dari Inpex dan Shell. Mereka menyatakan, pembangunan kilang ofshore hanya USD14,8 miliar. Sedangkan pembangunan kilang di darat, mencapai USD19,3 miliar. “Inpex dan Shell telah membesar-besarkan biaya pembangunan kilang di darat. Sebaliknya, mereka justru mengecilkan biaya pembangunan di laut," ungkapnya.
"Untuk memastikan kebenarannya, kita tantang mereka. Jika ternyata biaya pembangunan di laut membengkak melebihi USD14,8 miliar, maka Inpex dan Shell harus bertanggungjawab membiayai kebihanannya, tidak boleh lagi dibebankan kepada cost recovery. Faktanya Inpex tidak berani. Ini menunjukkan mereka sendiri tidak yakin dengan perkiraan biaya yang mereka buat,” sambungnya.
(izz)