Perusahaan Rata-rata Buang Pendapatan 5%
A
A
A
BERDASARKAN penelitian Chartered Institute of Management Accountants (CIMA) setiap tahun perusahaan global membuang pendapatan rata-rata 5%. Umumnya kerugian tersebut disebabkan proyek-proyek yang tertunda.
Sebanyak 75% mengakui telah menghabiskan biaya untuk hal ini. Diikuti sistem dan proses yang tidak efisien (74%) serta proyek-proyek yang sudah dimulai namun di tengah jalan dibatalkan (55%).
CIMA melakukan survei terhadap lebih dari 2.000 profesional di bidang keuangan. Di mana setengahnya (50%) mengakui perusahaan tidak memiliki strategi untuk mendorong daya saing biaya. Sementara sepertiga (33%) dari responden mengklaim hanya ada sedikit atau tidak ada mandat sama sekali di perusahaan mereka yang dapat menekan biaya saat pengambilan keputusan sehari-hari.
Terbukti bahwa terdapat kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan. Sebanyak 80% responden yakin bahwa mempromosikan budaya sadar akan biaya merupakan tanggung jawab tim eksekutif. Namun kenyataannya sangatlah kontras, hasil penelitian menunjukkan hanya satu dari empat perusahaan (25%) yang memiliki anggota dewan bertugas menjaga daya saing biaya.
"Dengan tidak adanya budaya sadar akan biaya merupakan ancaman terhadap daya saing, kita bisa menjadi seinovatif atau sekreatif yang kita inginkan. Namun, jika biaya produk dan layanan kita terlalu besar, kita tidak dapat memaksimalkan profit kita, dan kita berisiko kalah bersaing dari kompetitor yang lebih murah," ujar Kepala Riset Manajemen Performa CIMA, Peter Spence, dalam keterangan tertulisnya kepada Sindonews.
"Tapi, biaya tidak selalu tentang murah. Ini juga tentang menanamkan budaya sadar akan biaya, sehingga setiap keputusan di setiap tingkatan, berfokus pada pengembalian investasi (return on investment)," imbuhnya.
Dia menyebutkan, melihat kurangnya dorongan dalam perusahaan untuk mengubah kebiasaan buruk, sepertiga (32%) responden mengklaim bahwa insentif karyawan tidak dirancang dengan baik untuk mendorong kontrol biaya. Di mana seperempatnya (25%) yakin bahwa strategi pengendalian biaya tidaklah efektif. Sebanyak 36% menyatakan bahwa teknologi dan data analisis tidak digunakan dengan baik dalam perusahaan mereka.
"Penyeimbangan tujuan jangka pendek dan jangka panjang membutuhkan keterlibatan akuntan manajemen, yang memiliki pemahaman mendalam mengenai faktor pendorong biaya, risiko dan nilai di seluruh rantai nilai perusahaan. Anggota CIMA sangat relevan dalam memastikan keberhasilan yang berkelanjutan di dunia bisnis yang selalu mengalami perubahan seperti saat ini. Di mana tidak ada kepastian di setiap sisinya," tandas Peter Spence.
Sebanyak 75% mengakui telah menghabiskan biaya untuk hal ini. Diikuti sistem dan proses yang tidak efisien (74%) serta proyek-proyek yang sudah dimulai namun di tengah jalan dibatalkan (55%).
CIMA melakukan survei terhadap lebih dari 2.000 profesional di bidang keuangan. Di mana setengahnya (50%) mengakui perusahaan tidak memiliki strategi untuk mendorong daya saing biaya. Sementara sepertiga (33%) dari responden mengklaim hanya ada sedikit atau tidak ada mandat sama sekali di perusahaan mereka yang dapat menekan biaya saat pengambilan keputusan sehari-hari.
Terbukti bahwa terdapat kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan. Sebanyak 80% responden yakin bahwa mempromosikan budaya sadar akan biaya merupakan tanggung jawab tim eksekutif. Namun kenyataannya sangatlah kontras, hasil penelitian menunjukkan hanya satu dari empat perusahaan (25%) yang memiliki anggota dewan bertugas menjaga daya saing biaya.
"Dengan tidak adanya budaya sadar akan biaya merupakan ancaman terhadap daya saing, kita bisa menjadi seinovatif atau sekreatif yang kita inginkan. Namun, jika biaya produk dan layanan kita terlalu besar, kita tidak dapat memaksimalkan profit kita, dan kita berisiko kalah bersaing dari kompetitor yang lebih murah," ujar Kepala Riset Manajemen Performa CIMA, Peter Spence, dalam keterangan tertulisnya kepada Sindonews.
"Tapi, biaya tidak selalu tentang murah. Ini juga tentang menanamkan budaya sadar akan biaya, sehingga setiap keputusan di setiap tingkatan, berfokus pada pengembalian investasi (return on investment)," imbuhnya.
Dia menyebutkan, melihat kurangnya dorongan dalam perusahaan untuk mengubah kebiasaan buruk, sepertiga (32%) responden mengklaim bahwa insentif karyawan tidak dirancang dengan baik untuk mendorong kontrol biaya. Di mana seperempatnya (25%) yakin bahwa strategi pengendalian biaya tidaklah efektif. Sebanyak 36% menyatakan bahwa teknologi dan data analisis tidak digunakan dengan baik dalam perusahaan mereka.
"Penyeimbangan tujuan jangka pendek dan jangka panjang membutuhkan keterlibatan akuntan manajemen, yang memiliki pemahaman mendalam mengenai faktor pendorong biaya, risiko dan nilai di seluruh rantai nilai perusahaan. Anggota CIMA sangat relevan dalam memastikan keberhasilan yang berkelanjutan di dunia bisnis yang selalu mengalami perubahan seperti saat ini. Di mana tidak ada kepastian di setiap sisinya," tandas Peter Spence.
(dmd)