Pendekar Satu Jurus
A
A
A
ADA sebuah buku cerita silat yang judulnya unik, Pendekar Satu Jurus (Wu Lin Ba Zhu). Saya bayangkan betapa repotnya pendekar kita ini. Dia hanya menguasai satu jurus ilmu beladiri.
Apa jadinya jika musuh tidak bisa dikalahkan dalam satu jurus? Atau saya salah duga. Bisa saja pendekar kita ini terlalu hebat sehingga cukup keluarkan satu jurus, musuh pasti terkapar knock out (KO). Atau jangan-jangan pendekar kita hanya punya satu jurus sakti, yaitu langkah seribu alias kabur. Tentu lebih baik jika seorang pendekar punya banyak jurus. Selain lebih aman, juga keren dan inovatif.
Bagaimana dengan seorang investor saham yang hanya punya satu saham? Pada umumnya investor memegang banyak jenis saham. Suatu ketika seorang investor saham yang rajin mengikuti kolom saya minta waktu untuk diskusi.
Ketika dia membuka laptop dan menunjukkan portofolio sahamnya yang berjumlah 88 saham! Sambil tersenyum dia menjelaskan, “Dengan memegang banyak saham saya bisa mengurangi risiko investasi. Kalau ada saham yang rugi, saham lain masih bisa untung. Bukankah sering diingatkan supaya investor tidak menaruh telur di satu keranjang?” Lalu dari mana datangnya angka 88?
“Lah… kalau itu karena saya percaya angka delapan itu membawa hoki.”
Saya hanya bisa membayangkan, betapa pusingnya dia saat memilih 88 saham, dan betapa lelahnya mengikuti perkembangan saham tersebut.
Jika Anda membeli reksa dana saham, pada umumnya fund manager yang mengelola reksa dana tersebut menginvestasikan uang anda pada 30-40 saham. Dari mana datangnya angka ini? Mari kita belajar teori diversifikasi yang ditemukan oleh dua pakar keuangan pemegang Nobel: Harry Markowitz dan William Sharpe.
Menurut Harry Markowitz, ketidakpastian atau fluktuasi harga saham bisa dikurangi jika kita memegang lebih dari satu saham dalam portofolio. Semakin rendah hubungan atau korelasi antara imbal hasil dua saham dalam portofolio, semakin besar penurunan risiko akibat diversifikasi.
Misalnya, memegang saham semen dan saham bank akan lebih bagus dari pada memegang saham dua saham bank. Jika ada perubahan regulasi di sektor perbankan, harga saham kedua bank bisa kompak turun bersama.
William Sharpe menyempurnakan teori Harry Markowitz. Menurut Sharpe, semua saham atau bisnis terpengaruh oleh kejadian makro dan mikro. Kedua kejadian ini yang membuat harga pasar saham berfluktuasi.
Kejadian makro adalah kejadian yang menimpa seluruh saham atau bisnis di sebuah negara. Misalnya, pelambatan perekonomian dan turunnya nilai rupiah.
Sedangkan kejadian mikro adalah kejadian yang hanya menimpa sebuah saham atau bisnis. Misalnya, accounting fraud dan pemogokan karyawan.
Prinsip diversifikasi saham ang diajarkan oleh Markowitz hanya bisa mengurangi risiko akibat kejadian mikro. Sedangkan risiko akibat kejadian makro tidak bisa hilang meskipun kita telah melakukan diversifikasi gila-gilaan, misalnya dengan membeli ribuan jenis saham.
Menurut Sharpe, karena adanya kejadian makro tersebut maka risiko sebuah portofolio akan mencapai titik minimal saat investor mengoleksi sejumlah saham. Ketika titik minimal sudah tercapai, penambahan sejumlah saham baru dalam portofolio tidak bisa menurunkan risiko portfolio lagi. Memegang terlalu banyak saham dalam portofolio malah membuat investor kurang fokus (over-diversified).
Lalu berapa saham yang harus kita beli? Penelitian di AS dan beberapa negara lain seperti China dan India (Statman, 1987; Campbell, dkk, 2001; Kearney dan Poti, 2008), menunjukkan bahwa diperlukan setidaknya 20-40 saham untuk membuang seluruh risiko yang disebabkan oleh faktor mikro.
Bagaimana dengan pasar modal Indonesia? Saya bersama Dommy Admoko, Aviandini Savitri dan Arief Rijanto dari Prasetiya Mulya Business School melakukan penelitian serupa dua tahun silam.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sejatinya cukup dengan memegang 10 saham dalam sebuah portofolio, kita sudah bisa mendiversifikasikan sekitar 90% dari risiko yang bisa dihilangkan lewat diversifikasi. Tentu dengan catatan investor meracik saham-saham dari sektor yang berbeda, serta tetap melakukan analisis fundamental nan teliti.
Dengan memegang hanya 10 saham, seorang investor ritel yang sibuk masih memiliki kemampuan untuk mengikuti perkembangan perusahaan yang sahamnya dia miliki.
Bagaimana kalau investor nekad memegang hanya satu saham alias jadi Pendekar Satu Jurus? Seorang sahabat saya membeli saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) pada 2009 di harga Rp400. Karena yakin harga tersebut sangat murah (tahun 2008 harga BUMI mencapai Rp8.700), ia nekad menjuali semua saham lain untuk membeli saham BUMI.
“Diverisifikasi adalah buat investor yang tidak mengenal saham yang dibeli…,” dia berteori. Ternyata dia benar, harga saham BUMI merangkak naik hingga Rp3.400 pada 2011. Sayangnya, dia masih menunggu kenaikan harga lebih tinggi. Namun harga saham BUMI justru jatuh hingga Rp50. Sampai saat ini dia masih memegang saham semata wayangnya itu.
Lukas Setia Atmaja
Financial Expert-Prasetiya Mulya Business School
Apa jadinya jika musuh tidak bisa dikalahkan dalam satu jurus? Atau saya salah duga. Bisa saja pendekar kita ini terlalu hebat sehingga cukup keluarkan satu jurus, musuh pasti terkapar knock out (KO). Atau jangan-jangan pendekar kita hanya punya satu jurus sakti, yaitu langkah seribu alias kabur. Tentu lebih baik jika seorang pendekar punya banyak jurus. Selain lebih aman, juga keren dan inovatif.
Bagaimana dengan seorang investor saham yang hanya punya satu saham? Pada umumnya investor memegang banyak jenis saham. Suatu ketika seorang investor saham yang rajin mengikuti kolom saya minta waktu untuk diskusi.
Ketika dia membuka laptop dan menunjukkan portofolio sahamnya yang berjumlah 88 saham! Sambil tersenyum dia menjelaskan, “Dengan memegang banyak saham saya bisa mengurangi risiko investasi. Kalau ada saham yang rugi, saham lain masih bisa untung. Bukankah sering diingatkan supaya investor tidak menaruh telur di satu keranjang?” Lalu dari mana datangnya angka 88?
“Lah… kalau itu karena saya percaya angka delapan itu membawa hoki.”
Saya hanya bisa membayangkan, betapa pusingnya dia saat memilih 88 saham, dan betapa lelahnya mengikuti perkembangan saham tersebut.
Jika Anda membeli reksa dana saham, pada umumnya fund manager yang mengelola reksa dana tersebut menginvestasikan uang anda pada 30-40 saham. Dari mana datangnya angka ini? Mari kita belajar teori diversifikasi yang ditemukan oleh dua pakar keuangan pemegang Nobel: Harry Markowitz dan William Sharpe.
Menurut Harry Markowitz, ketidakpastian atau fluktuasi harga saham bisa dikurangi jika kita memegang lebih dari satu saham dalam portofolio. Semakin rendah hubungan atau korelasi antara imbal hasil dua saham dalam portofolio, semakin besar penurunan risiko akibat diversifikasi.
Misalnya, memegang saham semen dan saham bank akan lebih bagus dari pada memegang saham dua saham bank. Jika ada perubahan regulasi di sektor perbankan, harga saham kedua bank bisa kompak turun bersama.
William Sharpe menyempurnakan teori Harry Markowitz. Menurut Sharpe, semua saham atau bisnis terpengaruh oleh kejadian makro dan mikro. Kedua kejadian ini yang membuat harga pasar saham berfluktuasi.
Kejadian makro adalah kejadian yang menimpa seluruh saham atau bisnis di sebuah negara. Misalnya, pelambatan perekonomian dan turunnya nilai rupiah.
Sedangkan kejadian mikro adalah kejadian yang hanya menimpa sebuah saham atau bisnis. Misalnya, accounting fraud dan pemogokan karyawan.
Prinsip diversifikasi saham ang diajarkan oleh Markowitz hanya bisa mengurangi risiko akibat kejadian mikro. Sedangkan risiko akibat kejadian makro tidak bisa hilang meskipun kita telah melakukan diversifikasi gila-gilaan, misalnya dengan membeli ribuan jenis saham.
Menurut Sharpe, karena adanya kejadian makro tersebut maka risiko sebuah portofolio akan mencapai titik minimal saat investor mengoleksi sejumlah saham. Ketika titik minimal sudah tercapai, penambahan sejumlah saham baru dalam portofolio tidak bisa menurunkan risiko portfolio lagi. Memegang terlalu banyak saham dalam portofolio malah membuat investor kurang fokus (over-diversified).
Lalu berapa saham yang harus kita beli? Penelitian di AS dan beberapa negara lain seperti China dan India (Statman, 1987; Campbell, dkk, 2001; Kearney dan Poti, 2008), menunjukkan bahwa diperlukan setidaknya 20-40 saham untuk membuang seluruh risiko yang disebabkan oleh faktor mikro.
Bagaimana dengan pasar modal Indonesia? Saya bersama Dommy Admoko, Aviandini Savitri dan Arief Rijanto dari Prasetiya Mulya Business School melakukan penelitian serupa dua tahun silam.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sejatinya cukup dengan memegang 10 saham dalam sebuah portofolio, kita sudah bisa mendiversifikasikan sekitar 90% dari risiko yang bisa dihilangkan lewat diversifikasi. Tentu dengan catatan investor meracik saham-saham dari sektor yang berbeda, serta tetap melakukan analisis fundamental nan teliti.
Dengan memegang hanya 10 saham, seorang investor ritel yang sibuk masih memiliki kemampuan untuk mengikuti perkembangan perusahaan yang sahamnya dia miliki.
Bagaimana kalau investor nekad memegang hanya satu saham alias jadi Pendekar Satu Jurus? Seorang sahabat saya membeli saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) pada 2009 di harga Rp400. Karena yakin harga tersebut sangat murah (tahun 2008 harga BUMI mencapai Rp8.700), ia nekad menjuali semua saham lain untuk membeli saham BUMI.
“Diverisifikasi adalah buat investor yang tidak mengenal saham yang dibeli…,” dia berteori. Ternyata dia benar, harga saham BUMI merangkak naik hingga Rp3.400 pada 2011. Sayangnya, dia masih menunggu kenaikan harga lebih tinggi. Namun harga saham BUMI justru jatuh hingga Rp50. Sampai saat ini dia masih memegang saham semata wayangnya itu.
Lukas Setia Atmaja
Financial Expert-Prasetiya Mulya Business School
(dmd)