Ketidakpastian Ekonomi Global Dorong Kewajiban Hedging
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menilai kewajiban lindung nilai (hedging) yang dilakukan oleh perusahaan Indonesia dikarenakan terdorong ketidakpastian perekonomian global. Deputi Gubernur BI Hendar menerangkan kondisi tersebut pernah dialami Indonesia pada tahun 2013, di mana kondisi pasar valuta asing (valas) tertekan akibat kondisi global.
Dia menambahkan saat itu kinerja sektor eksternal tertekan akibat melemahnya harga komoditas, Current Account Deficit (CAD) naik di 2013 hingga di atas 3%. "Ini tentu tidak menguntungkan di tengah kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) naik dan kenaikan utang swasta," jelasnya di Gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (28/3/2016).
Dia menambahkan, kondisi tersebut juga berlangsung di tengah perkembangan pasar valas domestik yang masih dangkal. Sehingga akibatnya volatilitas rupiah menjadi yang tertinggi di kawasan meski pergerakannya searah dengan mata uang regional.
"Secara makro kerentanan kurs akan menaikkan tekanan inflasi, mendorong capital inflow, menggangu stabilitas keuangan. Secara mikro ini mengakibatkan kerugian akibat selisih kurs. Beberapa perusahaan BUMN seperti PLN rugi cukup besar karena selisih kurs. Krakatau steel merugi hampir Rp800 miliar, Garuda Indonesia keuntungannya turun dari Rp1,4 triliun jadi Rp6,4 miliar," tandasnya.
Sebagai informasi aturan hedging tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/21/PBI/2014 Tanggal 29 Desember 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN Korporasi Non-bank dan Surat Edaran Ekstern No.16/24/DKEM tanggal 30 Desember 2014 perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN Korporasi Non-bank.
Dalam PBI tersebut turut diatur penyesuaian terhadap cakupan komponen aset dan kewajiban valas, ketentuan terkait pemenuhan kewajiban lindung nilai (hedging) serta terkait pemenuhan kewajiban peringkat utang.
Salah satu poin dalam aturan tersebut adalah penetapan batas minimum (threshold) selisih negatif Kewajiban Valas dan Aset Valas. Ditetapkan sebesar ekuivalen USD 100 ribu. Bila selisih negatif lebih kecil dari threshold maka korporasi tidak wajib memenuhi Rasio Lindung Nilai minimum.
Dia menambahkan saat itu kinerja sektor eksternal tertekan akibat melemahnya harga komoditas, Current Account Deficit (CAD) naik di 2013 hingga di atas 3%. "Ini tentu tidak menguntungkan di tengah kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) naik dan kenaikan utang swasta," jelasnya di Gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (28/3/2016).
Dia menambahkan, kondisi tersebut juga berlangsung di tengah perkembangan pasar valas domestik yang masih dangkal. Sehingga akibatnya volatilitas rupiah menjadi yang tertinggi di kawasan meski pergerakannya searah dengan mata uang regional.
"Secara makro kerentanan kurs akan menaikkan tekanan inflasi, mendorong capital inflow, menggangu stabilitas keuangan. Secara mikro ini mengakibatkan kerugian akibat selisih kurs. Beberapa perusahaan BUMN seperti PLN rugi cukup besar karena selisih kurs. Krakatau steel merugi hampir Rp800 miliar, Garuda Indonesia keuntungannya turun dari Rp1,4 triliun jadi Rp6,4 miliar," tandasnya.
Sebagai informasi aturan hedging tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/21/PBI/2014 Tanggal 29 Desember 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN Korporasi Non-bank dan Surat Edaran Ekstern No.16/24/DKEM tanggal 30 Desember 2014 perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN Korporasi Non-bank.
Dalam PBI tersebut turut diatur penyesuaian terhadap cakupan komponen aset dan kewajiban valas, ketentuan terkait pemenuhan kewajiban lindung nilai (hedging) serta terkait pemenuhan kewajiban peringkat utang.
Salah satu poin dalam aturan tersebut adalah penetapan batas minimum (threshold) selisih negatif Kewajiban Valas dan Aset Valas. Ditetapkan sebesar ekuivalen USD 100 ribu. Bila selisih negatif lebih kecil dari threshold maka korporasi tidak wajib memenuhi Rasio Lindung Nilai minimum.
(akr)