BI Rate Turun, BPR Keluhkan Suku Bunga LPS Masih Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Penurunan suku bunga acuan (BI Rate) oleh Bank Indonesia (BI) membuat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) harus memutar otak lebih keras dalam menyikapinya. Sebab, meskipun BI Rate turun dan digadang-gadang akan susut lagi, tapi suku bunga penjaminan masih bertengger di angka tinggi.
Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Ascar Setiyono mengatakan, sebenarnya BI Rate turun tak begitu berpengaruh terhadap operasional BPR. Namun, yang masih menjadi beban saat ini adalah besarnya suku bunga penjaminan yang diberlakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). “Suku bunga LPS tinggi berarti beban biaya kami juga masih tinggi,” ujarnya, Senin (28/3/2016).
Ascar mengungkapkan, saat ini BI Rate turun menjadi 6,75% diharapkan bisa mendongkrak pengucuran kredit dari masing-masing bank. Namun, yang masih menjadi kendala dan membuat kalangan perbankan enggan melakukan penurunan adalah beban biaya bunga dari dana pihak ketiga (DPK) masih tinggi.
Angka suku bunga dari LPS saat ini masih berada di kisaran 10% dan tergolong lebih tinggi dibanding dengan BI Rate yang telah ditetapkan. BPR serta merta harus mengikuti regulasi yang telah ditetapkan oleh BI. Kekhawatiran masih ada karena beban biaya yang mereka tanggung lebih besar.
“Kalau seperti ini ada sprate negatif alias rugi. Wong pendapatan kita dari bunga misalnya 6,75%, di satu sisi beban kita yang harus dibayar ke masyarakat cukup besar yaitu 10%,” katanya.
Penurunan suku bunga kredit ini memang tidak serta merta bisa dilakukan oleh kalangan perbankan seperti BPR. Saat ini rata-rata bunga kredit dari kalangan BPR di Yogyakarta masing di angka sekitar 1-1,25% sementara suku bunga simpanan ada di angka sekitar 20-21 %.
Karena itu, dia berharap kepada pemerintah melalui LPS agar menurunkan suku bunga simpanan menjadi lebih kecil agar beban biaya yang ditanggung BPR tidak begitu besar. Penurunan suku bunga simpanan ini juga untuk meningkatkan daya saing BPR di Yogyakarta dengan bank-bank umum lainnya.
“Kalau tetap cukup tinggi maka kita tetap akan kelimpungan. Maka harapannya memang ada penurunan dari LPS,” tandasnya.
Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Ascar Setiyono mengatakan, sebenarnya BI Rate turun tak begitu berpengaruh terhadap operasional BPR. Namun, yang masih menjadi beban saat ini adalah besarnya suku bunga penjaminan yang diberlakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). “Suku bunga LPS tinggi berarti beban biaya kami juga masih tinggi,” ujarnya, Senin (28/3/2016).
Ascar mengungkapkan, saat ini BI Rate turun menjadi 6,75% diharapkan bisa mendongkrak pengucuran kredit dari masing-masing bank. Namun, yang masih menjadi kendala dan membuat kalangan perbankan enggan melakukan penurunan adalah beban biaya bunga dari dana pihak ketiga (DPK) masih tinggi.
Angka suku bunga dari LPS saat ini masih berada di kisaran 10% dan tergolong lebih tinggi dibanding dengan BI Rate yang telah ditetapkan. BPR serta merta harus mengikuti regulasi yang telah ditetapkan oleh BI. Kekhawatiran masih ada karena beban biaya yang mereka tanggung lebih besar.
“Kalau seperti ini ada sprate negatif alias rugi. Wong pendapatan kita dari bunga misalnya 6,75%, di satu sisi beban kita yang harus dibayar ke masyarakat cukup besar yaitu 10%,” katanya.
Penurunan suku bunga kredit ini memang tidak serta merta bisa dilakukan oleh kalangan perbankan seperti BPR. Saat ini rata-rata bunga kredit dari kalangan BPR di Yogyakarta masing di angka sekitar 1-1,25% sementara suku bunga simpanan ada di angka sekitar 20-21 %.
Karena itu, dia berharap kepada pemerintah melalui LPS agar menurunkan suku bunga simpanan menjadi lebih kecil agar beban biaya yang ditanggung BPR tidak begitu besar. Penurunan suku bunga simpanan ini juga untuk meningkatkan daya saing BPR di Yogyakarta dengan bank-bank umum lainnya.
“Kalau tetap cukup tinggi maka kita tetap akan kelimpungan. Maka harapannya memang ada penurunan dari LPS,” tandasnya.
(dmd)