Tekanan Ekonomi Domestik Berdampak ke Perbankan
A
A
A
JAKARTA - Analis Riset Mandiri Sekuritas, Tjandra Lienandjaja mengatakan dengan proyeksi pertumbuhan domestik hanya 5%, maka industri perbankan harus waspada dengan potensi kenaikan Non Performing Loan (NPL). Tren peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL) tahun ini akan berlanjut dari posisi 2,73% di bulan Januari 2016. Pembiayaan bermasalah ini akan terus terjadi pada semester pertama tahun ini dan diperkirakan mencapai 3%.
“Rata-rata NPL diprediksi 2,7% dan bisa menjadi 3% pertengahan tahun ini. Apabila pertumbuhan ekonomi bisa tinggi maka angka ini akan turun di paruh kedua tahun ini. Namun untuk coverage ratio perbankan nasional bisa 140% sehingga tetap akan aman,” ujar Tjandra dalam Macro Economic Outlook, pada Selasa (5/4/2016).
Dia mengatakan pada awal tahun ini saja NPL mencapai Rp105 triliun atau naik 2,73% jika dibandingkan akhir 2015 yang tercatat Rp100 triliun.
Segmen terbesar yang diprediksi menyumbang kredit bermasalah adalah kredit modal kerja, dan terendah di segmen konsumsi. Sementara untuk sektornya adalah sektor pertambangan terutama batubara, konstruksi, transportasi kemudian sektor perdagangan, restoran dan hotel.
Per Januari tercatat NPL sektor pertambangan mencapai 4,4% naik dibanding Desember 2015 yang tercatat 4,1%. Sementara NPL konstruksi tercatat 4,8% pada Januari 2016 naik dibanding 4,1% pada Desember 2015. Sedangkan NPL sektor perdagangan, restoran dan hotel tercatat 3,8% pada Januari 2016 naik dibanding Desember 2015 yang tercatat 3,4%.
NPL sektor transportasi, pergudangan, komunikasi juga tercatat naik dari 3,8% pada Desember 2015 menjadi 4,1%. “Kemungkinan suku bunga akan turun tapi tidak akan semuanya bisa single digit. Tidak semua segmen. Seperti UKM dan UMKM itu tidak bisa. Inflasi masih tinggi soalnya dan likuiditas juga masih ketat, dan masih tinggi dan akan naik lagi. BOPO dan cost to income ratio masih tinggi. Kalau inflasi di bawah 4% bisa saja meskipun sulit terwujud,” ujarnya.
Senada dengan itu, Chief Economist Bank Mandiri, Anton H. Gunawan memprediksi pertumbuhan ekonomi domestik masih akan lemah dan berada di level 5% tahun ini atau lebih dari realisasi tahun lalu, yang turun pada posisi 4,7%.
Dia mengatakan kendati ada sedikit potensi kenaikan, pertumbuhan ekonomi masih dalam kondisi cenderung lemah terlihat dari angka impor yang turun sejak dua tahun lalu. Anton memprediksi pada 2016 nilai tukar rupiah berada pada level Rp13.400, suku bunga acuan Bank Indonesia pada posisi 6,5%, inflasi tahunan sebesar 4,5%, dan defisit transaksi berjalan di 2,4%.
Menurutnya, harapan satu-satunya untuk menggerakkan geliat ekonomi berasal dari investasi pemerintah dan swasta. “Tahun ini akhirnya kembali dari fiskal dan berharap ada efek crowding-in, atau pemerintah membangun infrastruktur maka swasta akan ikut sehingga menggerakkan perekonomian. Pertumbuhan 5% tahun ini rasanya sudah berat tapi masih mungkin. Mungkin di kuartal pertama bisa di atas 5% tapi tidak akan jangka panjang,” ujarnya.
Sementara, efek pemangkasan suku bunga acuan oleh bank sentral baru akan memberi dampak setelah 18 bulan ke inflasi. Langkah BI yang terlalu berhati-hati disebutnya harus dihindari karena terbukti rupiah beberapa waktu sebelumnya bisa melemah drastis. Kedepannya diharapkan BI bisa lebih akomodatif dan memanfaatkan ruang pelonggaran BI Rate hingga 6,5% dan juga fasilitas GWM.
Lanjut dia, pengendalian inflasi sangat penting karena merujuk pada pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2015 yang mencapai 5,04% tapi inflasi berada di level 4,5%. Anton menilai seharusnya inflasi bisa pada kisaran 3% dan inflasi bahan pangan disebutkan sebagai pemicu utama laju inflasi tinggi. "Masih ada produktivitas yang melambat, satu-satunya yang mendorong tahun lalu itu di kuartal terakhir adalah dorongan dari belanja pemerintah yang investasi dan investasi swasta," katanya.
“Rata-rata NPL diprediksi 2,7% dan bisa menjadi 3% pertengahan tahun ini. Apabila pertumbuhan ekonomi bisa tinggi maka angka ini akan turun di paruh kedua tahun ini. Namun untuk coverage ratio perbankan nasional bisa 140% sehingga tetap akan aman,” ujar Tjandra dalam Macro Economic Outlook, pada Selasa (5/4/2016).
Dia mengatakan pada awal tahun ini saja NPL mencapai Rp105 triliun atau naik 2,73% jika dibandingkan akhir 2015 yang tercatat Rp100 triliun.
Segmen terbesar yang diprediksi menyumbang kredit bermasalah adalah kredit modal kerja, dan terendah di segmen konsumsi. Sementara untuk sektornya adalah sektor pertambangan terutama batubara, konstruksi, transportasi kemudian sektor perdagangan, restoran dan hotel.
Per Januari tercatat NPL sektor pertambangan mencapai 4,4% naik dibanding Desember 2015 yang tercatat 4,1%. Sementara NPL konstruksi tercatat 4,8% pada Januari 2016 naik dibanding 4,1% pada Desember 2015. Sedangkan NPL sektor perdagangan, restoran dan hotel tercatat 3,8% pada Januari 2016 naik dibanding Desember 2015 yang tercatat 3,4%.
NPL sektor transportasi, pergudangan, komunikasi juga tercatat naik dari 3,8% pada Desember 2015 menjadi 4,1%. “Kemungkinan suku bunga akan turun tapi tidak akan semuanya bisa single digit. Tidak semua segmen. Seperti UKM dan UMKM itu tidak bisa. Inflasi masih tinggi soalnya dan likuiditas juga masih ketat, dan masih tinggi dan akan naik lagi. BOPO dan cost to income ratio masih tinggi. Kalau inflasi di bawah 4% bisa saja meskipun sulit terwujud,” ujarnya.
Senada dengan itu, Chief Economist Bank Mandiri, Anton H. Gunawan memprediksi pertumbuhan ekonomi domestik masih akan lemah dan berada di level 5% tahun ini atau lebih dari realisasi tahun lalu, yang turun pada posisi 4,7%.
Dia mengatakan kendati ada sedikit potensi kenaikan, pertumbuhan ekonomi masih dalam kondisi cenderung lemah terlihat dari angka impor yang turun sejak dua tahun lalu. Anton memprediksi pada 2016 nilai tukar rupiah berada pada level Rp13.400, suku bunga acuan Bank Indonesia pada posisi 6,5%, inflasi tahunan sebesar 4,5%, dan defisit transaksi berjalan di 2,4%.
Menurutnya, harapan satu-satunya untuk menggerakkan geliat ekonomi berasal dari investasi pemerintah dan swasta. “Tahun ini akhirnya kembali dari fiskal dan berharap ada efek crowding-in, atau pemerintah membangun infrastruktur maka swasta akan ikut sehingga menggerakkan perekonomian. Pertumbuhan 5% tahun ini rasanya sudah berat tapi masih mungkin. Mungkin di kuartal pertama bisa di atas 5% tapi tidak akan jangka panjang,” ujarnya.
Sementara, efek pemangkasan suku bunga acuan oleh bank sentral baru akan memberi dampak setelah 18 bulan ke inflasi. Langkah BI yang terlalu berhati-hati disebutnya harus dihindari karena terbukti rupiah beberapa waktu sebelumnya bisa melemah drastis. Kedepannya diharapkan BI bisa lebih akomodatif dan memanfaatkan ruang pelonggaran BI Rate hingga 6,5% dan juga fasilitas GWM.
Lanjut dia, pengendalian inflasi sangat penting karena merujuk pada pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2015 yang mencapai 5,04% tapi inflasi berada di level 4,5%. Anton menilai seharusnya inflasi bisa pada kisaran 3% dan inflasi bahan pangan disebutkan sebagai pemicu utama laju inflasi tinggi. "Masih ada produktivitas yang melambat, satu-satunya yang mendorong tahun lalu itu di kuartal terakhir adalah dorongan dari belanja pemerintah yang investasi dan investasi swasta," katanya.
(ven)