BPJS Ketenagakerjaan Dorong Petani dan Nelayan Miliki Jaminan
A
A
A
YOGYAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sedang mengincar ribuan nelayan serta petani yang tersebar di seluruh DI Yogyakarta untuk menjadi peserta mereka. Potensi yang cukup besar
dari petani dan nelayan ini memang selama ini belum tergarap.
Terlebih dua bidang ini memiliki risiko kecelakaan yang sama besar dengan profesi lainnya. Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan DIY Mochammad Triyono mengatakan, profesi petani dan nelayan di DIY porsinya masih banyak dibanding dengan profesi lain.
Selain potensinya cukup besar, pihaknya juga melihat para petani ataupun nelayan di wilayah DIY belum
memiliki jaminan sosial yang melindungi mereka dari kecelakaan saat menjalankan pekerjaannya.
"Dua profesi ini (petani dan nelayan) terutama nelayan, padahal memiliki risiko kecelakaan cukup besar namun belum tercover asuransi," kata dia, Rabu (13/4/2016).
Karena itu, pihaknya kini tengah mengincar dua profesi tersebut agar mereka memiliki jaminan sosial terutama saat kecelakaan kerja. Saat ini, pihaknya masih memikirkan skema pembayaran premi kedua profesi ini agar tidak memberatkan mereka.
Meskipun sebenarnya nilai premi yang dibayarakan petani dan nelayan tidak terlalu besar. Triyono menyebutkan, untuk membayar premi BPJS Ketenagakerjaan sejatinya tidak terlalu besar karena hanya sekitar 0,24% sampai 1,7% dari upah minimum regional (UMR) yang berlaku.
Atas dasar itu, jika dirata-rata per bulan nelayan dan petani tinggal membayar premi sekitar Rp3.000. Dengan uang yang cukup murah, petani dan nelayan sudah terlindung dari risiko ketika mengalami kecelakaan kerja. Dengan membayar iuran cukup murah tersebut, nelayan dan petani tidak perlu memikirkan risiko ketika mereka mengalami kecelakaan.
Karena, ketika mengalami kecelakaan mereka akan mendapatkan haknya dirawat di pelayanan kelas 1 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) atau rumah sakit sekelas yang ditunjuk oleh BPJS. "Dan klaimnya nanti tidak terbatas jumlahnya," ujarnya.
Kendati murah, dia memang tidak ingin membebani para petani ataupun nelayan yang ingin terdaftar kepersertaannya di BPJS Ketenagakerjaan. Pihaknya kini tengah melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah agar mereka mengalokasikan anggaran untuk pembayaran premi BPJS Ketenagakerjaan.
Contohnya, Pemda Kulonprogo berencana mengasuransikan 7.000 petani penderes (pengambil nira) kelapa yang tersebar di seluruh kabupaten. Hanya saja, rencana tersebut belum terealisasi karena terkendala praktek di lapangan.
"Rencananya yang dicover asuransi itu petani penderes usia hingga 55 tahun. Tetapi faktanya, para penderes yang ada banyak yang usianya di atas 55 tahun. Nah, kami masih mencari skema bagaimana agar semua penderes bisa tercover," terang dia.
Sementara, Sekretaris Jenderal Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) Kirnadi menyambut baik rencana dari BPJS Ketenagakerjaan tersebut. Dia berharap kepada pemerintah daerah untuk memikirkan nasib kaum
terpinggirkan tersebut minimal dengan mengalokasikan anggaran untuk subsidi pembayaran mereka.
Di satu sisi, pihaknya masih menyesalkan banyaknya perusahaan yang belum mengikutsertakan karyawannya pada BPJS Ketenagakerjaan. Diharapkan agar pemerintah mendesak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya di BPJS Ketenagakerjaan.
Dia melihat selama ini, pemerintah yang tak memiliki taring menekan perusahaan dituding menjadi penyebab perusahaan tidak mematuhi aturan mendaftarkan karyawan mereka ke BPJS Ketenagakerjaan. "Pemerintah itu ompong dalam hal apapun karena mereka takut kehilangan investor," ujarnya.
Seharusnya, pemerintah menegakkan aturan secara tegas tanpa pandang bulu. Pemerintah harus bisa menjadi pembina yang baik dan memperhatikan nasib para buruh dan tenaga kerja yang selama ini menjadi sapi perah dari perusahaan.
dari petani dan nelayan ini memang selama ini belum tergarap.
Terlebih dua bidang ini memiliki risiko kecelakaan yang sama besar dengan profesi lainnya. Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan DIY Mochammad Triyono mengatakan, profesi petani dan nelayan di DIY porsinya masih banyak dibanding dengan profesi lain.
Selain potensinya cukup besar, pihaknya juga melihat para petani ataupun nelayan di wilayah DIY belum
memiliki jaminan sosial yang melindungi mereka dari kecelakaan saat menjalankan pekerjaannya.
"Dua profesi ini (petani dan nelayan) terutama nelayan, padahal memiliki risiko kecelakaan cukup besar namun belum tercover asuransi," kata dia, Rabu (13/4/2016).
Karena itu, pihaknya kini tengah mengincar dua profesi tersebut agar mereka memiliki jaminan sosial terutama saat kecelakaan kerja. Saat ini, pihaknya masih memikirkan skema pembayaran premi kedua profesi ini agar tidak memberatkan mereka.
Meskipun sebenarnya nilai premi yang dibayarakan petani dan nelayan tidak terlalu besar. Triyono menyebutkan, untuk membayar premi BPJS Ketenagakerjaan sejatinya tidak terlalu besar karena hanya sekitar 0,24% sampai 1,7% dari upah minimum regional (UMR) yang berlaku.
Atas dasar itu, jika dirata-rata per bulan nelayan dan petani tinggal membayar premi sekitar Rp3.000. Dengan uang yang cukup murah, petani dan nelayan sudah terlindung dari risiko ketika mengalami kecelakaan kerja. Dengan membayar iuran cukup murah tersebut, nelayan dan petani tidak perlu memikirkan risiko ketika mereka mengalami kecelakaan.
Karena, ketika mengalami kecelakaan mereka akan mendapatkan haknya dirawat di pelayanan kelas 1 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) atau rumah sakit sekelas yang ditunjuk oleh BPJS. "Dan klaimnya nanti tidak terbatas jumlahnya," ujarnya.
Kendati murah, dia memang tidak ingin membebani para petani ataupun nelayan yang ingin terdaftar kepersertaannya di BPJS Ketenagakerjaan. Pihaknya kini tengah melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah agar mereka mengalokasikan anggaran untuk pembayaran premi BPJS Ketenagakerjaan.
Contohnya, Pemda Kulonprogo berencana mengasuransikan 7.000 petani penderes (pengambil nira) kelapa yang tersebar di seluruh kabupaten. Hanya saja, rencana tersebut belum terealisasi karena terkendala praktek di lapangan.
"Rencananya yang dicover asuransi itu petani penderes usia hingga 55 tahun. Tetapi faktanya, para penderes yang ada banyak yang usianya di atas 55 tahun. Nah, kami masih mencari skema bagaimana agar semua penderes bisa tercover," terang dia.
Sementara, Sekretaris Jenderal Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) Kirnadi menyambut baik rencana dari BPJS Ketenagakerjaan tersebut. Dia berharap kepada pemerintah daerah untuk memikirkan nasib kaum
terpinggirkan tersebut minimal dengan mengalokasikan anggaran untuk subsidi pembayaran mereka.
Di satu sisi, pihaknya masih menyesalkan banyaknya perusahaan yang belum mengikutsertakan karyawannya pada BPJS Ketenagakerjaan. Diharapkan agar pemerintah mendesak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya di BPJS Ketenagakerjaan.
Dia melihat selama ini, pemerintah yang tak memiliki taring menekan perusahaan dituding menjadi penyebab perusahaan tidak mematuhi aturan mendaftarkan karyawan mereka ke BPJS Ketenagakerjaan. "Pemerintah itu ompong dalam hal apapun karena mereka takut kehilangan investor," ujarnya.
Seharusnya, pemerintah menegakkan aturan secara tegas tanpa pandang bulu. Pemerintah harus bisa menjadi pembina yang baik dan memperhatikan nasib para buruh dan tenaga kerja yang selama ini menjadi sapi perah dari perusahaan.
(izz)