Mayoritas Pembangkit 35.000 MW Belum Masuk ke RTRW Daerah
A
A
A
YOGYAKARTA - Proyek listrik 35.000 megawatt (MW) yang dicanangkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu di Pantai Gua Cemara Bantul sampai saat ini belum juga terealisasi. Proyek ambisius ini nampaknya berjalan di tempat dan Jokowi sendiri telah memerintahkan agar kebijakan penyediaan listrik tersebut dievaluasi.
Anggota Badan Energi Nasional (BEN), Tumiran mengatakan, untuk mewujudkan cita-cita penyediaan listrik 35.000 MW bukan persoalan mudah. Untuk mewujudkannya harus didukung dengan kebijakan yang komprehensif di semua lini agar program ini berjalan sesuai tahapan dan harapan. Kebijakan antara pemerintah pusat dengan stakeholder lainnya harus sejalan.
"Jangan sampai kebijakan pusat tersebut tidak dijalankan di daerah," tuturnya, Selasa (17/5/2016).
Apa yang ia ungkapkan bukan tanpa alasan, karena saat ini belum semua lokasi proyek pembangunan listrik tersebut masuk dalam rencana induk tata ruang wilayah (RTRW) sebuah wilayah. Ia mencontohkan, dari sekian puluh pembangkit listrik yang akan dibangun, ternyata baru 51% yang masuk dalam peraturan daerah (Perda) RTRW.
Ironi, karena peruntukkan lahan menjadi dasar hukum utama agar di kemudian hari tidak dipersoalkan pihak lain. Sinkronisasi antara program Jokowi dengan peraturan di daerah harus segera dilakukan. Proyek ini harus dilaksanakan agar kemandirian energi bisa dilaksanakan di negara dengan penduduk terbesar ketiga di dunia ini.
(Baca: Tak Kunjung Serahkan RUPTL, ESDM Ultimatum PLN)
Program 35.000 MW ini harus ditangani oleh negara agar kebutuhan mendasar bangsa ini tidak dikuasai swasta. Ketika investor swasta masuk, maka pemerintah harus bisa memegang kendalinya agar tetap bisa mengontrol distribusi energi ataupun persoalan tarif dasar listrik setiap penggunaannya. Karena persoalan listrik bukan hanya penyediaan listrik tetapi justru aspek keadilan yang dikedepankan.
"Distribusi yang rumit ini hanya bisa dilaksanakan PLN. Karena persoalannya bukan sekedar ada energy tetapi prinsip keadilan harus tetap dijaga,"tandasnya.
General Manager PT PLN Sumbangsel, Ahsin Sidqi Akhi mengatakan, sebenarnya perlu ketegasan dan sinkronisasi kebijakan pemerintah dalam mendukung proyek 35.000 MW. PLN, kata dia, hanyalah pelaku yang berperan dalam distribusi dari listrik yang dihasilkan. Kebijakan pembangkit listrik masih berada di tangan pemerintah baik terkait dengan jenis pembangkit ataupun kapasitasnya.
Terkait keterbatasan pasokan sumber daya untuk membangkitkan listrik, hal tersebut bukan sebuah permasalahan. Karena Indonesia memiliki energi terbarukan yang sangat banyak, bahkan mampu menghasilkan energi listrik yang sangat besar dengan tingkat resiko dan investasi tidak begitu besar. Dua energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan diantaranya panas bumi dan nuklir.
"Tinggal pemerintah saja ingin menggunakan yang mana,” tegasnya.
Anggota Badan Energi Nasional (BEN), Tumiran mengatakan, untuk mewujudkan cita-cita penyediaan listrik 35.000 MW bukan persoalan mudah. Untuk mewujudkannya harus didukung dengan kebijakan yang komprehensif di semua lini agar program ini berjalan sesuai tahapan dan harapan. Kebijakan antara pemerintah pusat dengan stakeholder lainnya harus sejalan.
"Jangan sampai kebijakan pusat tersebut tidak dijalankan di daerah," tuturnya, Selasa (17/5/2016).
Apa yang ia ungkapkan bukan tanpa alasan, karena saat ini belum semua lokasi proyek pembangunan listrik tersebut masuk dalam rencana induk tata ruang wilayah (RTRW) sebuah wilayah. Ia mencontohkan, dari sekian puluh pembangkit listrik yang akan dibangun, ternyata baru 51% yang masuk dalam peraturan daerah (Perda) RTRW.
Ironi, karena peruntukkan lahan menjadi dasar hukum utama agar di kemudian hari tidak dipersoalkan pihak lain. Sinkronisasi antara program Jokowi dengan peraturan di daerah harus segera dilakukan. Proyek ini harus dilaksanakan agar kemandirian energi bisa dilaksanakan di negara dengan penduduk terbesar ketiga di dunia ini.
(Baca: Tak Kunjung Serahkan RUPTL, ESDM Ultimatum PLN)
Program 35.000 MW ini harus ditangani oleh negara agar kebutuhan mendasar bangsa ini tidak dikuasai swasta. Ketika investor swasta masuk, maka pemerintah harus bisa memegang kendalinya agar tetap bisa mengontrol distribusi energi ataupun persoalan tarif dasar listrik setiap penggunaannya. Karena persoalan listrik bukan hanya penyediaan listrik tetapi justru aspek keadilan yang dikedepankan.
"Distribusi yang rumit ini hanya bisa dilaksanakan PLN. Karena persoalannya bukan sekedar ada energy tetapi prinsip keadilan harus tetap dijaga,"tandasnya.
General Manager PT PLN Sumbangsel, Ahsin Sidqi Akhi mengatakan, sebenarnya perlu ketegasan dan sinkronisasi kebijakan pemerintah dalam mendukung proyek 35.000 MW. PLN, kata dia, hanyalah pelaku yang berperan dalam distribusi dari listrik yang dihasilkan. Kebijakan pembangkit listrik masih berada di tangan pemerintah baik terkait dengan jenis pembangkit ataupun kapasitasnya.
Terkait keterbatasan pasokan sumber daya untuk membangkitkan listrik, hal tersebut bukan sebuah permasalahan. Karena Indonesia memiliki energi terbarukan yang sangat banyak, bahkan mampu menghasilkan energi listrik yang sangat besar dengan tingkat resiko dan investasi tidak begitu besar. Dua energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan diantaranya panas bumi dan nuklir.
"Tinggal pemerintah saja ingin menggunakan yang mana,” tegasnya.
(ven)