OJK Akui Tingkat Literasi Keuangan RI Masih Rendah
A
A
A
JAKARTA - Tingkat literasi masyarakat Indonesia tentang lembaga keuangan masih rendah. Meskipun kehadiran lembaga keuangan seperti perbankan sudah lama di Indonesia, namun tingkat literasi lembaga keuangan di Indonesia baru sekitar 21,5% dan inklusi keuangan sedikit menggembirakan karena berada di angka 51,9%.
Anggota Dewan Komisioner Bidang Keuangan dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kusumaningtuti dalam Forum Group Discution (FGD) Pimpinan Media Massa di Royal Ambarrukmo Hotel, Yogyakarta mengatakan, saat ini angka literasi atau pengetahuan masyarakat Indonesia tentang keuangan masih rendah.
Dunia perbankan dan lembaga keuangan yang masih berkonsentrasi di kota-kota besar mengakibatkan akses masyarakat ke perbankan masih didominasi masyarakat perkotaan.
"Sebenarnya, untuk meningkatkan literasi kata kuncinya adalah akses ke perbankan dan lembaga keuangan itu sendiri," ujarnya, Jumat (20/5/2016).
Wanita yang akrab dipanggil Tituk tersebut mengungkapkan, rendahnya literasi terhadap produk lembaga keuangan membuat kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk perbankan atau lembaga keuangan resmi menjadi terbatas.
Tradisi masyarakat untuk menabung masih bersifat tradisional, yaitu dalam wadah atau tempat tertentu di dalam rumah mereka. Akibat yang paling buruk karena rendahnya literasi tersebut, banyak masyarakat terjebak dalam investasi bodong.
Dia menuturkan, karena rendahnya literasi tersebut mengakibatkan mereka mudah tergiur dengan tawaran-tawaran investasi yang jika dinalar benefit atau keuntungan yang diberikan tidak masuk akal. Investasi bodong marak karena masih ada warga yang tertarik atau terpedaya dengan tawaran tidak masuk akal tersebut.
Karena itu, OJK membuat banyak inisiasi untuk meningkatkan angka literasi di masyarakat. Selain gencar melakukan sosialisasi, OJK juga berupaya lebih mendekatkan produk-produk perbankan atau lembaga keuangan resmi lainnya ke masyarakat.
Khusus untuk perbankan, OJK telah menginisiasi pembentukan laku pandai di tengah masyarakat. Perilaku laku pandai adalah kebijakan OJK yang memungkinkan warga menjadi kepanjangan tangan layanan suatu bank.
"Laku pandai memperpendek jarak atau gap antara perbankan dengan masyarakat. Karena, untuk mendapatkan layanan perbankan, masyarakat bisa mengaksesnya di laku pandai tersebut," terangnya.
Dia menambahkan, era digitalisasi melalui smartphone sebenarnya menjadi peluang perbankan untuk meningkatkan literasi masyarakat terhadap produk-produk mereka. Pengguna smartphone atau internet yang sudah mencapai 80% dari seluruh penduduk di Indonesia menjadi peluang perbankan untuk melakukan sosialisasi secara masif terkait produk mereka.
Pasalnya, jika tingkat literasi masyarakat terkait lembaga keuangan meningkat, dia berharap akan semakin sedikit masyarakat yang terjebak dalam investasi bodong. Terlebih, investasi bodong saat ini sudah masuk ke berbagai daerah, bahkan masuk ke pelosok-pelosok. Tak hanya masyarakat kecil, tetapi masyarakat yang berpendidikan tinggi atau bahkan pejabat ada yang menjadi korban investasi bodong.
"Sayangnya kami tidak memiliki data konkret karena biasanya orang yang berpendidikan tinggi dan terjebak investasi bodong jarang melapor. Mereka malu," ujar Tituk.
Kepala Kantor Perwakilan OJK DIY Fauzi Nugroho mengakui tingkat literasi masyarakat di Indonesia tentang perbankan rendah. Hanya saja, di DIY angka literasi agak tinggi dibanding angka nasional.
Saat ini, akses masyarakat ke perbankan di DIY sudah mudah karena luas area yang tidak begitu besar. Sehingga, saat ini angka literasi perbankan di DIY sudah mencapai 25%. "Kami berupaya meningkatkannya melalui berbagai cara. Tahun ini kami menargetkan bisa di atas 50%," ujar dia.
Anggota Dewan Komisioner Bidang Keuangan dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kusumaningtuti dalam Forum Group Discution (FGD) Pimpinan Media Massa di Royal Ambarrukmo Hotel, Yogyakarta mengatakan, saat ini angka literasi atau pengetahuan masyarakat Indonesia tentang keuangan masih rendah.
Dunia perbankan dan lembaga keuangan yang masih berkonsentrasi di kota-kota besar mengakibatkan akses masyarakat ke perbankan masih didominasi masyarakat perkotaan.
"Sebenarnya, untuk meningkatkan literasi kata kuncinya adalah akses ke perbankan dan lembaga keuangan itu sendiri," ujarnya, Jumat (20/5/2016).
Wanita yang akrab dipanggil Tituk tersebut mengungkapkan, rendahnya literasi terhadap produk lembaga keuangan membuat kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk perbankan atau lembaga keuangan resmi menjadi terbatas.
Tradisi masyarakat untuk menabung masih bersifat tradisional, yaitu dalam wadah atau tempat tertentu di dalam rumah mereka. Akibat yang paling buruk karena rendahnya literasi tersebut, banyak masyarakat terjebak dalam investasi bodong.
Dia menuturkan, karena rendahnya literasi tersebut mengakibatkan mereka mudah tergiur dengan tawaran-tawaran investasi yang jika dinalar benefit atau keuntungan yang diberikan tidak masuk akal. Investasi bodong marak karena masih ada warga yang tertarik atau terpedaya dengan tawaran tidak masuk akal tersebut.
Karena itu, OJK membuat banyak inisiasi untuk meningkatkan angka literasi di masyarakat. Selain gencar melakukan sosialisasi, OJK juga berupaya lebih mendekatkan produk-produk perbankan atau lembaga keuangan resmi lainnya ke masyarakat.
Khusus untuk perbankan, OJK telah menginisiasi pembentukan laku pandai di tengah masyarakat. Perilaku laku pandai adalah kebijakan OJK yang memungkinkan warga menjadi kepanjangan tangan layanan suatu bank.
"Laku pandai memperpendek jarak atau gap antara perbankan dengan masyarakat. Karena, untuk mendapatkan layanan perbankan, masyarakat bisa mengaksesnya di laku pandai tersebut," terangnya.
Dia menambahkan, era digitalisasi melalui smartphone sebenarnya menjadi peluang perbankan untuk meningkatkan literasi masyarakat terhadap produk-produk mereka. Pengguna smartphone atau internet yang sudah mencapai 80% dari seluruh penduduk di Indonesia menjadi peluang perbankan untuk melakukan sosialisasi secara masif terkait produk mereka.
Pasalnya, jika tingkat literasi masyarakat terkait lembaga keuangan meningkat, dia berharap akan semakin sedikit masyarakat yang terjebak dalam investasi bodong. Terlebih, investasi bodong saat ini sudah masuk ke berbagai daerah, bahkan masuk ke pelosok-pelosok. Tak hanya masyarakat kecil, tetapi masyarakat yang berpendidikan tinggi atau bahkan pejabat ada yang menjadi korban investasi bodong.
"Sayangnya kami tidak memiliki data konkret karena biasanya orang yang berpendidikan tinggi dan terjebak investasi bodong jarang melapor. Mereka malu," ujar Tituk.
Kepala Kantor Perwakilan OJK DIY Fauzi Nugroho mengakui tingkat literasi masyarakat di Indonesia tentang perbankan rendah. Hanya saja, di DIY angka literasi agak tinggi dibanding angka nasional.
Saat ini, akses masyarakat ke perbankan di DIY sudah mudah karena luas area yang tidak begitu besar. Sehingga, saat ini angka literasi perbankan di DIY sudah mencapai 25%. "Kami berupaya meningkatkannya melalui berbagai cara. Tahun ini kami menargetkan bisa di atas 50%," ujar dia.
(izz)