Penyebab Gejolak Harga Sembako Jelang Ramadhan dan Lebaran
A
A
A
JAKARTA - Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) mengungkapkan penyebab utama terjadinya gejolak harga bahan kebutuhan pokok (sembako) setiap menjelang Ramadhan dan Lebaran. Penyebabnya adalah data kebutuhan masyarakat dengan pasokan pangan tidak seragam.
"Apa masalahnya? Tadi ada bicara soal distribusinya, ada soal tingkat ketersediannya. Itu kan sebenarnya bisa diantisipasi sejak awal-awal, dengan melihat musim. Tapi pokok persoalannya adalah soal data. Database kita itu rupanya, saya tadi mengusulkan database kita harus ada cut of date. Terus ada moratorium," ujar Anggota Wantimpres, Suharso Manoarfa di Jakarta, Jumat (27/5/2016).
"Saya menduga seperti ini. Bertahun-tahun kita memberikan subsidi untuk bibit, pupuk, kemana itu? Hasilnya mana? Kalau kita hitung-hitung, kita kelebihan 10 juta ton per tahun. Kalau sudah sekian puluh tahun berapa. Belasan tahun bisa seratus jutaan. Kemana itu barang? Berarti data itu enggak benar. Kalau data itu enggak benar, berarti pupuk dan bibit itu kemana dong," bebernya.
Dia menerangkan, pihaknya akan mengusulkan seluruh daerah yang menjadi lumbung pangan nasional, bupati, wali kota, gubernur memberikan berapa luas lahan pertanian mereka. Untuk beras, ada berapa? Berapa yang beririgasi teknis, dan berapa yang tidak beririgasi teknis? Berapa yang berproduksi, kemudian siklus produksinya seperti apa?
Kemudian penambahan atau pengurangan luas lahan panen setiap tahun seperti apa? Menurut Suharso itu mesti ada. Dari data tersebut baru bisa dilakukan karena BPS mengambil data mentahnya juga dari Kementan.
"Kemarin kita tes, apakah benar orang Indonesia makannya setahun 135 kg per kapita. Ternyata, kalau 135 kg berapa juta ton hampir 30 juta ton. Tapi kalau yang tersedia bisa 45 juta ton. Nah kalau 45 juta ton, kemana yang lainnya," tandasnya.
"Apa masalahnya? Tadi ada bicara soal distribusinya, ada soal tingkat ketersediannya. Itu kan sebenarnya bisa diantisipasi sejak awal-awal, dengan melihat musim. Tapi pokok persoalannya adalah soal data. Database kita itu rupanya, saya tadi mengusulkan database kita harus ada cut of date. Terus ada moratorium," ujar Anggota Wantimpres, Suharso Manoarfa di Jakarta, Jumat (27/5/2016).
"Saya menduga seperti ini. Bertahun-tahun kita memberikan subsidi untuk bibit, pupuk, kemana itu? Hasilnya mana? Kalau kita hitung-hitung, kita kelebihan 10 juta ton per tahun. Kalau sudah sekian puluh tahun berapa. Belasan tahun bisa seratus jutaan. Kemana itu barang? Berarti data itu enggak benar. Kalau data itu enggak benar, berarti pupuk dan bibit itu kemana dong," bebernya.
Dia menerangkan, pihaknya akan mengusulkan seluruh daerah yang menjadi lumbung pangan nasional, bupati, wali kota, gubernur memberikan berapa luas lahan pertanian mereka. Untuk beras, ada berapa? Berapa yang beririgasi teknis, dan berapa yang tidak beririgasi teknis? Berapa yang berproduksi, kemudian siklus produksinya seperti apa?
Kemudian penambahan atau pengurangan luas lahan panen setiap tahun seperti apa? Menurut Suharso itu mesti ada. Dari data tersebut baru bisa dilakukan karena BPS mengambil data mentahnya juga dari Kementan.
"Kemarin kita tes, apakah benar orang Indonesia makannya setahun 135 kg per kapita. Ternyata, kalau 135 kg berapa juta ton hampir 30 juta ton. Tapi kalau yang tersedia bisa 45 juta ton. Nah kalau 45 juta ton, kemana yang lainnya," tandasnya.
(dmd)