Karyawan BHP Billiton Khawatir PHK
A
A
A
JAKARTA - Kabar pelepasan saham (divestasi) BHP Billiton di PT Indomet Coal (IMC) menimbulkan keresahan karyawan. Pekerja di perusahaan tambang asal Australia itu khawatir mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Diketahui, BHP Billiton menguasai 76% saham IMC, sisanya dimiliki PT Adaro Energy Tbk. PT IMC memegang tujuh konsesi PKP2B proyek batu bara di Kalimantan, yakni PT Lahai Coal, PT Ratah Coal, PT Juloi Coal, PT Pari Coal, PT Sumber Barito Coal, PT Kalteng Coal dan PT Maruwai Coal.
Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (P3HI) Kementerian Tenaga Kerja, Sahat Sinurat meminta BHP Billiton memperhatikan faktor tenaga kerja. Dia berharap ada forum komunikasi intensif antara perusahaan dan karyawan. Karyawan berhak tahu tentang rencana perusahaan, termasuk rencana divestasi saham.
“Walaupun bukan merupakan hak dari pekerja dan bukan domain pekerja, tetapi kalau sudah merasa menjadi mitra antara pengusaha dan pekerja, secara etika moral sebenarnya hal–hal tentang perubahan kepemilikan itu dapat diinformasikan kepada pekerja karena menyangkut dengan proses berjalannya usaha mereka,” jelas Sahat di Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Dia berharap rencana divestasi BHP Billiton tidak akan berdampak PHK karyawan. Apabila terjadi pergantian kepemilikan dan ada proses lay off, maka kewajiban karyawan harus diselesaikan sesuai regulasi ketenagakerjaan. Saat ini, sektor ketenagakerjaan mengacu kepada UU Ketenagakerjaan No 3 Tahun 2003 Pasal 163 ayat (1) dan (2) yang mengatur soal pesangon dan kewajiban perusahaan.
Secara terpisah, pengamat ketenagakerjaan Timbul Siregar mengatakan, keresahan yang muncul di kalangan karyawan BHP Billiton akibat tidak adanya transparansi rencana perusahaan ke depan yang akan berpengaruh terhadap operasional perusahaan.
Dalam skala yang lebih tinggi, hal tersebut dapat menimbulkan demonstrasi bahkan pemogokan karyawan. Bahkan, di lokasi proyek bukan tidak mungkin akan terjadi blokade alat-alat berat yang akan sangat mengganggu operasional perusahaan.
“Pasti dong, artinya pekerja juga merupakan hal yang wajar untuk menanyakan nasibnya seperti itu. Kalau nasibnya belum jelas juga artinya kan kontra produktif," ujar Timbul.
Selain itu, rencana divestasi BHP Billiton meresahkan ratusan vendor lokal pada proyek PT Indomet Coal (IMC) di Kalimantan Tengah. Saat ini, terdapat sekitar 500 kontraktor di tujuh proyek PT IMC. Ratusan kontraktor dalam proyek tersebut khawatir peralihan saham akan mengancam keberlangsungan pekerjaan mereka di proyek PT IMC.
Manajemen BHP Billiton Indonesia sendiri sudah melakukan pertemuan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Selasa (24/5/2016) lalu. BHP Billiton dan Kementerian ESDM berdalih pertemuan tersebut hanya sebatas membahas evaluasi dan rencana strategis BHP Billiton di Indonesia, belum menyentuh persoalan divestasi saham.
"Hanya laporan biasa. Masih bahas strategic review, belum sampai ke arah itu (divestasi saham)," kata Presiden Direktur BHP Billiton Indonesia, Imelda Adhisaputra.
Diketahui, BHP Billiton menguasai 76% saham IMC, sisanya dimiliki PT Adaro Energy Tbk. PT IMC memegang tujuh konsesi PKP2B proyek batu bara di Kalimantan, yakni PT Lahai Coal, PT Ratah Coal, PT Juloi Coal, PT Pari Coal, PT Sumber Barito Coal, PT Kalteng Coal dan PT Maruwai Coal.
Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (P3HI) Kementerian Tenaga Kerja, Sahat Sinurat meminta BHP Billiton memperhatikan faktor tenaga kerja. Dia berharap ada forum komunikasi intensif antara perusahaan dan karyawan. Karyawan berhak tahu tentang rencana perusahaan, termasuk rencana divestasi saham.
“Walaupun bukan merupakan hak dari pekerja dan bukan domain pekerja, tetapi kalau sudah merasa menjadi mitra antara pengusaha dan pekerja, secara etika moral sebenarnya hal–hal tentang perubahan kepemilikan itu dapat diinformasikan kepada pekerja karena menyangkut dengan proses berjalannya usaha mereka,” jelas Sahat di Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Dia berharap rencana divestasi BHP Billiton tidak akan berdampak PHK karyawan. Apabila terjadi pergantian kepemilikan dan ada proses lay off, maka kewajiban karyawan harus diselesaikan sesuai regulasi ketenagakerjaan. Saat ini, sektor ketenagakerjaan mengacu kepada UU Ketenagakerjaan No 3 Tahun 2003 Pasal 163 ayat (1) dan (2) yang mengatur soal pesangon dan kewajiban perusahaan.
Secara terpisah, pengamat ketenagakerjaan Timbul Siregar mengatakan, keresahan yang muncul di kalangan karyawan BHP Billiton akibat tidak adanya transparansi rencana perusahaan ke depan yang akan berpengaruh terhadap operasional perusahaan.
Dalam skala yang lebih tinggi, hal tersebut dapat menimbulkan demonstrasi bahkan pemogokan karyawan. Bahkan, di lokasi proyek bukan tidak mungkin akan terjadi blokade alat-alat berat yang akan sangat mengganggu operasional perusahaan.
“Pasti dong, artinya pekerja juga merupakan hal yang wajar untuk menanyakan nasibnya seperti itu. Kalau nasibnya belum jelas juga artinya kan kontra produktif," ujar Timbul.
Selain itu, rencana divestasi BHP Billiton meresahkan ratusan vendor lokal pada proyek PT Indomet Coal (IMC) di Kalimantan Tengah. Saat ini, terdapat sekitar 500 kontraktor di tujuh proyek PT IMC. Ratusan kontraktor dalam proyek tersebut khawatir peralihan saham akan mengancam keberlangsungan pekerjaan mereka di proyek PT IMC.
Manajemen BHP Billiton Indonesia sendiri sudah melakukan pertemuan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Selasa (24/5/2016) lalu. BHP Billiton dan Kementerian ESDM berdalih pertemuan tersebut hanya sebatas membahas evaluasi dan rencana strategis BHP Billiton di Indonesia, belum menyentuh persoalan divestasi saham.
"Hanya laporan biasa. Masih bahas strategic review, belum sampai ke arah itu (divestasi saham)," kata Presiden Direktur BHP Billiton Indonesia, Imelda Adhisaputra.
(dmd)