Kemnaker Targetkan Tarik 16.500 Pekerja Anak di 2016
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan menargetkan penarikan pekerja anak sebanyak 16.500 orang pada tahun 2016. Program penarikan pekerja anak dilakukan untuk mendukung program Keluarga Harapan yang diselenggarakan di 24 provinsi dan 138 kabupaten/kota.
Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri mengatakan agar program penarikan pekerja anak ini dapat berjalan secara optimal dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak terkait, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, pemerintah provinsi/kabupaten/kota, LSM, ILO, serikat pekerja/serikat buruh, dan asosiasi pengusaha.
“Percepatan penarikan pekerja anak harus melibatkan semua sektor terkait. Karena itu, kita terus menggalang kerja sama dengan instansi pemerintah, dunia usaha dan industri, serikat pekerja, orang tua dan masyarakat umum,” kata Hanif dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Sejak 2008-2015, Kemnaker telah menarik 63.663 pekerja anak dan dikembalikan ke satuan pendidikan. Rinciannya, 2008 sebanyak 4.853 anak, 2009 tidak ada kegiatan, 2010 sebanyak 3.000, 2011 3.060, 2012 ada 10.750 dan 2013 sebanyak 11.000. Lalu pada 2014 terdapat 15.000, dan 2015 sebanyak 16.000 anak.
Dia mengatakan bulan Juni dicanangkan sebagai bulan Kampanye Menentang Pekerja Anak. Program ini memiliki sasaran utama anak bekerja dan putus sekolah yang berasal Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan berusia 7-15 tahun.
Dengan progam ini diharapkan dapat mencegah anak-anak terutama dari pekerjaan terburuk dan berbahaya seperti perbudakan, pelacuran, pornografi, perjudian, dan keterlibatan narkoba. Menurut dia, dari program pemerintah ini, ditargetkan Indonesia akan menjadi negara bebas pekerja anak pada tahun 2022.
“Pekerja anak yang ditarik kemudian akan menjalani program pendampingan khusus selama empat bulan. Seusai pendampingan, mereka akan kembali disekolahkan untuk belajar di bangku sekolah seperti SD, SMP, SMA, madrasah dan pesantren ataupun kelompok belajar paket A, B, dan C,” ujar Hanif.
Dia menegaskan, selama ini pemerintah telah melakukan pendekatan khusus untuk melarang anak usia sekolah untuk bekerja. Ia pun mengajak semua pihak untuk turut serta membantu menyelamatkan pekerja anak. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan tidak memaksa anak untuk bekerja dengan alasan apapun baik itu oleh pengusaha, orangtua, dan masyarakat sekitar.
Kawasan-kawasan industri di seluruh Indonesia juga menjadi target prioritas program bebas pekerja anak. Seluruh perusahaan di kawasan-kawasan industri tersebut dilarang keras melakukan rekrutmen dan mempekerjakan pekerja anak di semua bidang pekerjaan.
“Para pengusaha, orangtua dan masyarakat harus tahu dan menyadari bahwa berdasarkan UU Perlindungan Anak, mempekerjakan anak di bawah umur adalah dilarang. Apalagi untuk dengan pekerjaan-pekerjaan terburuk dan berbahaya," paparnya.
Dia melanjutkan, pemerintah terus menerus melakukan pendekatan khusus berupa sosialisasi, persuasif hingga penindakan hukum yang tegas.
“Apabila terjadi pelanggaran ketentuan pekerja anak, silakan segera melaporkannya ke dinas-dinas tenaga kerja setempat, Kemnaker ataupun kepada pihak kepolisan terdekat untuk ditindaklanjuti. Pelanggaran aturan pekerja anak ini harus dihentikan,”ungkap dia.
Diakuinya memang tidak mudah untuk menarik pekerja anak. Namun, hal tersebut harus tetap dilakukan. Bahkan agar manfaat program penarikan pekerja anak ini tetap optimal, pemerintah terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap anak-anak yang telah ditarik dan dikembalikan ke satuan pendidikan.
“Adalah kewajiban kita semua untuk menjaga anak-anak Indonesia agar menjadi sehat fisik, mental dan sosial, berpendidikan, inovatif, kreatif, terlindung dari diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi," tukas Hanif.
Penarikan pekerja anak, merupakan komitmen Indonesia melaksanakan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dan Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Komitmen ini terlihat dengan diratifikasinya kedua Konvensi ILO tersebut dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000.
Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri mengatakan agar program penarikan pekerja anak ini dapat berjalan secara optimal dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak terkait, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, pemerintah provinsi/kabupaten/kota, LSM, ILO, serikat pekerja/serikat buruh, dan asosiasi pengusaha.
“Percepatan penarikan pekerja anak harus melibatkan semua sektor terkait. Karena itu, kita terus menggalang kerja sama dengan instansi pemerintah, dunia usaha dan industri, serikat pekerja, orang tua dan masyarakat umum,” kata Hanif dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Sejak 2008-2015, Kemnaker telah menarik 63.663 pekerja anak dan dikembalikan ke satuan pendidikan. Rinciannya, 2008 sebanyak 4.853 anak, 2009 tidak ada kegiatan, 2010 sebanyak 3.000, 2011 3.060, 2012 ada 10.750 dan 2013 sebanyak 11.000. Lalu pada 2014 terdapat 15.000, dan 2015 sebanyak 16.000 anak.
Dia mengatakan bulan Juni dicanangkan sebagai bulan Kampanye Menentang Pekerja Anak. Program ini memiliki sasaran utama anak bekerja dan putus sekolah yang berasal Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan berusia 7-15 tahun.
Dengan progam ini diharapkan dapat mencegah anak-anak terutama dari pekerjaan terburuk dan berbahaya seperti perbudakan, pelacuran, pornografi, perjudian, dan keterlibatan narkoba. Menurut dia, dari program pemerintah ini, ditargetkan Indonesia akan menjadi negara bebas pekerja anak pada tahun 2022.
“Pekerja anak yang ditarik kemudian akan menjalani program pendampingan khusus selama empat bulan. Seusai pendampingan, mereka akan kembali disekolahkan untuk belajar di bangku sekolah seperti SD, SMP, SMA, madrasah dan pesantren ataupun kelompok belajar paket A, B, dan C,” ujar Hanif.
Dia menegaskan, selama ini pemerintah telah melakukan pendekatan khusus untuk melarang anak usia sekolah untuk bekerja. Ia pun mengajak semua pihak untuk turut serta membantu menyelamatkan pekerja anak. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan tidak memaksa anak untuk bekerja dengan alasan apapun baik itu oleh pengusaha, orangtua, dan masyarakat sekitar.
Kawasan-kawasan industri di seluruh Indonesia juga menjadi target prioritas program bebas pekerja anak. Seluruh perusahaan di kawasan-kawasan industri tersebut dilarang keras melakukan rekrutmen dan mempekerjakan pekerja anak di semua bidang pekerjaan.
“Para pengusaha, orangtua dan masyarakat harus tahu dan menyadari bahwa berdasarkan UU Perlindungan Anak, mempekerjakan anak di bawah umur adalah dilarang. Apalagi untuk dengan pekerjaan-pekerjaan terburuk dan berbahaya," paparnya.
Dia melanjutkan, pemerintah terus menerus melakukan pendekatan khusus berupa sosialisasi, persuasif hingga penindakan hukum yang tegas.
“Apabila terjadi pelanggaran ketentuan pekerja anak, silakan segera melaporkannya ke dinas-dinas tenaga kerja setempat, Kemnaker ataupun kepada pihak kepolisan terdekat untuk ditindaklanjuti. Pelanggaran aturan pekerja anak ini harus dihentikan,”ungkap dia.
Diakuinya memang tidak mudah untuk menarik pekerja anak. Namun, hal tersebut harus tetap dilakukan. Bahkan agar manfaat program penarikan pekerja anak ini tetap optimal, pemerintah terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap anak-anak yang telah ditarik dan dikembalikan ke satuan pendidikan.
“Adalah kewajiban kita semua untuk menjaga anak-anak Indonesia agar menjadi sehat fisik, mental dan sosial, berpendidikan, inovatif, kreatif, terlindung dari diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi," tukas Hanif.
Penarikan pekerja anak, merupakan komitmen Indonesia melaksanakan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dan Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Komitmen ini terlihat dengan diratifikasinya kedua Konvensi ILO tersebut dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000.
(ven)