Lebaran Kuda dan Industri Sepak Bola
A
A
A
JAKARTA - Ingar-bingar sepak bola Piala Eropa membuat saya mendadak teringat pada Tim Merah Putih. Selama setengah bulan saya menjadi pendukung berbagai tim yang tidak ada hubungannya dengan negara saya. PSSI, bagaimana kabarmu?
Menurut FIFA, peringkat tim nasional Indonesia di dunia saat ini adalah 185, kalah dari Timor Leste, Laos, dan Kamboja. Terakhir kali saya mengalami euforia ketika menonton Timnas adalah saat Ribut Waidi mencetak gol tunggal ke gawang Malaysia di Final Sea Games 1987.
Mungkinkah PSSI bangkit kembali? Tak ada yang mustahil. Lihat prestasi Islandia, negara berpenduduk kurang dari 400.000 orang, yang prestasinya mengejutkan di Piala Eropa.
Hipotesa saya adalah untuk berprestasi bagus maka diperlukan fondasi industri sepak bola yang solid. Lihat korelasi antara prestasi tim Jepang dan Korea Selatan dengan kemajuan industri sepak bola mereka.
Pemilik dan manajemen klub sepak bola Indonesia perlu menyadari bahwa klub sepak bola harus dikelola secara bisnis. Layaknya perusahaan, klub sepak bola harus bisa mandiri dalam pendanaan dan menghasilkan laba. Adalah rahasia umum bahwa sebagian besar klub yang berlaga di liga disusui dengan duit dari APBD.
Memang pernah ada Peraturan Mendagri Nomor 59 Tahun 2007 yang melarang dana APBD dikucurkan langsung ke klub sepak bola. Namun, peraturan ini diduga mudah dan sering disiasati oleh klub. Setiap klub sepakbola seharusnya menyadari dampak positif dari peraturan tersebut bagi pengembangan industri sepak bola di tanah air.
Peraturan Mendagri tersebut bisa memaksa manajemen klub sepak bola untuk belajar mengelola perusahaannya secara profesional. Sepak bola amat populer sehingga mestinya tidak sulit bagi manajemen untuk menutup biaya tersebut. Ada empat sumber utama pendapatan sebuah klub sport profesional: tiket masuk, siaran TV, sponsor dan merchandise.
Untuk Indonesia, setidaknya duit dari tiket masuk cukup menjanjikan. Mencari duit dari siaran TV membutuhkan upaya lebih dari sekedar fanatisme. Untuk bersaing merebut hati pemirsa TV, klub harus menawarkan permainan yang enak ditonton dan perlu Sponsorship juga merupakan sumber pendanaan yang penting.
Karena perusahaan selalu mempertimbangkan cost-benefit dari sebuah sponsorship, klub perlu membangun brand yang kuat serta memiliki produk yang tampil beda.
Adanya siaran langsung di TV juga bisa menjadi penentu. Regulator kompetisi sepak bola di Indonesia perlu belajar dari sukses David Stern mengembangkan NBA. Kuncinya adalah kompetisi yang solid dan menghibur. Bagaimana kita bisa membuat sepak bola menarik jika peraturan diubah seenaknya.
Misalnya, di tengah kompetisi tiba-tiba terbit aturan bahwa tidak ada degradasi klub. Di NBA aturan kompetisi dirancang secara cermat dan dijalankan secara konsisten. Tim dan pemain atraktif dihargai, yang nakal diberi sanksi tegas.
Stern berhasil menciptakan citra bahwa NBA identik dengan fair-play dan show-time. Hasilnya, penonton membanjir dan duit melimpah. Sebagai platform bagi industri sepak bola, BLI harus mengubah citra negatif sepak bola Indonesia yang sudah terlanjur kronis.
Misalnya, peraturan kacau, permainan boring, suporter bonek, pemainnya lebih berbakat menjadi petinju daripada pesepak bola. Namun, yang terpenting adalah PSSI sebagai otoritas sepak bola tertinggi harus menerapkan good governance dengan menjunjung tinggi prinsip TARIK: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan keadilan.
Tanpa ini, jangan harap industri sepak bola bisa sehat dan berkembang. Alternatif lain untuk mengembangkan klub adalah dengan menjadikan klub berbentuk perseroan terbatas (PT). Dengan bentuk hukum ini, sebuah klub lebih mudah untuk mencari tambahan dana.
Misalnya, dengan menjual saham kepada individu, perusahaan atau bahkan para penggemarnya. Pola yang terakhir ini dipilih oleh, misalnya, klub American Football terkenal Green Bay Packers.
Pemilik klub ini adalah 80% dari penduduk kota Green Bay yang hanya 100.000 orang. Sebagai pemegang saham fanatik, mereka selalu memenuhi stadion, membeli merchandise klub dan punya insentif besar untuk mengawasi manajemen klub.
Ketika individu, perusahaan atau fans yang die-hard menjadi pemilik klub, lebih mungkin klub tersebut dikelola dengan orientasi bisnis. Artinya, kelangsungan hidup atau peningkatan nilai ekonomis klub dinomorsatukan.
Sebagai kesimpulan, gabungan antara klub yang dikelola secara business-sense dan regulator kompetisi yang profesional serta memiliki visi kuat dan good governance merupakan kunci sukses industri sepak bola Indonesia.
Tanpa dua unsur ini, seperti pernyataan Presiden SBY saat berlangsung Piala Dunia 2010, ”Sampai Lebaran Kuda, sepak bola Indonesia akan begini terus.” Setelah pembekuan PSSI termasuk kompetisinya oleh pemerintah dicabut, kita berharap PSSI akan revive. Ayo, kamu bisa!
Lukas Setia Atmaja
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
Menurut FIFA, peringkat tim nasional Indonesia di dunia saat ini adalah 185, kalah dari Timor Leste, Laos, dan Kamboja. Terakhir kali saya mengalami euforia ketika menonton Timnas adalah saat Ribut Waidi mencetak gol tunggal ke gawang Malaysia di Final Sea Games 1987.
Mungkinkah PSSI bangkit kembali? Tak ada yang mustahil. Lihat prestasi Islandia, negara berpenduduk kurang dari 400.000 orang, yang prestasinya mengejutkan di Piala Eropa.
Hipotesa saya adalah untuk berprestasi bagus maka diperlukan fondasi industri sepak bola yang solid. Lihat korelasi antara prestasi tim Jepang dan Korea Selatan dengan kemajuan industri sepak bola mereka.
Pemilik dan manajemen klub sepak bola Indonesia perlu menyadari bahwa klub sepak bola harus dikelola secara bisnis. Layaknya perusahaan, klub sepak bola harus bisa mandiri dalam pendanaan dan menghasilkan laba. Adalah rahasia umum bahwa sebagian besar klub yang berlaga di liga disusui dengan duit dari APBD.
Memang pernah ada Peraturan Mendagri Nomor 59 Tahun 2007 yang melarang dana APBD dikucurkan langsung ke klub sepak bola. Namun, peraturan ini diduga mudah dan sering disiasati oleh klub. Setiap klub sepakbola seharusnya menyadari dampak positif dari peraturan tersebut bagi pengembangan industri sepak bola di tanah air.
Peraturan Mendagri tersebut bisa memaksa manajemen klub sepak bola untuk belajar mengelola perusahaannya secara profesional. Sepak bola amat populer sehingga mestinya tidak sulit bagi manajemen untuk menutup biaya tersebut. Ada empat sumber utama pendapatan sebuah klub sport profesional: tiket masuk, siaran TV, sponsor dan merchandise.
Untuk Indonesia, setidaknya duit dari tiket masuk cukup menjanjikan. Mencari duit dari siaran TV membutuhkan upaya lebih dari sekedar fanatisme. Untuk bersaing merebut hati pemirsa TV, klub harus menawarkan permainan yang enak ditonton dan perlu Sponsorship juga merupakan sumber pendanaan yang penting.
Karena perusahaan selalu mempertimbangkan cost-benefit dari sebuah sponsorship, klub perlu membangun brand yang kuat serta memiliki produk yang tampil beda.
Adanya siaran langsung di TV juga bisa menjadi penentu. Regulator kompetisi sepak bola di Indonesia perlu belajar dari sukses David Stern mengembangkan NBA. Kuncinya adalah kompetisi yang solid dan menghibur. Bagaimana kita bisa membuat sepak bola menarik jika peraturan diubah seenaknya.
Misalnya, di tengah kompetisi tiba-tiba terbit aturan bahwa tidak ada degradasi klub. Di NBA aturan kompetisi dirancang secara cermat dan dijalankan secara konsisten. Tim dan pemain atraktif dihargai, yang nakal diberi sanksi tegas.
Stern berhasil menciptakan citra bahwa NBA identik dengan fair-play dan show-time. Hasilnya, penonton membanjir dan duit melimpah. Sebagai platform bagi industri sepak bola, BLI harus mengubah citra negatif sepak bola Indonesia yang sudah terlanjur kronis.
Misalnya, peraturan kacau, permainan boring, suporter bonek, pemainnya lebih berbakat menjadi petinju daripada pesepak bola. Namun, yang terpenting adalah PSSI sebagai otoritas sepak bola tertinggi harus menerapkan good governance dengan menjunjung tinggi prinsip TARIK: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan keadilan.
Tanpa ini, jangan harap industri sepak bola bisa sehat dan berkembang. Alternatif lain untuk mengembangkan klub adalah dengan menjadikan klub berbentuk perseroan terbatas (PT). Dengan bentuk hukum ini, sebuah klub lebih mudah untuk mencari tambahan dana.
Misalnya, dengan menjual saham kepada individu, perusahaan atau bahkan para penggemarnya. Pola yang terakhir ini dipilih oleh, misalnya, klub American Football terkenal Green Bay Packers.
Pemilik klub ini adalah 80% dari penduduk kota Green Bay yang hanya 100.000 orang. Sebagai pemegang saham fanatik, mereka selalu memenuhi stadion, membeli merchandise klub dan punya insentif besar untuk mengawasi manajemen klub.
Ketika individu, perusahaan atau fans yang die-hard menjadi pemilik klub, lebih mungkin klub tersebut dikelola dengan orientasi bisnis. Artinya, kelangsungan hidup atau peningkatan nilai ekonomis klub dinomorsatukan.
Sebagai kesimpulan, gabungan antara klub yang dikelola secara business-sense dan regulator kompetisi yang profesional serta memiliki visi kuat dan good governance merupakan kunci sukses industri sepak bola Indonesia.
Tanpa dua unsur ini, seperti pernyataan Presiden SBY saat berlangsung Piala Dunia 2010, ”Sampai Lebaran Kuda, sepak bola Indonesia akan begini terus.” Setelah pembekuan PSSI termasuk kompetisinya oleh pemerintah dicabut, kita berharap PSSI akan revive. Ayo, kamu bisa!
Lukas Setia Atmaja
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
(akr)