Ekonomi Melambat, Proyek Listrik 35.000 MW Sulit Tercapai
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Satya W Yudha mengatakan, pemerintah pada saat membuat list program pembangunan listrik 35 ribu megawatt (MW), asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia 6%-7%.
Namun, perlambatan ekonomi yang membuat pertumbuhan ekonomi Tanah Air tertekan, maka proyek listrik 35.000 MW dapat maksimal. Apalagi, pada awal pemerintah mengasumsikan bahwa dalam setahun bisa membangun sekitar 7 ribu MW dan akan tercapai lima tahun ke depan yakni 35 ribu MW.
"Kita mau jujur saja, forecast 35 ribu MW itu mempunyai asumsi pertumbuhan ekonomi 6%-7%. Kedua, kebutuhan listrik itu ekskalasinya sekitar 7.000 MW per tahun. Jadi kalau lima tahun kita anggap 35 ribu MW, itu kalau semua asumsi masuk. Kenyataannya ada perlambatan ekonomi, sehingga asumsi-asumsi tadi bisa saja bergeser," ujarnya di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (7/8/2016).
Seharusnya, lanjut Satya, proyek listrik 35 ribu MW tidak mungkin dapat diselesaikan dalam lima tahun ini jika dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini.
Selain itu, jika dilihat dari segi realitas, pembangunan proyek ini mayoritas diambil swasta atau Independent Power Producer (IPP). Sedangkan PLN hanya mengerjakan 10 ribu MW.
"Ini berarti tergantung terhadap investasi dan pelaku bisnis. Walaupun di PLN juga ada sekitar 10 ribu MW dan sisanya diserahkan ke swasta," kata dia.
Belum lagi langkah-langkah kementerian yang mencanangkan soal kebijakan lingkungan hidup yang nyatanya agak bertetangan dengan program pembangunan listrik. Seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengeluarkan kebijakan bahwa emisi atau gas buang dalam pembangunannya yakni 60%. Akhirnya pada RUPTL yang baru, pemerintah tidak bisa lagi promosikan 35 ribu MW murni.
"Jadi, 50% kita buat clean energy termasuk gas. Ditambah di situ ada hydro solar dan panas bumi. Dengan perubahan seperti ini saya yakin IPP yang kita harapkan belum segesit ketika kita forecast itu masih PLTU semua. PLN jelas tidak mau bayar mahal dari harga patokan, meski dia harus nurut pemerintah. Makanya harus ada buffer, dan akhirnya muncul lah dana ketahanan energi," pungkas dia.
Namun, perlambatan ekonomi yang membuat pertumbuhan ekonomi Tanah Air tertekan, maka proyek listrik 35.000 MW dapat maksimal. Apalagi, pada awal pemerintah mengasumsikan bahwa dalam setahun bisa membangun sekitar 7 ribu MW dan akan tercapai lima tahun ke depan yakni 35 ribu MW.
"Kita mau jujur saja, forecast 35 ribu MW itu mempunyai asumsi pertumbuhan ekonomi 6%-7%. Kedua, kebutuhan listrik itu ekskalasinya sekitar 7.000 MW per tahun. Jadi kalau lima tahun kita anggap 35 ribu MW, itu kalau semua asumsi masuk. Kenyataannya ada perlambatan ekonomi, sehingga asumsi-asumsi tadi bisa saja bergeser," ujarnya di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (7/8/2016).
Seharusnya, lanjut Satya, proyek listrik 35 ribu MW tidak mungkin dapat diselesaikan dalam lima tahun ini jika dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini.
Selain itu, jika dilihat dari segi realitas, pembangunan proyek ini mayoritas diambil swasta atau Independent Power Producer (IPP). Sedangkan PLN hanya mengerjakan 10 ribu MW.
"Ini berarti tergantung terhadap investasi dan pelaku bisnis. Walaupun di PLN juga ada sekitar 10 ribu MW dan sisanya diserahkan ke swasta," kata dia.
Belum lagi langkah-langkah kementerian yang mencanangkan soal kebijakan lingkungan hidup yang nyatanya agak bertetangan dengan program pembangunan listrik. Seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengeluarkan kebijakan bahwa emisi atau gas buang dalam pembangunannya yakni 60%. Akhirnya pada RUPTL yang baru, pemerintah tidak bisa lagi promosikan 35 ribu MW murni.
"Jadi, 50% kita buat clean energy termasuk gas. Ditambah di situ ada hydro solar dan panas bumi. Dengan perubahan seperti ini saya yakin IPP yang kita harapkan belum segesit ketika kita forecast itu masih PLTU semua. PLN jelas tidak mau bayar mahal dari harga patokan, meski dia harus nurut pemerintah. Makanya harus ada buffer, dan akhirnya muncul lah dana ketahanan energi," pungkas dia.
(izz)