Keinginan PLN Akuisisi Pertamina Geothermal Dipertanyakan
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mempertanyakan keteguhan hati Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang begitu bernafsu mengakuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). Padahal di sisi berbeda, selain masih banyak PR yang harus dikerjakan PLN, juga reputasi PLN kurang baik dalam mengelola bisnis geothermal.
“Makanya perlu dipertanyakan, mengapa PLN sangat bernafsu ingin mengakuisisi PGE. Ada apa ini?” kata dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (13/8/2106).
Hal serupa sebetulnya juga pernah diungkap oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang memperingatkan PLN agar fokus saja pada pembangunan transmisi, supaya power plant yang sudah sudah beroperasi (commercial operation DATE/COD), langsung dibayar.
“Karena untuk geothermal, ada risiko kegagalan yang harus diperhitungkan, sama seperti di migas sehingga kompetensinya ada di Pertamina,” kata Jusuf Kalla di acara Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2016, yang berlangsung pekan ini.
Rekam jejak PLN dalam mengelola geothermal, termasuk melalui anak perusahaannya, PT PLN Geothermal (PLNG), memang buruk. Banyak kegagalan dan catatan jelek saat PLN Geothermal menggarap lapangan konsesi yang dimiliki. Di antaranya, ketika mengelola Tulehu, Mataloto dan Ulumbu. Begitu juga anak perusahaan PLN yang lain, seperti Indonesia Power, dalam mengelola Tangkuban Perahu, serta Geodipa di Dieng dan Patuha, Jawa Barat.
Ketika mengelola Tulehu di Maluku pada 2014, misalnya, mereka akhirnya digugat kontraktor yaitu Permata Drilling International (PDI). Putusan pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung, semuanya memenangkan pihak kontraktor. Begitu pula melalui jalur arbitrase, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) juga memenangkan kontraktor tersebut. BANI memerintahkan PLN Geothermal membayar sekitar USD8 juta, yang terdiri atas USD7,4 juta nilai kontrak dan sisanya adalah solar yang harus dibayarkan sesuai jumlah pemakaian untuk ngebor sedalam kurang dari 1.000 meter.
Baca: Alasan Menteri Rini Minta PLN Akuisisi PGE
Menurut Komaidi, kompetensi PLN memang tidak pada sisi hulu atau downstream. “Nature PLN adalah pada sisi hilir dan pembangkitan listrik. Sedangkan untuk industri panas bumi, karena karakteristiknya lebih tergantung keberhasilan di industri hulunya, maka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas adalah usaha migas, seperti Chevron, Medco, Pertamina, dan sebagainya,” lanjut dia.
Itu sebabnya, keinginan PLN mengakuisi PGE layak menjadi tanda tanya besar. Terlebih, lanjut Komaidi, masih banyak tugas yang harus diselesaikan PLN. Terkait proyek pembangkit 35.000 megawatt sebesar 25-30%, misalnya, saat ini yang belum terkontrak mencapai 70%. Bahkan, dari 30% yang sudah memiliki kontrak, hanya beberapa di antaranya yang sudah beroperasi (commercial operation data/COD).
"Itu kan harus diselesaikan PLN dan membutuhkan dana sangat besar. Lalu mengapa tiba-tiba ingin mengakuisisi Chevron dan PGE? Itu kan sudah pasti juga akan mengeluarkan uang lagi," lanjut dia.
“Makanya perlu dipertanyakan, mengapa PLN sangat bernafsu ingin mengakuisisi PGE. Ada apa ini?” kata dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (13/8/2106).
Hal serupa sebetulnya juga pernah diungkap oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang memperingatkan PLN agar fokus saja pada pembangunan transmisi, supaya power plant yang sudah sudah beroperasi (commercial operation DATE/COD), langsung dibayar.
“Karena untuk geothermal, ada risiko kegagalan yang harus diperhitungkan, sama seperti di migas sehingga kompetensinya ada di Pertamina,” kata Jusuf Kalla di acara Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2016, yang berlangsung pekan ini.
Rekam jejak PLN dalam mengelola geothermal, termasuk melalui anak perusahaannya, PT PLN Geothermal (PLNG), memang buruk. Banyak kegagalan dan catatan jelek saat PLN Geothermal menggarap lapangan konsesi yang dimiliki. Di antaranya, ketika mengelola Tulehu, Mataloto dan Ulumbu. Begitu juga anak perusahaan PLN yang lain, seperti Indonesia Power, dalam mengelola Tangkuban Perahu, serta Geodipa di Dieng dan Patuha, Jawa Barat.
Ketika mengelola Tulehu di Maluku pada 2014, misalnya, mereka akhirnya digugat kontraktor yaitu Permata Drilling International (PDI). Putusan pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung, semuanya memenangkan pihak kontraktor. Begitu pula melalui jalur arbitrase, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) juga memenangkan kontraktor tersebut. BANI memerintahkan PLN Geothermal membayar sekitar USD8 juta, yang terdiri atas USD7,4 juta nilai kontrak dan sisanya adalah solar yang harus dibayarkan sesuai jumlah pemakaian untuk ngebor sedalam kurang dari 1.000 meter.
Baca: Alasan Menteri Rini Minta PLN Akuisisi PGE
Menurut Komaidi, kompetensi PLN memang tidak pada sisi hulu atau downstream. “Nature PLN adalah pada sisi hilir dan pembangkitan listrik. Sedangkan untuk industri panas bumi, karena karakteristiknya lebih tergantung keberhasilan di industri hulunya, maka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas adalah usaha migas, seperti Chevron, Medco, Pertamina, dan sebagainya,” lanjut dia.
Itu sebabnya, keinginan PLN mengakuisi PGE layak menjadi tanda tanya besar. Terlebih, lanjut Komaidi, masih banyak tugas yang harus diselesaikan PLN. Terkait proyek pembangkit 35.000 megawatt sebesar 25-30%, misalnya, saat ini yang belum terkontrak mencapai 70%. Bahkan, dari 30% yang sudah memiliki kontrak, hanya beberapa di antaranya yang sudah beroperasi (commercial operation data/COD).
"Itu kan harus diselesaikan PLN dan membutuhkan dana sangat besar. Lalu mengapa tiba-tiba ingin mengakuisisi Chevron dan PGE? Itu kan sudah pasti juga akan mengeluarkan uang lagi," lanjut dia.
(ven)