Menyiapkan Pemimpin Generasi Kedua
A
A
A
Yuswohady
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
AGUSTUS nanti kantor saya, Inventure, akan menggelar Indonesia Brand Forum (IBF) 2016. IBF tahun ini mengusung tema ”Branding Family Business for the Nation”.
Alasannya, Lebih dari 95% perusahaan yang ada di Indonesia dimiliki oleh keluarga (PwC, 2014). Dari jumlah yang sangat signifikan tersebut, perusahaan keluarga memiliki total kekayaan USD134 miliar, luar biasa. Kalau dihitung, kontribusi mereka terhadap PDB (produk domestik bruto) sangat besar, sekitar 25%. Ingat, sekitar 40.000 orang terkaya di Indonesia adalah pemilik perusahaan keluarga.
Karena itu saya berprinsip: Membangun brand Indonesia tak bisa lepas dari membangun brand perusahaan keluarga. Karena alasan itu, saya dan tim melakukan riset mengenai dinamika perubahan estafet kepemimpinan dari generasi pertama ke generasi kedua.
Hasil kajian tersebut saya tuliskan dalam buku baru saya berjudul, The Second Generation Challenges: Bagaimana Pemimpin Generasi Kedua Perusahaan Keluarga Mencapai Sukses Berkesinambungan. Salah satu aspek yang menarik adalah bagaimana pemimpin generasi pertama menggembleng anak-anaknya hingga mumpuni mengambil alih tanggung jawab kepemimpinan.
Sejak Dini
Ada berbagai cara yang dipakai generasi pertama dalam melatih kemampuan bisnis kandidat penerus di generasi berikutnya. Ada yang sengaja memberikan exposure tentang bisnisnya dengan diajak ”ngantor” sejak usia dini. Ada yang melepas mereka di dunia profesional setelah lulus dari perguruan tinggi sebelum bergabung dengan perusahaan miliknya.
Ada pula yang langsung menceburkan si kandidat ke grup perusahaan miliknya setelah mereka lulus dari perguruan tinggi. Keputusan generasi pertama untuk melibatkan generasi penerus dalam operasional perusahaan sejak usia dini ditujukan untuk menumbuhkan insting bisnis dan rasa memiliki dalam diri si kandidat terhadap bisnis milik orangtuanya.
Teresa Wibowo, generasi penerus dari Kawan Lama Sejahtera, sering diajak ayahnya sejak SD untuk berkunjung ke kantor. Meski tengah libur sekolah hingga kuliah pun, Teresa sering ”digeret” Kuncoro Wibowo, generasi kedua Kawan Lama, ikut ngantor.
Noni Purnomo, dari Blue Bird Group, mulai terlibat dalam bisnis keluarga sejak berumur lima tahun. ”Saya bertugas mengamplopi upah buat para sopir,” kata Noni.
Karena itulah ia dekat dengan lingkungan kerja. ”Dari kecil, saya bergaulnya dengan pengemudi karena dulu jumlah sopir masih sedikit. Kalau makan sama-sama di warung pecel depan rumah.”
Membantu usaha keluarga terus dilakukan Noni pada saat liburan sekolah. Ketika SMA misalnya, ia bekerja paruh waktu sebagai petugas yang memasukkan data ke komputer dengan gaji Rp70.000 sebulan.
Disiplin dan Kerja Keras
Berbeda dengan yang dialami Shinta Widjaja Kamdani, generasi kedua Sintesa Group. Ia dibiasakan oleh sang ayah membicarakan hal-hal terkait dunia bisnis dan kemandirian sejak muda. Percakapan bisnis antar keempat anggota keluarganya demikian kental, misalnya saat makan.
Shinta juga sering diajak sang ayah ke kantor sehingga ia terekspos pada bisnis sejak sangat muda. Yang ingin ditanamkan kedua orangtuanya adalah anak sebisa mungkin paham bahwa apa pun yang mereka dapatkan, walaupun keluarga hidup berkecukupan, kerja keras harus ada. Kedisiplinan dan kerja keras yang selalu dipelajari Shinta dan Paquita Widjaya, sang adik, masuk ke dalam diri Shinta dengan sendirinya.
Shinta mulai berwirausaha pada usia 13 tahun dengan berjualan buku dari rumah ke rumah. Lalu saat bersekolah di Amerika, Shinta juga bekerja untuk mengumpulkan uang saku. Dengan demikian insting bisnis mulai tumbuh dalam diri Shinta.
Jalur Profesional
Hampir semua pemimpin generasi kedua yang kami wawancarai setelah lulus dari perguruan tinggi mengecap dulu pengalaman sebagai profesional di perusahaan-perusahaan lain sebelum bergabung dengan perusahaan orangtuanya. Dengan pengalaman yang didapat selama bekerja di dunia profesional, kandidat generasi penerus tahta ini jadi terbiasa dengan pola kerja profesional yang umumnya lebih terstruktur dan berorientasi kinerja.
Shinta Kamdani mengawali karier di anak perusahaan di bidang kosmetik, dari posisi sales. Svida Alisjahbana, generasi kedua Femina Group, selepas kuliah beliau sempat bekerja GE Capital Indonesia selama hampir 5 tahun sebelum bergabung dengan Femina Group.
Selulus kuliah, Christian Ariano Rachmat juga tak langsung bergabung dalam perusahaan milik ayahnya, TP Rachmat. Ario sempat direkrut sebagai business analyst untuk sebuah firma konsultasi manajemen di AS, A.T. Kearney, pada tahun 1995.
Sebelum bergabung dalam PT Anugerah Pharmindo Lestari (APL), Michael Wanandi sempat bekerja dulu di UBS Investment Bank. Maya Carolina Watono, generasi kedua Dwi Sapta, pun sempat direkrut Commonwealth Government Autism Association of Western Australia dan bekerja di sana selama hampir 1 tahun sebelum bergabung dengan Dwi Sapta.
Teresa Wibowo yang menggemari dunia pemasaran pernah bekerja di gerai ritel di Amerika. Selanjutnya, ia juga pernah bekerja di sebuah agensi periklanan sebelum bergabung di Kawan Lama Sejahtera.
Ivan Kamadjaja, generasi kedua Kamadjaja Logistic, juga sempat merasakan dunia profesional selama 7 tahun di dunia akuntansi. Ia sempat bekerja di beberapa perusahaan konsultan mulai dari Coopers & Lybrand, Arthur Andersen, KPMG, Siddhartha, dan Coker Finance sebelum akhirnya memutuskan bergabung dengan perusahaan ayahnya.
”Swim or Die”
Ada pula generasi pertama yang langsung menempatkan kandidat penerusnya di grup perusahaan miliknya setelah mereka lulus dari perguruan tinggi. Mereka dibiarkan mengalami perkembangan karier dari posisi bawah seperti layaknya karyawan profesional tanpa adanya perbedaan perlakuan.
Mereka juga diberi kesempatan untuk mengalami rotasi dari divisi yang satu ke divisi yang lain supaya semakin memahami karakter keseluruhan bisnis perusahaan keluarga yang akan dipimpinnya kelak.
Sekembalinya ke Indonesia tahun 1987, Irawati Setiady, generasi kedua Kalbe Group, langsung direkrut anak usaha Kalbe. Di dalam sana, aneka aspek perusahaan bergiliran dipelajarinya.
Mulai dari produksi, pemasaran, pengembangan organisasi. Bahkan perusahaan perbankan juga pernah dicicipinya melalui PT Artha Pusara, kini PT Artha Prima Finance alias Bank Artha Prima, pada tahun 1990-an.
Dalam proses memberi pemahaman mengenai dunia bisnis ke generasi kedua, sering tidak ada metode khusus yang dipakai pemimpin generasi pertama. Umumnya generasi kedua dilepas begitu saja supaya belajar dengan sendirinya. Ibaratnya, mereka dicemplungkan ke kolam renang, dan pilihannya cuma: ”swim or die !!!”
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
AGUSTUS nanti kantor saya, Inventure, akan menggelar Indonesia Brand Forum (IBF) 2016. IBF tahun ini mengusung tema ”Branding Family Business for the Nation”.
Alasannya, Lebih dari 95% perusahaan yang ada di Indonesia dimiliki oleh keluarga (PwC, 2014). Dari jumlah yang sangat signifikan tersebut, perusahaan keluarga memiliki total kekayaan USD134 miliar, luar biasa. Kalau dihitung, kontribusi mereka terhadap PDB (produk domestik bruto) sangat besar, sekitar 25%. Ingat, sekitar 40.000 orang terkaya di Indonesia adalah pemilik perusahaan keluarga.
Karena itu saya berprinsip: Membangun brand Indonesia tak bisa lepas dari membangun brand perusahaan keluarga. Karena alasan itu, saya dan tim melakukan riset mengenai dinamika perubahan estafet kepemimpinan dari generasi pertama ke generasi kedua.
Hasil kajian tersebut saya tuliskan dalam buku baru saya berjudul, The Second Generation Challenges: Bagaimana Pemimpin Generasi Kedua Perusahaan Keluarga Mencapai Sukses Berkesinambungan. Salah satu aspek yang menarik adalah bagaimana pemimpin generasi pertama menggembleng anak-anaknya hingga mumpuni mengambil alih tanggung jawab kepemimpinan.
Sejak Dini
Ada berbagai cara yang dipakai generasi pertama dalam melatih kemampuan bisnis kandidat penerus di generasi berikutnya. Ada yang sengaja memberikan exposure tentang bisnisnya dengan diajak ”ngantor” sejak usia dini. Ada yang melepas mereka di dunia profesional setelah lulus dari perguruan tinggi sebelum bergabung dengan perusahaan miliknya.
Ada pula yang langsung menceburkan si kandidat ke grup perusahaan miliknya setelah mereka lulus dari perguruan tinggi. Keputusan generasi pertama untuk melibatkan generasi penerus dalam operasional perusahaan sejak usia dini ditujukan untuk menumbuhkan insting bisnis dan rasa memiliki dalam diri si kandidat terhadap bisnis milik orangtuanya.
Teresa Wibowo, generasi penerus dari Kawan Lama Sejahtera, sering diajak ayahnya sejak SD untuk berkunjung ke kantor. Meski tengah libur sekolah hingga kuliah pun, Teresa sering ”digeret” Kuncoro Wibowo, generasi kedua Kawan Lama, ikut ngantor.
Noni Purnomo, dari Blue Bird Group, mulai terlibat dalam bisnis keluarga sejak berumur lima tahun. ”Saya bertugas mengamplopi upah buat para sopir,” kata Noni.
Karena itulah ia dekat dengan lingkungan kerja. ”Dari kecil, saya bergaulnya dengan pengemudi karena dulu jumlah sopir masih sedikit. Kalau makan sama-sama di warung pecel depan rumah.”
Membantu usaha keluarga terus dilakukan Noni pada saat liburan sekolah. Ketika SMA misalnya, ia bekerja paruh waktu sebagai petugas yang memasukkan data ke komputer dengan gaji Rp70.000 sebulan.
Disiplin dan Kerja Keras
Berbeda dengan yang dialami Shinta Widjaja Kamdani, generasi kedua Sintesa Group. Ia dibiasakan oleh sang ayah membicarakan hal-hal terkait dunia bisnis dan kemandirian sejak muda. Percakapan bisnis antar keempat anggota keluarganya demikian kental, misalnya saat makan.
Shinta juga sering diajak sang ayah ke kantor sehingga ia terekspos pada bisnis sejak sangat muda. Yang ingin ditanamkan kedua orangtuanya adalah anak sebisa mungkin paham bahwa apa pun yang mereka dapatkan, walaupun keluarga hidup berkecukupan, kerja keras harus ada. Kedisiplinan dan kerja keras yang selalu dipelajari Shinta dan Paquita Widjaya, sang adik, masuk ke dalam diri Shinta dengan sendirinya.
Shinta mulai berwirausaha pada usia 13 tahun dengan berjualan buku dari rumah ke rumah. Lalu saat bersekolah di Amerika, Shinta juga bekerja untuk mengumpulkan uang saku. Dengan demikian insting bisnis mulai tumbuh dalam diri Shinta.
Jalur Profesional
Hampir semua pemimpin generasi kedua yang kami wawancarai setelah lulus dari perguruan tinggi mengecap dulu pengalaman sebagai profesional di perusahaan-perusahaan lain sebelum bergabung dengan perusahaan orangtuanya. Dengan pengalaman yang didapat selama bekerja di dunia profesional, kandidat generasi penerus tahta ini jadi terbiasa dengan pola kerja profesional yang umumnya lebih terstruktur dan berorientasi kinerja.
Shinta Kamdani mengawali karier di anak perusahaan di bidang kosmetik, dari posisi sales. Svida Alisjahbana, generasi kedua Femina Group, selepas kuliah beliau sempat bekerja GE Capital Indonesia selama hampir 5 tahun sebelum bergabung dengan Femina Group.
Selulus kuliah, Christian Ariano Rachmat juga tak langsung bergabung dalam perusahaan milik ayahnya, TP Rachmat. Ario sempat direkrut sebagai business analyst untuk sebuah firma konsultasi manajemen di AS, A.T. Kearney, pada tahun 1995.
Sebelum bergabung dalam PT Anugerah Pharmindo Lestari (APL), Michael Wanandi sempat bekerja dulu di UBS Investment Bank. Maya Carolina Watono, generasi kedua Dwi Sapta, pun sempat direkrut Commonwealth Government Autism Association of Western Australia dan bekerja di sana selama hampir 1 tahun sebelum bergabung dengan Dwi Sapta.
Teresa Wibowo yang menggemari dunia pemasaran pernah bekerja di gerai ritel di Amerika. Selanjutnya, ia juga pernah bekerja di sebuah agensi periklanan sebelum bergabung di Kawan Lama Sejahtera.
Ivan Kamadjaja, generasi kedua Kamadjaja Logistic, juga sempat merasakan dunia profesional selama 7 tahun di dunia akuntansi. Ia sempat bekerja di beberapa perusahaan konsultan mulai dari Coopers & Lybrand, Arthur Andersen, KPMG, Siddhartha, dan Coker Finance sebelum akhirnya memutuskan bergabung dengan perusahaan ayahnya.
”Swim or Die”
Ada pula generasi pertama yang langsung menempatkan kandidat penerusnya di grup perusahaan miliknya setelah mereka lulus dari perguruan tinggi. Mereka dibiarkan mengalami perkembangan karier dari posisi bawah seperti layaknya karyawan profesional tanpa adanya perbedaan perlakuan.
Mereka juga diberi kesempatan untuk mengalami rotasi dari divisi yang satu ke divisi yang lain supaya semakin memahami karakter keseluruhan bisnis perusahaan keluarga yang akan dipimpinnya kelak.
Sekembalinya ke Indonesia tahun 1987, Irawati Setiady, generasi kedua Kalbe Group, langsung direkrut anak usaha Kalbe. Di dalam sana, aneka aspek perusahaan bergiliran dipelajarinya.
Mulai dari produksi, pemasaran, pengembangan organisasi. Bahkan perusahaan perbankan juga pernah dicicipinya melalui PT Artha Pusara, kini PT Artha Prima Finance alias Bank Artha Prima, pada tahun 1990-an.
Dalam proses memberi pemahaman mengenai dunia bisnis ke generasi kedua, sering tidak ada metode khusus yang dipakai pemimpin generasi pertama. Umumnya generasi kedua dilepas begitu saja supaya belajar dengan sendirinya. Ibaratnya, mereka dicemplungkan ke kolam renang, dan pilihannya cuma: ”swim or die !!!”
(dmd)