Industri Peternakan Harus Tingkatkan Daya Saing

Minggu, 04 September 2016 - 19:41 WIB
Industri Peternakan...
Industri Peternakan Harus Tingkatkan Daya Saing
A A A
JAKARTA - Industri peternakan dalam negeri harus meningkatkan daya saing lantaran pasar bebas tidak bisa dihindari. Tanpa daya saing yang kuat, industri peternakan nasional tidak akan kompetitif.

”Tanpa daya saing, kita tidak akan menang. Pemerintah terus mendorong itu,” tutur Plh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Riwantoro dalam Sarasehan Nasional yang digelar Keluarga Alumni Fakultas Peternakan (Kafapet) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Minggu (4/9/2016).

Sarasehan bertema ”Situasi Peternakan Terkini, Masalah dan Solusi” ini menghadirkan narasumber antara lain Plh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Riwantoro, Dekan Fapet Unsoed Prof Ahmad Sodiq, praktisi peternakan Tri Nugrahwanto dan Sudaryatno, pelaku bisnis Shita Annisa Doman, serta pakar peternakan Mulyoto Pangestu. Acara dipandu oleh wartawan senior peternakan Bambang Suharno. Lebih dari 400 alumni Fapet Unsoed menghadiri acara ini.

Riwantoro mengatakan, pemerintah terus berupaya meningkatkan konsumsi protein hewani melalui penyediaan daging, telur, dan susu yang terjangkau bagi masyarakat. Saat ini, konsumsi protein hewani masih rendah dan terus berkembang.

Menurutnya, daging, telur, dan susu merupakan komiditas sangat strategis. ”Karena bukan sekadar berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan pangan, namun juga sumber pencerdas bangsa yang tidak tergantikan,” ujarnya.

Kendati demikian, lanjutnya, pemerintah menyadari bahwa untuk memproduksi protein tersebut merupakan tantangan yang harus dipenuhi. ”Oleh karena itu harus dipahami ada kebijakan agar harga daging sapi Rp80.000. Pemerintah tidak mengharuskan semua daging sapi sekilo Rp80.000, yang penting masyarakat harus bisa menikmati, menjangkau sumber protein yang tinggi. Jadi yang punya uang lebih, silakan beli yang mahal,” ujarnya.

Pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Teguh Sudaryatno mengatakan, omzet perunggasan cukup spektakuler yakni sekitar Rp455 triliun per tahun. Sayangnya dari total omzet tersebut, peternak rakyat tinggal 15%. Hal ini terjadi karena peternak mandiri semakin sedikit, berbanding terbalik dengan populasi ayam yang terus meningkat. ”Ini efek dari UU Nomor 18/2009, di mana dalam UU tersebut salah satu pasalnya, setiap orang dan atau badan usaha boleh melakukan budidaya. Setelah UU itu diusahakan, maka semua perusahaan boleh melakukan budidaya sendiri,” paparnya.

Teguh melanjutkan, untuk mengatasi ini pemerintah harus membuat segmentasi pasar. ”Jadi antara peternak UKM atau mandiri, tradisional dengan peternak integrasi dari hulu ke hilir harus dibedakan pasarnya,” ungkapnya.

Praktisi Sapi Potong Tri Nugrahwanto mengatakan, populasi sapi lokal tidak sanggup memenuhi kebutuhan domestik sejak awal tahun 90-an. Sementara budidaya tradisional tidak mampu mengejar pertumbuhan konsumsi akibat peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi.

”Memang kebutuhan pasar tradisional terhadap sapi semakin sulit mendapatkan sapi dari daerah sehingga diisi oleh luar,” ujarnya.

Tri berharap ada reformasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mendorong berkembangnya peternak lokal. “Perlindungan terhadap peternak lokal bisa dilakukan. Jangan hanya mengejar harga yang murah karena dengan harga Rp110.000 itu untungnya sudah pas-pasan,” tandasnya.
(poe)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8217 seconds (0.1#10.140)