Investor Asing Goyang Kebijakan Duterte
A
A
A
MANILA - Kebijakan luar negeri Presiden Filipina, Rodrigo Duterte yang keras terhadap sekutunya, Amerika Serikat dan China, mendapat “ancaman” dari investor asing di Filipina. Melansir CNBC, Selasa (20/9/2016), investor asing memilih menarik uang mereka dari pasar saham di negara tersebut.
Para penanam modal asing menyatakan gusar dengan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Duterte, seperti ketika ia menghina Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, sebagai anak sundal karena mencampuri urusan domestik Filipina terkait perang terhadap narkoba dan seruannya agar pasukan AS hengkang dari Filipina. Begitu pula dengan komentarnya yang keras terhadap China soal Laut China Selatan.
Data resmi dari bursa Filipina menunjukkan transaksi bersih asing di Bursa Efek Filipina (PSE), jatuh setiap pekannya sejak 15 Agustus hingga 16 September 2016. Dalam kurun 15-19 Agustus, PSE turun 3,32%; 22-26 Agustus melemah 3,54%; 29 Agustus-2 September anjlok hingga 7,55%; 5-9 September turun 7,46%, dan 12-16 September lewat turun 4,25%. Penurunan ini melemah tajam dibandingkan penurunan di bursa Thailand (2,99%) dan penurunan di bursa Indonesia sebesar 1,74%.
Hal sama juga terjadi pada mata uang Peso yang turun 3,37% terhadap dolar Amerika Serikat selama periode ini. Penurunan tersebut merupakan yang terburuk di kawasan Asia Tenggara selama kurun waktu sebulan.
“Pernyataan Presiden menjadi pemicu fluktuatifnya ekonomi dalam beberapa hari terakhir. Dan itu (pernyataan Duterte) mulai menjadi perhatian (investor asing),” ujar Lexter Azurin, Kepala Peneliti di Unicapital Securities di Manila, kepada CNBC, Selasa (20/9/2016).
Beberapa pengamat asing memperkirakan rezim Duterte telah mengunci ekonomi Filipina, yang sebelumnya di era Presiden Benigno Aquino III melesat dan disebut-sebut sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan tercepat di dunia. Ketika itu, kurun April-Juni 2016, ekonomi Filipina tumbuh 7,0%, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi China yang 6,7%. Pinoy--sebutan untuk Filipina--hanya kalah dari India yang melesat 7,1%.
Ekonom senior bank investasi Perancis Natixis, Trinh Nguyen mengatakan, komentar Duterte yang keras terhadap AS sangat signifikan dan memicu investor asing menarik diri dari Filipina. Pasalnya, AS selama ini merupakan sekutu tradisional mereka. Bahkan Negeri Abang Sam menjadi pendukung utama Filipina dalam sengketa negara tersebut dengan China di Laut China Selatan.
Azurin menambahkan Pemerintahan Duterte kehilangan fokus dalam memprioritaskan program ekonomi, dan memilih condong ke arah perang terhadap narkoba. “Pemerintahan saat ini telah kehilangan fokus ekonomi dan condong ke arah pemecahan masalah narkoba di negeri ini,” tulisnya.
Kondisi demikian, sambung Azurin, membuat investor asing menilai Pemerintahan Duterte bukanlah investor friendly. Kondisi ini akan lebih parah bila bank sentral AS, Federal Reserve jadi menaikkan suku bunga yang akan memicu capital outflow alias arus modal keluar dari pasar negara berkembang kembali ke pasar negara maju.
Namun tidak semua pengamat menyalahkan Duterte. Lembaga riset dan ekuitas Nomura menyebut posisi netral Duterte justru akan menguatkan ekonomi Filipina, karena berhasil melepas diri dari ketergantungan. Fundamental ekonomi di Filipina akan menguat dengan konsumsi domestik yang sehat.
Reformasi pajak yang diusulakan Duterte--bagian dari 10 rencana ekonominya--telah meningkatkan konsumsi domestik mereka. Bahkan tingkat konsumsi domestik diperkirakan naik 70%, yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi Filipina.
Terkait ancaman capital outflow, Nguyen mengatakan Duterte harus mengantisipasi dengan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya agar mempertahankan kehidupan rakyatnya sehingga dapat menjaga ekonomi dalam keadaan stabil.
Sementara itu, mengutip dari ABS News, Selasa (20/9), Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Filipina, George Barcelon membela Presidennya. Ia menyebut sejauh ini, kebijakan luar negeri Duterte tidak ada yang menyakiti sentiment investor asing.
Barcelon mengatakan langkah Duterte adalah kebijakan luar negeri yang independen. “Kami tidak pro-China atau pro-Amerika. Kami pro-Filipina,” tukasnya. Dan laporan pembunuhan atas pelaku narkoba, kata dia, tidak menganggu sentimen pengusaha di Filipina.
Para penanam modal asing menyatakan gusar dengan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Duterte, seperti ketika ia menghina Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, sebagai anak sundal karena mencampuri urusan domestik Filipina terkait perang terhadap narkoba dan seruannya agar pasukan AS hengkang dari Filipina. Begitu pula dengan komentarnya yang keras terhadap China soal Laut China Selatan.
Data resmi dari bursa Filipina menunjukkan transaksi bersih asing di Bursa Efek Filipina (PSE), jatuh setiap pekannya sejak 15 Agustus hingga 16 September 2016. Dalam kurun 15-19 Agustus, PSE turun 3,32%; 22-26 Agustus melemah 3,54%; 29 Agustus-2 September anjlok hingga 7,55%; 5-9 September turun 7,46%, dan 12-16 September lewat turun 4,25%. Penurunan ini melemah tajam dibandingkan penurunan di bursa Thailand (2,99%) dan penurunan di bursa Indonesia sebesar 1,74%.
Hal sama juga terjadi pada mata uang Peso yang turun 3,37% terhadap dolar Amerika Serikat selama periode ini. Penurunan tersebut merupakan yang terburuk di kawasan Asia Tenggara selama kurun waktu sebulan.
“Pernyataan Presiden menjadi pemicu fluktuatifnya ekonomi dalam beberapa hari terakhir. Dan itu (pernyataan Duterte) mulai menjadi perhatian (investor asing),” ujar Lexter Azurin, Kepala Peneliti di Unicapital Securities di Manila, kepada CNBC, Selasa (20/9/2016).
Beberapa pengamat asing memperkirakan rezim Duterte telah mengunci ekonomi Filipina, yang sebelumnya di era Presiden Benigno Aquino III melesat dan disebut-sebut sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan tercepat di dunia. Ketika itu, kurun April-Juni 2016, ekonomi Filipina tumbuh 7,0%, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi China yang 6,7%. Pinoy--sebutan untuk Filipina--hanya kalah dari India yang melesat 7,1%.
Ekonom senior bank investasi Perancis Natixis, Trinh Nguyen mengatakan, komentar Duterte yang keras terhadap AS sangat signifikan dan memicu investor asing menarik diri dari Filipina. Pasalnya, AS selama ini merupakan sekutu tradisional mereka. Bahkan Negeri Abang Sam menjadi pendukung utama Filipina dalam sengketa negara tersebut dengan China di Laut China Selatan.
Azurin menambahkan Pemerintahan Duterte kehilangan fokus dalam memprioritaskan program ekonomi, dan memilih condong ke arah perang terhadap narkoba. “Pemerintahan saat ini telah kehilangan fokus ekonomi dan condong ke arah pemecahan masalah narkoba di negeri ini,” tulisnya.
Kondisi demikian, sambung Azurin, membuat investor asing menilai Pemerintahan Duterte bukanlah investor friendly. Kondisi ini akan lebih parah bila bank sentral AS, Federal Reserve jadi menaikkan suku bunga yang akan memicu capital outflow alias arus modal keluar dari pasar negara berkembang kembali ke pasar negara maju.
Namun tidak semua pengamat menyalahkan Duterte. Lembaga riset dan ekuitas Nomura menyebut posisi netral Duterte justru akan menguatkan ekonomi Filipina, karena berhasil melepas diri dari ketergantungan. Fundamental ekonomi di Filipina akan menguat dengan konsumsi domestik yang sehat.
Reformasi pajak yang diusulakan Duterte--bagian dari 10 rencana ekonominya--telah meningkatkan konsumsi domestik mereka. Bahkan tingkat konsumsi domestik diperkirakan naik 70%, yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi Filipina.
Terkait ancaman capital outflow, Nguyen mengatakan Duterte harus mengantisipasi dengan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya agar mempertahankan kehidupan rakyatnya sehingga dapat menjaga ekonomi dalam keadaan stabil.
Sementara itu, mengutip dari ABS News, Selasa (20/9), Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Filipina, George Barcelon membela Presidennya. Ia menyebut sejauh ini, kebijakan luar negeri Duterte tidak ada yang menyakiti sentiment investor asing.
Barcelon mengatakan langkah Duterte adalah kebijakan luar negeri yang independen. “Kami tidak pro-China atau pro-Amerika. Kami pro-Filipina,” tukasnya. Dan laporan pembunuhan atas pelaku narkoba, kata dia, tidak menganggu sentimen pengusaha di Filipina.
(ven)