Sertifikasi FSC Mudahkan Ekspor Hasil Hutan
A
A
A
JAKARTA - Perusahaan pemilik hutan produksi dan pengelolaan hasil hutan didorong berkomitmen mendukung pengelolaan hutan secara bertanggung jawab. Salah satunya dengan mengikuti sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC), suatu lembaga nonprofit yang berbasis di Jerman.
“Dari 30 juta hektae (ha) hutan produksi yang masih aktif, baru 2,7 juta ha yang bersertifikat FSC. Artinya masih di bawah 10% dari total hutan produksi,” ungkap FSC Indonesia Representative Hartono Prabowo dalam diskusi dalam rangka FSC Friday 2016 di Jakarta.
Sementara untuk perusahaan pengelolaan hasil hutan sudah 200-an yang mengantongi FSC. Dia menambahkan, sertifikat ini sangat penting untuk keperluan bisnis karena memudahkan kegiatan penjualan hasil hutan khususnya pasar ekspor.
“Dengan sertifikat FSC, pengusaha diuntungkan saat ekspor. Sebab asal usul dari kayu jelas dan prosesnya melalui kegiatan produksi yang menjamin keberlanjutan hutan. Ini pintu untuk ekspor karena negara-negara maju menuntut adanya sertifikasi kayu, sehingga ada jaminan kayu yang digunakan berasal dari pengelolaan hutan produksi yang dikelola secara berkesinambungan,” sambungnya.
Lanjut dia menerangkan kayu-kayu yang disertifikasi masih dominan untuk memenuhi pasar ekspor. Sebab di dalam negeri kayu seperti itu malah kurang diminati. “Tentu harga yang bersertifikasi jadi jauh lebih menguntungkan pengusaha,” tandasnya.
Menurutnya sertifikasi juga akan bermanfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial bagi pebisnis. Khususnya pengguna produk-produk berbasis kertas seperti kemasan katon, tisu kertas, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, Managing Director Tetra Pak Indonesia Paolo Maggi menyatakan perusahaannya berkomitmen besar terhadap lingkungan hidup. Jadi sangat penting pihaknya secara bekelanjutan terus aktif memberikan informasi terkait pengelolaan hutan berkelanjutan yang dilambangkan dengan FSC.
“Hal ini sangat penting bagi kami karena sebagian besar kemasan Tertra Pak terbuat dari pohon, sebuah sumber daya alam yang terbarukan,” tuturnya.
Sedangkan Communication Senior Advisor, Tertra Pak Indonesia Migonne Maramis Akiyama mengutarakan, pihaknya ingin memperkenalkan kepada pelanggannya tentang sistem sertifikasi FSC yang dapat melindungi hutan. Sekaligus memberi nilai tambah pada bisnis.
“Kami sangat mendukung FSC ini. Karena ini dapat menjamin keberlangsungan hutan sementara perusahaan menggunakan hasil hutan untuk kemasan produk. Label FSC memberi jaminan bahwa kami memerhatikan kelestarian lingkungan,” sebut Migonne Maramis Akiyama.
Pada kesempatan yang sama, Forest Commodities Market Transformation Program Leader, WWF Indonesia, Aditya Bayunada mengatakan tiga hal yang menyangkut pengelolaan hutan secara bertanggung jawab. Yaitu aspek sosial, ekologi, dan produksi.
“Nah pengelolaan hutan secara bertanggung jawab ialah jika hutan tersebut masih menghasilkan air, udara, berproduksi, dan bisa menjadi habitat satwa yang menempatinya,” katanya.
Dia menyebutkan, 70% orang hutan bukan berada dalam taman nasional. Melainkan hidup di hutan private, pribadi atau perusahaan. Jadi sangat diperlukan kesadaran perusahaan untuk menjamin kehidupan satwa yang hidup di dalam hak pengelolaannya.
“FSC menyelaraskan antara kehidupan hutan dan perusahaan. Secara bisnis ini bagus karena menunjukkan kepada dunia hutan mereka telah dikelola secara bertanggung jawab,” ungkapnya.
“Dari 30 juta hektae (ha) hutan produksi yang masih aktif, baru 2,7 juta ha yang bersertifikat FSC. Artinya masih di bawah 10% dari total hutan produksi,” ungkap FSC Indonesia Representative Hartono Prabowo dalam diskusi dalam rangka FSC Friday 2016 di Jakarta.
Sementara untuk perusahaan pengelolaan hasil hutan sudah 200-an yang mengantongi FSC. Dia menambahkan, sertifikat ini sangat penting untuk keperluan bisnis karena memudahkan kegiatan penjualan hasil hutan khususnya pasar ekspor.
“Dengan sertifikat FSC, pengusaha diuntungkan saat ekspor. Sebab asal usul dari kayu jelas dan prosesnya melalui kegiatan produksi yang menjamin keberlanjutan hutan. Ini pintu untuk ekspor karena negara-negara maju menuntut adanya sertifikasi kayu, sehingga ada jaminan kayu yang digunakan berasal dari pengelolaan hutan produksi yang dikelola secara berkesinambungan,” sambungnya.
Lanjut dia menerangkan kayu-kayu yang disertifikasi masih dominan untuk memenuhi pasar ekspor. Sebab di dalam negeri kayu seperti itu malah kurang diminati. “Tentu harga yang bersertifikasi jadi jauh lebih menguntungkan pengusaha,” tandasnya.
Menurutnya sertifikasi juga akan bermanfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial bagi pebisnis. Khususnya pengguna produk-produk berbasis kertas seperti kemasan katon, tisu kertas, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, Managing Director Tetra Pak Indonesia Paolo Maggi menyatakan perusahaannya berkomitmen besar terhadap lingkungan hidup. Jadi sangat penting pihaknya secara bekelanjutan terus aktif memberikan informasi terkait pengelolaan hutan berkelanjutan yang dilambangkan dengan FSC.
“Hal ini sangat penting bagi kami karena sebagian besar kemasan Tertra Pak terbuat dari pohon, sebuah sumber daya alam yang terbarukan,” tuturnya.
Sedangkan Communication Senior Advisor, Tertra Pak Indonesia Migonne Maramis Akiyama mengutarakan, pihaknya ingin memperkenalkan kepada pelanggannya tentang sistem sertifikasi FSC yang dapat melindungi hutan. Sekaligus memberi nilai tambah pada bisnis.
“Kami sangat mendukung FSC ini. Karena ini dapat menjamin keberlangsungan hutan sementara perusahaan menggunakan hasil hutan untuk kemasan produk. Label FSC memberi jaminan bahwa kami memerhatikan kelestarian lingkungan,” sebut Migonne Maramis Akiyama.
Pada kesempatan yang sama, Forest Commodities Market Transformation Program Leader, WWF Indonesia, Aditya Bayunada mengatakan tiga hal yang menyangkut pengelolaan hutan secara bertanggung jawab. Yaitu aspek sosial, ekologi, dan produksi.
“Nah pengelolaan hutan secara bertanggung jawab ialah jika hutan tersebut masih menghasilkan air, udara, berproduksi, dan bisa menjadi habitat satwa yang menempatinya,” katanya.
Dia menyebutkan, 70% orang hutan bukan berada dalam taman nasional. Melainkan hidup di hutan private, pribadi atau perusahaan. Jadi sangat diperlukan kesadaran perusahaan untuk menjamin kehidupan satwa yang hidup di dalam hak pengelolaannya.
“FSC menyelaraskan antara kehidupan hutan dan perusahaan. Secara bisnis ini bagus karena menunjukkan kepada dunia hutan mereka telah dikelola secara bertanggung jawab,” ungkapnya.
(akr)