Risiko Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengungkapkan, ada beberapa risiko dalam membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Risiko utama yang harus diperhatikan pemerintah, yakni rawan terjadi gempa bumi.
(Baca: Promosi Tenaga Nuklir ke RI, Rusia Kalahkan Korea dan Jepang)
Kepala Batan Djarot S Wisnubroto mengatakan, di Indonesia terdapat beberapa wilayah rawan gempa bumi seperti di Pulau Jawa bagian selatan, Sumatera Barat, dan Aceh. Namun, frekuensi lebih rendah bisa ditemukan di Kalimantan, Bangka, dan Batam.
"Ada daerah-daerah yang rawan gempa seperti di Jawa bagian selatan, Sumatera Barat, dan Aceh. Ada juga yang frekuensi gempanya rendah seperti di Kalimantan, Bangka, dan Batam meski tidak bersih dari gempa sama sekali," ujarnya di Jakarta, Selasa (11/10/2016).
Djarot menjelaskan, ada risiko selain gempa bumi yang dapat menghantui pembangunan PLTN di Tanah Air. Belajar dari kasus di Jepang, pemilihan teknologi nuklir yang akan digunakan juga cukup krusial.
"Kita belajar dari Fukushima (Jepang). Harus kita perhatikan, pilih teknologi yang mampu menghadapi tsunami dan gempa. Pilih teknologi paling mutakhir," katanya.
Kemudian, lanjut dia, yang tak kalah penting yakni adanya keterbukaan dan sosialisasi kepada masyarakat jika ingin menggunakan tenaga nuklir. Khusus sosialisasi, perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman terhadap teknologi ini termasuk adanya peluang masuk dalam keadaan darurat.
"Keterbukaan pada publik, selama didukung masyarakat dan Pemda setempat, kita lebih mudah mensosialisasikan termasuk kemungkinan terjadi keadaan darurat. Sehingga, perlu mobilisasi tapi pemerintah belum ada keputusan untuk membangun PLTN," pungkas Djarot.
(Baca: Promosi Tenaga Nuklir ke RI, Rusia Kalahkan Korea dan Jepang)
Kepala Batan Djarot S Wisnubroto mengatakan, di Indonesia terdapat beberapa wilayah rawan gempa bumi seperti di Pulau Jawa bagian selatan, Sumatera Barat, dan Aceh. Namun, frekuensi lebih rendah bisa ditemukan di Kalimantan, Bangka, dan Batam.
"Ada daerah-daerah yang rawan gempa seperti di Jawa bagian selatan, Sumatera Barat, dan Aceh. Ada juga yang frekuensi gempanya rendah seperti di Kalimantan, Bangka, dan Batam meski tidak bersih dari gempa sama sekali," ujarnya di Jakarta, Selasa (11/10/2016).
Djarot menjelaskan, ada risiko selain gempa bumi yang dapat menghantui pembangunan PLTN di Tanah Air. Belajar dari kasus di Jepang, pemilihan teknologi nuklir yang akan digunakan juga cukup krusial.
"Kita belajar dari Fukushima (Jepang). Harus kita perhatikan, pilih teknologi yang mampu menghadapi tsunami dan gempa. Pilih teknologi paling mutakhir," katanya.
Kemudian, lanjut dia, yang tak kalah penting yakni adanya keterbukaan dan sosialisasi kepada masyarakat jika ingin menggunakan tenaga nuklir. Khusus sosialisasi, perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman terhadap teknologi ini termasuk adanya peluang masuk dalam keadaan darurat.
"Keterbukaan pada publik, selama didukung masyarakat dan Pemda setempat, kita lebih mudah mensosialisasikan termasuk kemungkinan terjadi keadaan darurat. Sehingga, perlu mobilisasi tapi pemerintah belum ada keputusan untuk membangun PLTN," pungkas Djarot.
(izz)