Paket Kebijakan ke-13 Dorong Realisasi Program Sejuta Rumah
A
A
A
JAKARTA - Dana repatriasi amnesti pajak dan Paket Kebijakan Ekonomi ke-13 dinilai memberi dampak positif terhadap industri properti. Kebijakan yang disebut terakhir bahkan dinilai banyak kalangan akan mendorong percepatan program sejuta rumah yang digagas pemerintah. Pasalnya, paket kebijakan ke-13 yang memangkas tahap perizinan dari 33 menjadi 11 dan lama perizinan dari 769-981 hari menjadi 44 hari, akan mempermudah dan mempercepat program sejuta rumah.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo mengatakan, paket kebijakan ke-13 dapat membantu pengembang membangun rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Karena dengan perizinan yang cepat akan mendorong akselerasi developer membangun rumah lebih banyak dan lebih cepat lagi.
“Kalau proses izin dan sertifikasinya cepat, kami yakin banyak rumah bisa dibangun dan harga rumah bisa lebih terjangkau dengan kualitas yang baik,” ujarnya dalam diskusi “Dampak Paket Kebijakan Ekonomi ke-13 dalam Mendorong Sejuta Rumah”, Senin (24/10/2016).
Eddy berharap pemerintah membuat regulasi dari kebijakan ini melalui Peraturan Pemerintah (PP), sehingga pelaksanaan rumah MBR di tingkat daerah seperti kabupaten/kota dapat segera terealisasi. “Karena selama ini fakta di lapangan, masih banyak kendala perizinan dan masalah kelistrikan, ini harus menjadi konsentrasi pemerintah,” sambungnya.
Direktur Bank Tabungan Negara, Oni Febriarto Rahardjo mengatakan paket kebijakan ekonomi 13 dapat mendorong fasilitas kredit perumahan rakyat (KPR) subsidi maupun buat mikro. Menurut Oni, saat ini potensi sektor mikro dan informal untuk memiliki hunian layak sangat besar. Hanya saja, mereka kerap terkendala kemampuan membayar uang muka dan skema cicilan. Untuk itu, diperlukan aturan agar dapat mengetahui kemampuan mereka membayar.
Dengan kemudahan tersebut semakin memberi kontribusi pertumbuhan sektor properti terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Saat ini, kontribusi sektor properti kepada pertumbuhan ekonomi sebesar 2,86%. Bukan tidak mustahil, kemudahan perizinan dapat meningkatkan kontribusi sektor properti terhadap perkembangan ekonomi seperti negara tetangga. “Sektor properti ini berdampak kepada pertumbuhan industri, lapangan kerja, ekspansi pasar konsumer,” paparnya.
Menurutnya, BTN akan menjembatani masalah ini dengan menggunakan skema kredit KPR mikro dan informal. Namun skema yang berlaku sekarang sifatnya hanya sementara, sembari melihat perkembangan lebih lanjut.
Direktur Perencanaan Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Eko Hero Purwanto mengatakan Kementerian berikhtiar mendorong percepatan pembangunan perumahan khususnya rumah MBR, dimana target 1 juta rumah hingga Juni 2016 telah mencapai 400.982 unit.
Dengan adanya paket kebijakan ke-13, ini akan semakin memperlancar program sejuta rumah. Keseriusan pemerintah mendorong ketersediaan rumah MBR, kata Eko, terlihat dari anggaran yang disediakan tahun ini, naik mencapai Rp9 triliun.
Menurutnya, selisih antara pasokan rumah dengan kebutuhan alias backlog berdasarkan konsep penghunian pada 2014 mencapai 7,6 juta unit dan pada 2019 diharapkan mengecil menjadi 5 juta unit. Sedangkan rumah tidak layak huni dari 3,4 juta unit ditargetkan pada 2019 menjadi 1,9 juta unit. “Dalam mencapai satu juta rumah diperlukan kolaborasi, dimana pemerintah bertugas dalam kebijakan dan pelakunya adalah perbankan dan pengembang,” tandasnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo mengatakan, paket kebijakan ke-13 dapat membantu pengembang membangun rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Karena dengan perizinan yang cepat akan mendorong akselerasi developer membangun rumah lebih banyak dan lebih cepat lagi.
“Kalau proses izin dan sertifikasinya cepat, kami yakin banyak rumah bisa dibangun dan harga rumah bisa lebih terjangkau dengan kualitas yang baik,” ujarnya dalam diskusi “Dampak Paket Kebijakan Ekonomi ke-13 dalam Mendorong Sejuta Rumah”, Senin (24/10/2016).
Eddy berharap pemerintah membuat regulasi dari kebijakan ini melalui Peraturan Pemerintah (PP), sehingga pelaksanaan rumah MBR di tingkat daerah seperti kabupaten/kota dapat segera terealisasi. “Karena selama ini fakta di lapangan, masih banyak kendala perizinan dan masalah kelistrikan, ini harus menjadi konsentrasi pemerintah,” sambungnya.
Direktur Bank Tabungan Negara, Oni Febriarto Rahardjo mengatakan paket kebijakan ekonomi 13 dapat mendorong fasilitas kredit perumahan rakyat (KPR) subsidi maupun buat mikro. Menurut Oni, saat ini potensi sektor mikro dan informal untuk memiliki hunian layak sangat besar. Hanya saja, mereka kerap terkendala kemampuan membayar uang muka dan skema cicilan. Untuk itu, diperlukan aturan agar dapat mengetahui kemampuan mereka membayar.
Dengan kemudahan tersebut semakin memberi kontribusi pertumbuhan sektor properti terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Saat ini, kontribusi sektor properti kepada pertumbuhan ekonomi sebesar 2,86%. Bukan tidak mustahil, kemudahan perizinan dapat meningkatkan kontribusi sektor properti terhadap perkembangan ekonomi seperti negara tetangga. “Sektor properti ini berdampak kepada pertumbuhan industri, lapangan kerja, ekspansi pasar konsumer,” paparnya.
Menurutnya, BTN akan menjembatani masalah ini dengan menggunakan skema kredit KPR mikro dan informal. Namun skema yang berlaku sekarang sifatnya hanya sementara, sembari melihat perkembangan lebih lanjut.
Direktur Perencanaan Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Eko Hero Purwanto mengatakan Kementerian berikhtiar mendorong percepatan pembangunan perumahan khususnya rumah MBR, dimana target 1 juta rumah hingga Juni 2016 telah mencapai 400.982 unit.
Dengan adanya paket kebijakan ke-13, ini akan semakin memperlancar program sejuta rumah. Keseriusan pemerintah mendorong ketersediaan rumah MBR, kata Eko, terlihat dari anggaran yang disediakan tahun ini, naik mencapai Rp9 triliun.
Menurutnya, selisih antara pasokan rumah dengan kebutuhan alias backlog berdasarkan konsep penghunian pada 2014 mencapai 7,6 juta unit dan pada 2019 diharapkan mengecil menjadi 5 juta unit. Sedangkan rumah tidak layak huni dari 3,4 juta unit ditargetkan pada 2019 menjadi 1,9 juta unit. “Dalam mencapai satu juta rumah diperlukan kolaborasi, dimana pemerintah bertugas dalam kebijakan dan pelakunya adalah perbankan dan pengembang,” tandasnya.
(ven)