Hindari Konflik dengan AS, China Dekati Donald Trump
A
A
A
BEIJING - Terpilihnya Donald John Trump sebagai Presiden Amerika Serikat menjadi babak baru bagi hubungan AS dengan Republik Rakyat China. Selama kampanye lalu, Trump kerap melontarkan kata-kata pedas kepada China, dengan menyebut negara tersebut sebagai penjiplak, manipulator mata uang dan berencana menerapkan bea masuk 45% bagi produk China.
Kebijakan ini membuat China meradang. Global Times, sebuah surat kabar yang didukung Partai Komunis China, pada Senin (14/11/2016) mencoba “mengancam balik” Amerika melalui opininya. Negeri Mao Tse-tung akan menyulitkan produk-produk Amerika yang ada di China, bila Trump jadi menerapkan tarif impor 45%.
“China akan mengganti pesanan Boeing dengan Airbus dari Eropa. Penjualan iPhone dan mobil AS di China akan mengalami kemunduran. China juga akan menghentikan impor kedelai dan jagung dari Amerika dan membatasi jumlah mahasiswa China yang belajar di AS,” tulis artikel Global Times.
Sementara itu, mengutip dari CNBC, pihak Apple enggan menanggapi surat kabar China tersebut. Namun, banyak pihak menyimpulkan China sedang mengambil strategi “pendekatan tit-for-tat”.
Perang dagang Amerika dengan China sendiri telah berlangsung sejak 2009. Ketika itu, Obama menerapkan tarif 35% bagi produk China, dan mereka membalasnya dengan bea masuk tinggi terhadap produk mobil dan ayam dari Amerika. Menurut Global Times, atas kebijakan itu, baik China dan AS sama-sama menderita kerugian. “Jika Trump membebankan tarif 45% pada impor China, maka perdagangan China-AS akan lumpuh”.
Namun, surat kabar China tidak yakin Trump yang berlatar belakang pengusaha akan menerapkan kebijakan di atas. Dan menyebut itu hanya kampanye retorika Trump. Jagoan Partai Republik tersebut juga dinilai tidak akan bertindak naif yang akan mempengaruhi sejumlah industri AS.
Sementara itu, Nikkei Asian Review, Senin (14/11) menuliskan, Presiden RRC Xi Jinping menginginkan agar Amerika dan China mengatasi perbedaan mereka dan bekerja secara konstruktif untuk menghindari konflik dan konfrontasi. Xi, bahkan sudah memberi ucapan secara langsung atas kemenangan Donald Trump.
Xi katanya ingin menghilangkan kata-kata “konflik”, “konfrontasi”, atau “perbedaan” dalam kamus hubungan Amerika-China. Meski ia mengakui adanya perbedaan antara kedua negara dan menyuarakan kesediaannya mencegah mereka dari berkembang menjadi konfrontasi serius.
Belakangan ini, kedua negara acap bersitegang soal Laut China Selatan, masalah mata-mata cyber, isu hak asasi manusia di Tibet dan pelanggaran HAM di Xinjiang kepada etnis Uighur.
Meski Trump terkenal dengan ucapan kebijakan proteksionisnya, namun namanya lebih popular daripada Hillary Clinton di China. Pasalnya, selama menjabat sekretaris negara di awal pemerintahan Obama, Hillary kerap mengurusi masalah hak asasi di China. Hal inilah yang membuat Partai Komunis China lebih menyambut kemenangan Trump.
Sebagai pengusaha, China mengatakan akan membuka ruang untuk bekerja sama demi keuntungan industri kedua negara. Partai Komunis China meminta AS untuk mewujudkan “keseimbangan ekologi” antara masyarakat domestik dan ekonomi.
Adapun pertumbuhan ekonomi China saat ini mulai mendatar. Dan negara tersebut kini berjuang mengatasi masalah kelebihan kapasitas produksi dan utang negara. Xi menyebut bahwa inovasi dan kerja sama kedua negara hal penting untuk pertumbuhan yang berkelanjutan. Ia mengatakan pengetahuan dan teknologi mutakhir AS sangat diperlukan.
Amerika sendiri adalah pasar ekspor terbesar dan sumber surplus perdagangan China. Beijing sangat ingin menghindari gesekan dalam perdagangan.
Kebijakan ini membuat China meradang. Global Times, sebuah surat kabar yang didukung Partai Komunis China, pada Senin (14/11/2016) mencoba “mengancam balik” Amerika melalui opininya. Negeri Mao Tse-tung akan menyulitkan produk-produk Amerika yang ada di China, bila Trump jadi menerapkan tarif impor 45%.
“China akan mengganti pesanan Boeing dengan Airbus dari Eropa. Penjualan iPhone dan mobil AS di China akan mengalami kemunduran. China juga akan menghentikan impor kedelai dan jagung dari Amerika dan membatasi jumlah mahasiswa China yang belajar di AS,” tulis artikel Global Times.
Sementara itu, mengutip dari CNBC, pihak Apple enggan menanggapi surat kabar China tersebut. Namun, banyak pihak menyimpulkan China sedang mengambil strategi “pendekatan tit-for-tat”.
Perang dagang Amerika dengan China sendiri telah berlangsung sejak 2009. Ketika itu, Obama menerapkan tarif 35% bagi produk China, dan mereka membalasnya dengan bea masuk tinggi terhadap produk mobil dan ayam dari Amerika. Menurut Global Times, atas kebijakan itu, baik China dan AS sama-sama menderita kerugian. “Jika Trump membebankan tarif 45% pada impor China, maka perdagangan China-AS akan lumpuh”.
Namun, surat kabar China tidak yakin Trump yang berlatar belakang pengusaha akan menerapkan kebijakan di atas. Dan menyebut itu hanya kampanye retorika Trump. Jagoan Partai Republik tersebut juga dinilai tidak akan bertindak naif yang akan mempengaruhi sejumlah industri AS.
Sementara itu, Nikkei Asian Review, Senin (14/11) menuliskan, Presiden RRC Xi Jinping menginginkan agar Amerika dan China mengatasi perbedaan mereka dan bekerja secara konstruktif untuk menghindari konflik dan konfrontasi. Xi, bahkan sudah memberi ucapan secara langsung atas kemenangan Donald Trump.
Xi katanya ingin menghilangkan kata-kata “konflik”, “konfrontasi”, atau “perbedaan” dalam kamus hubungan Amerika-China. Meski ia mengakui adanya perbedaan antara kedua negara dan menyuarakan kesediaannya mencegah mereka dari berkembang menjadi konfrontasi serius.
Belakangan ini, kedua negara acap bersitegang soal Laut China Selatan, masalah mata-mata cyber, isu hak asasi manusia di Tibet dan pelanggaran HAM di Xinjiang kepada etnis Uighur.
Meski Trump terkenal dengan ucapan kebijakan proteksionisnya, namun namanya lebih popular daripada Hillary Clinton di China. Pasalnya, selama menjabat sekretaris negara di awal pemerintahan Obama, Hillary kerap mengurusi masalah hak asasi di China. Hal inilah yang membuat Partai Komunis China lebih menyambut kemenangan Trump.
Sebagai pengusaha, China mengatakan akan membuka ruang untuk bekerja sama demi keuntungan industri kedua negara. Partai Komunis China meminta AS untuk mewujudkan “keseimbangan ekologi” antara masyarakat domestik dan ekonomi.
Adapun pertumbuhan ekonomi China saat ini mulai mendatar. Dan negara tersebut kini berjuang mengatasi masalah kelebihan kapasitas produksi dan utang negara. Xi menyebut bahwa inovasi dan kerja sama kedua negara hal penting untuk pertumbuhan yang berkelanjutan. Ia mengatakan pengetahuan dan teknologi mutakhir AS sangat diperlukan.
Amerika sendiri adalah pasar ekspor terbesar dan sumber surplus perdagangan China. Beijing sangat ingin menghindari gesekan dalam perdagangan.
(ven)