Pemerintah Dorong Hilirisasi Industri Berbasis Kakao
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berkomitmen memacu pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao, karena meningkatkan nilai tambah, struktur industri, dan kesejahteraan masyarakat. Apalagi, industri ini termasuk sektor prioritas yang harus dikembangkan sesuai Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.
"Pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk cokelat, lemak cokelat, makanan dan minuman dari cokelat, serta suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao," ujar Dirjen Industri Agro Panggah Susanto dalam rilisnya, Jakarta, Selasa (22/11/2016).
Menurutnya, peluang manis dari hiliriasi industri ini didukung oleh potensi Indonesia sebagai produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, dengan jumlah produksi biji kakao mencapai 370 ribu ton pada 2015.
"Industri olahan kakao di dalam negeri saat ini sekitar 40 perusahaan dengan total kapasitas produksi hingga 800 ribu ton per tahun," ucap dia.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah mendorong hilirisasi industri berbasis kakao melalui pembentukan unit-unit pengolahan di sentra biji kakao untuk menumbuhkan para wirausaha baru skala kecil dan menengah.
"Dalam rangka mendukung kebijakan ini, kami memberikan bantuan mesin dan peralatan pengolahan kakao di daerah penghasil biji kakao sejak 2012 seperti di Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara," ungkap Panggah.
Di sisi lain, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan bea keluar melalui Permenkeu No 67/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
"Adanya kebijakan tersebut, pasokan kakao untuk industri di dalam negeri makin besar dan kami berharap agar ke depannya ekspor kakao olahan terus meningkat dengan kualitas makin baik," paparnya.
Panggah menuturkan, pemberlakuan bea keluar itu turut mendukung program hilirisasi dan berdampak manis pada penurunan ekspor biji kakao. Kemenperin mencatat, ekspor biji kakao pada 2013 sebesar 188.420 ton menurun sekitar 63.334 ton pada 2014 dan pada 2015 kembali menurun, sehingga menjadi 39.622 ton.
Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari 2013 sebesar 196.333 ton menjadi 242.080 ton pada 2014 dan pada 2015 mencapai 287.192 ton.
Bahkan, program hilirisasi industri berbasis kakao berhasil menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan membangun pabrik kakao serta mendorong ekspansi kapasitas produksinya.
Selain itu juga mampu menumbuhkan industri cokelat skala kecil dan menengah di beberapa daerah. "Meningkatnya sektor hilir kakao perlu diimbangi dengan peningkatan konsumsi kakao di dalam negeri," pungkasnya.
"Pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk cokelat, lemak cokelat, makanan dan minuman dari cokelat, serta suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao," ujar Dirjen Industri Agro Panggah Susanto dalam rilisnya, Jakarta, Selasa (22/11/2016).
Menurutnya, peluang manis dari hiliriasi industri ini didukung oleh potensi Indonesia sebagai produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, dengan jumlah produksi biji kakao mencapai 370 ribu ton pada 2015.
"Industri olahan kakao di dalam negeri saat ini sekitar 40 perusahaan dengan total kapasitas produksi hingga 800 ribu ton per tahun," ucap dia.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah mendorong hilirisasi industri berbasis kakao melalui pembentukan unit-unit pengolahan di sentra biji kakao untuk menumbuhkan para wirausaha baru skala kecil dan menengah.
"Dalam rangka mendukung kebijakan ini, kami memberikan bantuan mesin dan peralatan pengolahan kakao di daerah penghasil biji kakao sejak 2012 seperti di Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara," ungkap Panggah.
Di sisi lain, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan bea keluar melalui Permenkeu No 67/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
"Adanya kebijakan tersebut, pasokan kakao untuk industri di dalam negeri makin besar dan kami berharap agar ke depannya ekspor kakao olahan terus meningkat dengan kualitas makin baik," paparnya.
Panggah menuturkan, pemberlakuan bea keluar itu turut mendukung program hilirisasi dan berdampak manis pada penurunan ekspor biji kakao. Kemenperin mencatat, ekspor biji kakao pada 2013 sebesar 188.420 ton menurun sekitar 63.334 ton pada 2014 dan pada 2015 kembali menurun, sehingga menjadi 39.622 ton.
Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari 2013 sebesar 196.333 ton menjadi 242.080 ton pada 2014 dan pada 2015 mencapai 287.192 ton.
Bahkan, program hilirisasi industri berbasis kakao berhasil menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan membangun pabrik kakao serta mendorong ekspansi kapasitas produksinya.
Selain itu juga mampu menumbuhkan industri cokelat skala kecil dan menengah di beberapa daerah. "Meningkatnya sektor hilir kakao perlu diimbangi dengan peningkatan konsumsi kakao di dalam negeri," pungkasnya.
(izz)