Ekonomi RI Rentan Terbebani Sentimen Eksternal
A
A
A
BOGOR - Tantangan ekonomi Indonesia menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suahasil Nazara akan lebih banyak dipengaruhi sentimen eksternal di tengah ketidakpastian kondisi global. Belum pulihnya ekonomi global dalam beberapa tahun mendatang, menurutnya akan menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Lebih lanjut dia menerangkan salah satunya terkait kebijakan Amerika Serikat (AS) setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden baru negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut. Menurut Suahasil, dunia saat ini masih menunggu kebijakan ekonomi yang akan dibuat Trump secara keseluruhan.
"Satu persatu, yakni soal siapa yang akan jadi anggota kabinet, terus ada pelantikan dan pidato dari pemimpin AS. Trump sendiri kemarin telah menyampaikan arah kebijakan lewat media sosial (youtube). Dalam jangka panjang, jika AS ekonominya membaik mungkin dunia juga membaik," terangnya di Sentul Bogor, Jawa Barat, Sabtu (26/11/2016).
Dia menambahkan sentimen selanjutnya datang dari Brexit, saat Indonesia dan dunia masih menanti kelanjutan negosiasi keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa (UE). Bagi Indonesia sendiri menurutnya akan memantau akan seperti apa perdagangan dengan Eropa dan Inggris akan seperti apa.
(Baca Juga: Asing Kuasai 62%, Pasar Modal RI Rentan Sentimen Pilpres AS)
Poin ketiga yakni soal pelemahan ekonomi China ketika pertumbuhan ekonomi mereka berada di level 6,5%. Suahasil mengatakan, ini mungkin akan menjadi sesuatu yang new normal.
"Karena jika beberapa kali kita meeting dengan G20, Menkeu China menyebutkan pertumbuhan ekonomi di sana 6,7% dan itu adalah new normal . Kita harus terus perhatikan, benarkah 7 atau turun. Jadi ekspor kita ke China harus bisa mengkonsider pertumbuhan ekonomi di China sebesar 6-7%," sambungnya.
Keempat yakni soal geopolitik dunia. Menurutnya ini juga sangat penting karena ada beberapa kejutan yang tidak bisa diprediksi. Dia mencontohkan seperti tahun lalu saat China secara mengejutkan melakukan devaluasi. Kemudian kondisi ekonomi Yunani yang sempat kacau hingga hasil referendum Brexit di luar prediksi.
Terakhir seputar kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS yang mengejutkan semua orang. Ditambah dengan kebijakan proteksionisme Trump soal keinginannya membawa AS keluar dari TPP. Jika itu terjadi menurut dia, maka arah proteksionismenya terlihat sekali.
"Lantas apa efek ke kita? Tidak langsung memang efeknya, walaupun Indonesia belum ikut TPP, tapi negara tetangga kita sudah. Ini karena kita masih mengkaji dengan sangat dalam untuk ikut itu. Tapi jika TPP tidak jadi, privilege perdagangan AS dengan negara lain kan tidak jadi juga, kita mesti assest ke depannya bagaimana dengan menunggu kebijakan Trump," pungkasnya.
Lebih lanjut dia menerangkan salah satunya terkait kebijakan Amerika Serikat (AS) setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden baru negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut. Menurut Suahasil, dunia saat ini masih menunggu kebijakan ekonomi yang akan dibuat Trump secara keseluruhan.
"Satu persatu, yakni soal siapa yang akan jadi anggota kabinet, terus ada pelantikan dan pidato dari pemimpin AS. Trump sendiri kemarin telah menyampaikan arah kebijakan lewat media sosial (youtube). Dalam jangka panjang, jika AS ekonominya membaik mungkin dunia juga membaik," terangnya di Sentul Bogor, Jawa Barat, Sabtu (26/11/2016).
Dia menambahkan sentimen selanjutnya datang dari Brexit, saat Indonesia dan dunia masih menanti kelanjutan negosiasi keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa (UE). Bagi Indonesia sendiri menurutnya akan memantau akan seperti apa perdagangan dengan Eropa dan Inggris akan seperti apa.
(Baca Juga: Asing Kuasai 62%, Pasar Modal RI Rentan Sentimen Pilpres AS)
Poin ketiga yakni soal pelemahan ekonomi China ketika pertumbuhan ekonomi mereka berada di level 6,5%. Suahasil mengatakan, ini mungkin akan menjadi sesuatu yang new normal.
"Karena jika beberapa kali kita meeting dengan G20, Menkeu China menyebutkan pertumbuhan ekonomi di sana 6,7% dan itu adalah new normal . Kita harus terus perhatikan, benarkah 7 atau turun. Jadi ekspor kita ke China harus bisa mengkonsider pertumbuhan ekonomi di China sebesar 6-7%," sambungnya.
Keempat yakni soal geopolitik dunia. Menurutnya ini juga sangat penting karena ada beberapa kejutan yang tidak bisa diprediksi. Dia mencontohkan seperti tahun lalu saat China secara mengejutkan melakukan devaluasi. Kemudian kondisi ekonomi Yunani yang sempat kacau hingga hasil referendum Brexit di luar prediksi.
Terakhir seputar kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS yang mengejutkan semua orang. Ditambah dengan kebijakan proteksionisme Trump soal keinginannya membawa AS keluar dari TPP. Jika itu terjadi menurut dia, maka arah proteksionismenya terlihat sekali.
"Lantas apa efek ke kita? Tidak langsung memang efeknya, walaupun Indonesia belum ikut TPP, tapi negara tetangga kita sudah. Ini karena kita masih mengkaji dengan sangat dalam untuk ikut itu. Tapi jika TPP tidak jadi, privilege perdagangan AS dengan negara lain kan tidak jadi juga, kita mesti assest ke depannya bagaimana dengan menunggu kebijakan Trump," pungkasnya.
(akr)