Boediono Sebut Indonesia Terparah Saat Krisis 1998
A
A
A
JAKARTA - Mantan Wakil Presiden RI Periode 2009-2014 sekaligus mantan Menteri Keuangan periode 2001-2004, Boediono menilai Indonesia paling parah saat terjadi krisis ekonomi 1998.
"Setelah menjabat waktu itu, 2001-2004, saya baru menyadari bahwa dari krisis 1998 itu memang kita yang terparah dibandingkan dengan teman-teman (negara) lain," kata Boediono saat Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN dari masa ke masa di Kemeterian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Menurutnya, penyebab krisis 1998 bermacam-macam dan solusinya sangat berat. Pasalnya, selain masalah ekonomi, masalah sosial politik juga menjadi problematikan paling besar dan dampaknya luar biasa.
"Memang saya akui mungkin kita awalnya mengambil langkah kurang pas, bahkan PDB kita waktu itu berkurang sepertujuhnya. Kemudian diikuti dengan PHK dan merembet ke gerakan politik yang menimbulkan perubahan sistem politik kita," terang dia.
Apalagi pada saat itu Indonesia juga dihadapkan dengan nasib yang kurang baik dari segi iklim. Iklim pada saat itu sedang mengalami el-nino (musim kering) yang parah dan berdampak ke semuanya.
"Akibatnya, harga pangan kita ikutan anjlok. Naik tiga kali lipat dalam satu tahun, dan berhasil menggoyang ekonomi Indonesia," tuturnya.
Atas dasar itu, Boediono mengingatkan bahwa kondisi harga beras menjadi satu hal yang harus dipantau dan tidak boleh dilewatkan pemerintah. Sebab, jika suatu saat harga pangan terutama beras naik tinggi, maka dampaknya tidak hanya ke ekonomi.
"Ini yang harus dipegang, harga beras. Karena kalau dia goyang, Indonesia akan alami krisis sosial, bukan ekonomi lagi," ujar mantan menteri keuangan dan Gubernur Bank Indonesia (BI) ini.
"Setelah menjabat waktu itu, 2001-2004, saya baru menyadari bahwa dari krisis 1998 itu memang kita yang terparah dibandingkan dengan teman-teman (negara) lain," kata Boediono saat Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN dari masa ke masa di Kemeterian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Menurutnya, penyebab krisis 1998 bermacam-macam dan solusinya sangat berat. Pasalnya, selain masalah ekonomi, masalah sosial politik juga menjadi problematikan paling besar dan dampaknya luar biasa.
"Memang saya akui mungkin kita awalnya mengambil langkah kurang pas, bahkan PDB kita waktu itu berkurang sepertujuhnya. Kemudian diikuti dengan PHK dan merembet ke gerakan politik yang menimbulkan perubahan sistem politik kita," terang dia.
Apalagi pada saat itu Indonesia juga dihadapkan dengan nasib yang kurang baik dari segi iklim. Iklim pada saat itu sedang mengalami el-nino (musim kering) yang parah dan berdampak ke semuanya.
"Akibatnya, harga pangan kita ikutan anjlok. Naik tiga kali lipat dalam satu tahun, dan berhasil menggoyang ekonomi Indonesia," tuturnya.
Atas dasar itu, Boediono mengingatkan bahwa kondisi harga beras menjadi satu hal yang harus dipantau dan tidak boleh dilewatkan pemerintah. Sebab, jika suatu saat harga pangan terutama beras naik tinggi, maka dampaknya tidak hanya ke ekonomi.
"Ini yang harus dipegang, harga beras. Karena kalau dia goyang, Indonesia akan alami krisis sosial, bukan ekonomi lagi," ujar mantan menteri keuangan dan Gubernur Bank Indonesia (BI) ini.
(izz)