Disparitas Harga Dinilai Buka Peluang Pengoplosan LPG 3 Kg

Jum'at, 09 Desember 2016 - 18:19 WIB
Disparitas Harga Dinilai...
Disparitas Harga Dinilai Buka Peluang Pengoplosan LPG 3 Kg
A A A
JAKARTA - Pengoplosan gas LPG 3 kg (bersubsidi) menjadi sorotan DPR, yang menilai disparitas harga antara LPG 3 kg dan 12 kg menjadi penyebabnya. Menurut Anggota Komisi VII DPR Kurtubi harus ada upaya strategis yang dilakukan guna mengurangi potensi pengoplosan tadi, salah satunya dengan menaikkan harga LPG 3 kg secara bertahap.

“Perbedaan harga tetap ada, sebagai representasi kehadiran negara untuk membantu keluarga kurang mampu. Namun perbedaan tersebut harus pada level tidak menarik bagi orang untuk melakukan pengoplosan. Mengenai level harga tersebut, ini yang perlu dilakukan semacam kajian,” terangnya di Jakarta, Jumat (9/12/2016).

Lebih lanjut dia juga mendesak aparat kepolisian memberantas tuntas sindikat pengoplos gas LPG bersubsidi, karena jika tidak maka kasus pengoplosan akan selalu berulang. “Memindahkan isi gas elpiji 3 kg bersubsidi ke tabung gas LPG yang lebih besar, misalnya 12 kg, merupakan tindakan melanggar hukum. Polisi harus menindak tegas dan memberantas tuntas sindikat tersebut, agar ada efek jera,” paparnya

Memang lanjut Kurtubi, tugas ini tidak ringan. Sebab, jumlah personil kepolisian sangat terbatas. Tidak mungkin polisi menjaga terus di setiap agen atau penyalur LPG. Namun pemberantasan harus terus dilakukan, terlebih karena pengoplosan ini menyangkut hak-hak subsidi energi masyarakat tidak mampu.

“Ini memang dilema. Karena di satu sisi, subsidi energi merupakan wujud kehadiran negara di tengah keluarga tidak mampu, namun di sisi lain subsidi tersebut justru membuat disparitas harga antara LPG 3 kg dan 12 kg menjadi sangat besar. Hal inilah yang merangsang orang untuk melakukan pengoplosan,” terang dia.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro sepakat, bahwa aparat kepolisian memang harus meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap maraknya pengoplosan LPG. Tindakan semacam ini harus dilakukan, sambil menunggu solusi untuk mengurangi potensi pengoplosan itu sendiri.

Solusi pertama yang bisa dilakukan, lanjut Komaidi adalah melalui sistem subsidi tertutup. Dalam hal ini, subsidi langsung diberikan kepada masyarakat tidak mampu. Mekanismenya, antara lain bisa melalui sistem online atau banking. Di sana, lanjutnya akan merekam yang memang berhak.

“Dan solusi kedua, adalah dengan menyamakan LPG 3 kg ke harga keekonomian. Solusi ini sebenarnya paling simple. Hanya saja, perdebatannya tentu pada aspek daya beli dan peran negara untuk mengintervensi hak-hak masyarakat,” kata Komaidi.

Berbagai solusi, menurutnya memang perlu dilakukan. Sebab, pengoplosan yang marak terjadi, adalah risiko dari distribusi yang terbuka. Dalam sistem ini, penerima subsidi adalah pada harga barang, bukan langsung pada masyarakat yang membutuhkan.

“Jadi sepanjang subsidi dilakukan dalam bentuk harga barang, maka potensi pengoplosan akan tetap ada. Karena siapapun bisa membeli, dan batasannya hanya etika,” lanjutnya.

Pengoplos LPG sendiri, memang selalu marak. Baru-baru ini, polisi menangkap tiga tersangka di sebuah gudang di Kelurahan Jatibening Pondok Gede, Kota Bekasi. Ketiganya dibekuk, ketika sedang asyik memindahkan gas LPG 3 kg ke tabung gas 12 kg. Beberapa waktu lalu, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri juga mengungkapkan, kasus pengoplosan LPG di Bantar Gebang, Bekasi telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp2,7 miliar per bulan.

Menurut Kabareskrim, Komjen Pol. Ito Sumardi, kerugian tersebut berasal dari pengoplosan LPG bersubsidi 3 kg ke tabung 12 kg dan 50 kg yang tidak bersubsidi. Selain itu, kerugian juga diakibatkan pengurangan berat gas, misalnya dari yang seharusnya 12 kg hanya diisi 9 atau 10 kg saja.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0689 seconds (0.1#10.140)