Kualitas Pertumbuhan Ekonomi RI Dapat Nilai Rendah

Rabu, 14 Desember 2016 - 16:03 WIB
Kualitas Pertumbuhan Ekonomi RI Dapat Nilai Rendah
Kualitas Pertumbuhan Ekonomi RI Dapat Nilai Rendah
A A A
JAKARTA - Kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih rendah, dengan melihat dampaknya bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Fraksi PKS menegaskan tidak mau hanya berpatok pada angka-angka pertumbuhan, sehingga mengabaikan kualitas pertumbuhan bagi kesejahteraan rakyat dan penurunan kemiskinan.

‎"Sayangnya berdasarkan kajian tim ekonomi Fraksi PKS, pertumbuhan ekonomi rendah kualitasnya dengan catatan sebagai berikut," terang Ketua Fraksi PKS di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jazuli Juwaini saat refleksi akhir tahun dan outlook ekonomi-bisnis 2017 Fraksi PKS di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (14/12/2016).

Pertama, pertumbuhan ekonomi rendah dalam menyerap tenaga kerja karena banyak ditopang oleh sektor jasa yang minim penyerapan tenaga kerja, bukan lagi bersumber dari sektor manufaktur dan sektor pertanian yang kaya akan padat karya. Akibatnya dampak pada penurunan angka kemiskinan juga tidak signifikan.

"Tiga lapangan usaha yang mencatat pertumbuhan tertinggi dan mendorong pertumbuhan ekonomi selama dua tahun terakhir bukanlah lapangan usaha padat karya, yaitu: sektor informasi dan komunikasi (9,2%), jasa keuangan dan asuransi (8,83%) dan transportasi - pergudangan (8,2%)," paparnya.

Kedua, struktur perekonomian nasional pun masih bertumpu pada kekuatan sektor konsumsi rumah tangga, sehingga sangat rentan terhadap gejolak inflasi. Kata dia, ‎Pemerintah boleh berbangga, saat inflasi umum (headline inflation) cukup rendah.

Namun, pemerintah dinilai perlu memperbaiki pergerakan inflasi harga barang-barang bergejolak (volatile food), yang jauh di atas inflasi umum. Dikatakannya, kelompok utama penyumbang inflasi tersebut adalah kelompok bahan makanan.

"Pemerintah seharusnya sudah memiliki jurus-jurus jitu untuk mengelola inflasi dari sisi penawaran (supply side), karena inflasi ini telah terjadi sejak lama," kata Jazuli.

Sayangnya, lanjut Jazuli, pengelolaan inflasi lebih disasar melalui kebijakan moneter (demand side) yang justru kontraproduktif terhadap sektor rill. Dalam operasionalnya, saat inflasi tinggi, bank sentral akan menyedot dana dari perekonomian (terutama perbankan), sehingga menyebabkan suku bunga sulit untuk turun.

Ketiga, dengan prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,037% terjadi penurunan pengangguran terbuka dari 7,56 juta orang (6,18%) menjadi 7,02 juta orang (5,5%), dengan demikian elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan kerja adalah 1% pertumbuhan ekonomi menyerap 107.206 tenaga kerja.

Elastisitas tersebut terus menurun bila dibandingkan dengan elastisitas tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2014 elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan kerja adalah 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 260.000 tenaga kerja, bahkan pada tahun 2004 setiap 1% pertumbuhan menyerap 400.000 tenaga kerja. ‎

Hasil demikian dianggap masih jauh dari janji Nawacita Presiden Jokowi saat kampanye yang menargetkan terciptanya lapangan kerja untuk 2 juta orang pertahun, sehingga totalnya adalah 10 juta orang selama 5 tahun pemerintahan. "Padahal janji ini sangat penting direalisasikan untuk peningkatan kesejahteraan sekaligus penurunan kemiskinan," kritik Jazuli. ‎

Keempat, dengan kondisi tersebut, menurutnya bisa dikatakan bahwa Investasi besar-besaran di sektor infrastruktur. Bahkan menyerap semua resources mulai dari anggaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), SDM, menjadi prioritas pemerintah dalam dua tahun terakhir, ternyata tidak mampu banyak menyerap tenaga kerja besar dan sekaligus menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6342 seconds (0.1#10.140)