Likuiditas Perbankan 2017 Diperkirakan Indef Makin Ketat
A
A
A
JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan akan terjadi perang bunga Surat Utang Negara (SUN) antara Amerika Serikat (AS) dan negara berkembang. Persaingan ini terjadi karena AS telah menaikkan imbal hasil atau yield dari obligasi.
(Baca Juga: Fed Rate Naik, BI Dinilai Tak Punya Ruang untuk Agresif)
Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, inflasi di AS akan naik dalam lima tahun ke depan. Sehingga Fed rate akan menaikkan suku bunganya yang membuat bunga surat utang AS jadi tinggi.
"Ini artinya inflasi AS 2017, 2018, dan lima tahun ke depan naik signifikan, surat utang AS paling aman di dunia. Dengan itu, AS naikkan suku bungnya, kupon imbal hasil obligasinya maka negara berkembang harus menaikan bunga imbal hasilnya agar menarik bagi investor," ujarnya di Jakarta, Kamis (29/12/2016).
Lebih lanjut dia menjelaskan, saat awal Donald Trump terpilih jadi Presiden AS, yield surat utang meningkat dua kali lipat. Kejadian ini dinilai sebagai pertanda bagi negara berkembang untuk lebih menaikkan suku bunga. "Trump terpilih, obligasi AS tenor jangka pendek dan panjang 10 tahun, ketika Trump terpilih dalam tempo dua hari terjadi peningkatan yield cukup besar," katanya.
Di sisi lain, dia menyampaikan, jika Indonesia menaikkan suku bunga untuk menghadapi AS maka perbankan nasional harus memiliki imbal hasil lebih tinggi lagi ketika menerbitkan surat utang. Saling mempercantik yield di dalam negeri ini dinilai akan mempersulit likuiditas tahun depan.
"Bunga obligasi Indonesia 7,9% sudah sangat mahal, di antara India, Vietnam, dan negara di ASEAN, bunga obligasi kita paling mahal. Perbankan swasta yang ingin terbitkan obligasi harus berkejaran dengan bunga surat utang negara, berkejaran percantik bunga, ini tambah sulit likuiditas 2017 mendatang," paparnya.
(Baca Juga: Fed Rate Naik, BI Dinilai Tak Punya Ruang untuk Agresif)
Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, inflasi di AS akan naik dalam lima tahun ke depan. Sehingga Fed rate akan menaikkan suku bunganya yang membuat bunga surat utang AS jadi tinggi.
"Ini artinya inflasi AS 2017, 2018, dan lima tahun ke depan naik signifikan, surat utang AS paling aman di dunia. Dengan itu, AS naikkan suku bungnya, kupon imbal hasil obligasinya maka negara berkembang harus menaikan bunga imbal hasilnya agar menarik bagi investor," ujarnya di Jakarta, Kamis (29/12/2016).
Lebih lanjut dia menjelaskan, saat awal Donald Trump terpilih jadi Presiden AS, yield surat utang meningkat dua kali lipat. Kejadian ini dinilai sebagai pertanda bagi negara berkembang untuk lebih menaikkan suku bunga. "Trump terpilih, obligasi AS tenor jangka pendek dan panjang 10 tahun, ketika Trump terpilih dalam tempo dua hari terjadi peningkatan yield cukup besar," katanya.
Di sisi lain, dia menyampaikan, jika Indonesia menaikkan suku bunga untuk menghadapi AS maka perbankan nasional harus memiliki imbal hasil lebih tinggi lagi ketika menerbitkan surat utang. Saling mempercantik yield di dalam negeri ini dinilai akan mempersulit likuiditas tahun depan.
"Bunga obligasi Indonesia 7,9% sudah sangat mahal, di antara India, Vietnam, dan negara di ASEAN, bunga obligasi kita paling mahal. Perbankan swasta yang ingin terbitkan obligasi harus berkejaran dengan bunga surat utang negara, berkejaran percantik bunga, ini tambah sulit likuiditas 2017 mendatang," paparnya.
(akr)