Hotel Kenakan Surcharge Tinggi Dinilai Mengkhawatirkan
A
A
A
YOGYAKARTA - Penerapan Surcharge (biaya tambahan) oleh pengelola hotel selama libur Natal 2016 dan Tahun Baru 2017 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dinilai mengkhawatirkan. Tak hanya kalangan pariwisata, tetapi sektor perhotelan sendiri juga merasa khawatir akan berdampak buruk terhadap situasi pariwisata di DIY.
Ketua Perhimbunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Istijab Danunagoro mengungkapkan, pada libur Natal dan Tahun Baru kemarin, sejumlah hotel memang banyak yang menerapkan surcharge atau biaya tambahan. Surcharge tersebut bervariasi, namun dia menilai angka yang diterapkan terlalu tinggi.
Dia mencatat hotel-hotel di kawasan ring I (dekat Malioboro) banyak yang menerapkan surcharge mulai dari Rp200.000 hingga Rp1 juta dalam semalam. "Itu tinggi sekali," tuturnya.
Menurutnya, surcharge sebenarnya sah-sah saja untuk diterapkan. Hanya saja, jangan sampai dengan alasan aji mumpung justru akan menjadi bumerang bagi kalangan perhotelan. Dikhawatirkan nantinya justru para tamu akan kapok untuk kembali ke Yogyakarta dan enggan untuk berwisata ke Yogyakarta karena biaya yang mereka keluarkan terlalu tinggi.
Selain surcharge, yang membuatnya khawatir adalah permasalah biaya parkir yang juga selangit, harga kuliner yang membubung tinggi juga harus dipecahkan. Jika tidak, menurutnya image pariwisata di DIY akan rusak akibat ulah oknum-oknum tidak bertanggungjawab tersebut. Dia berharap agar semua pihak duduk bersama untuk membicarakan persoalan tersebut agar di kemudian hari tidak terjadi lagi.
Menurutnya, surcharge tinggi sebenarnya bisa dilakukan jika digabungkan dengan event ataupun hiburan tertentu. Jika tidak, bisa saja pengelola hotel menghilangkan diskon yang biasa diberikan kepada tamu jika memang ingin pemasukan mereka bertambah.
Hal tersebut dinilai tentu tidak akan memberatkan para tamu yang kebetulan menginap di hotel di wilayah DIY. Selain itu, citra pariwisata di DIY jua tetap terjaga. "Wisatawan juga tidak akan kapok," tambahnya.
Lebih lanjut dia menerangkan kondisi ini jika tidak disikapi dengan arif adanya peak season justru akan merugikan mereka sendiri. Kalangan perhotelan harusnya berpikir jangka panjang demi keberlangsungan bisnis mereka ke depan.
Dirinya mengakui, terkait tarif pihaknya memang tidak bisa melakukan intervensi karena tidak ada kesepakatan terkait batas atas tarif hotel. Yang sudah menjadi kesepakatan saat ini adalah tarif batas bawah. Tarif batas bawah tersebut ditentukan agar tidak terjadi perang tarif antar hotel. Sehingga ujung-ujungnya hotel sendiri yang nantinya juga dirugikan.
"Nanti coba akan kita diskusikan batas atas tarif hotel," sambungnya.
Sementara Ketua ASITA DIY Udi Sudiyana mengakui persoalan pariwisata di DIY cukup kompleks. Kesadaran para insan pariwisata untuk menciptakan suasana kondusif sendiri masih kurang.
Pemahaman bagaimana agar wisatawan betah dan kembali lagi ke Yogyakarta masih belum banyak dilakukan. Sehingga persoalan tarif yang melambung hingga perlakuan jelek terhadap wisatawan seringkali berulang. "Edukasi sangat diperlukan dalam hal ini," paparnya.
Ketua Perhimbunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Istijab Danunagoro mengungkapkan, pada libur Natal dan Tahun Baru kemarin, sejumlah hotel memang banyak yang menerapkan surcharge atau biaya tambahan. Surcharge tersebut bervariasi, namun dia menilai angka yang diterapkan terlalu tinggi.
Dia mencatat hotel-hotel di kawasan ring I (dekat Malioboro) banyak yang menerapkan surcharge mulai dari Rp200.000 hingga Rp1 juta dalam semalam. "Itu tinggi sekali," tuturnya.
Menurutnya, surcharge sebenarnya sah-sah saja untuk diterapkan. Hanya saja, jangan sampai dengan alasan aji mumpung justru akan menjadi bumerang bagi kalangan perhotelan. Dikhawatirkan nantinya justru para tamu akan kapok untuk kembali ke Yogyakarta dan enggan untuk berwisata ke Yogyakarta karena biaya yang mereka keluarkan terlalu tinggi.
Selain surcharge, yang membuatnya khawatir adalah permasalah biaya parkir yang juga selangit, harga kuliner yang membubung tinggi juga harus dipecahkan. Jika tidak, menurutnya image pariwisata di DIY akan rusak akibat ulah oknum-oknum tidak bertanggungjawab tersebut. Dia berharap agar semua pihak duduk bersama untuk membicarakan persoalan tersebut agar di kemudian hari tidak terjadi lagi.
Menurutnya, surcharge tinggi sebenarnya bisa dilakukan jika digabungkan dengan event ataupun hiburan tertentu. Jika tidak, bisa saja pengelola hotel menghilangkan diskon yang biasa diberikan kepada tamu jika memang ingin pemasukan mereka bertambah.
Hal tersebut dinilai tentu tidak akan memberatkan para tamu yang kebetulan menginap di hotel di wilayah DIY. Selain itu, citra pariwisata di DIY jua tetap terjaga. "Wisatawan juga tidak akan kapok," tambahnya.
Lebih lanjut dia menerangkan kondisi ini jika tidak disikapi dengan arif adanya peak season justru akan merugikan mereka sendiri. Kalangan perhotelan harusnya berpikir jangka panjang demi keberlangsungan bisnis mereka ke depan.
Dirinya mengakui, terkait tarif pihaknya memang tidak bisa melakukan intervensi karena tidak ada kesepakatan terkait batas atas tarif hotel. Yang sudah menjadi kesepakatan saat ini adalah tarif batas bawah. Tarif batas bawah tersebut ditentukan agar tidak terjadi perang tarif antar hotel. Sehingga ujung-ujungnya hotel sendiri yang nantinya juga dirugikan.
"Nanti coba akan kita diskusikan batas atas tarif hotel," sambungnya.
Sementara Ketua ASITA DIY Udi Sudiyana mengakui persoalan pariwisata di DIY cukup kompleks. Kesadaran para insan pariwisata untuk menciptakan suasana kondusif sendiri masih kurang.
Pemahaman bagaimana agar wisatawan betah dan kembali lagi ke Yogyakarta masih belum banyak dilakukan. Sehingga persoalan tarif yang melambung hingga perlakuan jelek terhadap wisatawan seringkali berulang. "Edukasi sangat diperlukan dalam hal ini," paparnya.
(akr)