Masa Depan Hubungan AS-China Setelah Pelantikan Trump
A
A
A
SINGAPURA - Sejak Donald John Trump memenangkan Pilpres Amerika Serikat pada 8 November 2016, tensi hubungan AS dan Republik Rakyat China mulai mendidih. Trump secara terbuka rajin mengkritik Beijing, bahkan telah menempatkan tiga orang pengkritik China dalam skuat pemerintahannya.
Melansir dari CNBC, Jumat (6/1/2017), Trump sejauh ini telah menyebut China memanipulasi mata uangnya, akan meningkatkan bea masuk 45% bagi produk China yang masuk ke AS, dan mencibir meliterisasi RRC di Laut China Selatan. Trump juga mempertanyakan keabsahan kebijakan Satu China, yang menetapkan Taiwan sebagai bagian dari RRC.
Alhasil, masa depan hubungan Amerika dan China pun tergantung kepada Trump. Christopher Hill, mantan duta besar AS untuk Irak dan Korea Selatan, berharap Trump sesudah pelantikan presiden pada 20 Januari mendatang, bisa mengkonfigurasi ulang hubungan bilateral kedua negara.
“Hubungan antara AS dan China terlalu besar kalau sampai gagal. Trump perlu mencari tahu bagaimana cara membangun hubungan ke depan,” ujar Hill di sela-sela Konferensi Kebijakan Publik di Lee Kuan Yew School di Singapura, seperti disiarkan CNBC.
Banyak pihak memperingatkan bahwa memutuskan hubungan Amerika dengan China hanya akan menghasilkan situasi ‘kalah-kalah’ bagi kedua belah pihak.
Perusahaan AS akan kehilangan akses terhadap pekerja murah China. Selain itu, Washington akan kesulitan mencari pinjaman dari China, yang selama ini merupakan pemegang surat utang terbesar AS.
Sementara itu, perekonomian China akan terganggu jika Trump benar-benar menampar produk China dengan tarif masuk yang lebih tinggi, serta pembatasan terhadap investor China yang ingin melakukan bisnis di AS.
“Trump akan segera mengetahui bahwa dia tidak punya pilihan. Dia harus memilih antara krisis atau hubungan lebih baik. Dia harus belajar dan harus siap soal itu,” tambah Hill.
Pendapat senada juga disampaikan Kishore Mahbubani, mantan duta besar Singapura untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan juga bekas ketua Dewan Keamanan PBB. “Dalam hubungan bilateral AS-China, Trump harus segera belajar bernegosiasi dengan orang-orang yang mungkin tidak biasa baginya”.
Perdagangan Amerika dan China memang semakin memanas sejak Trump mengkritik China, terlebih lagi Trump menampik kebijakan Satu China. Media milik Partai Komunis China, Global Times mengatakan bahwa kebijakan Satu China merupakan tidak bisa ditawar-tawar.
Dan ketegangan ini bisa berimplikasi global. “Jika hubungan AS dan China memburuk, seluruh Asia akan guncang,” kata Mahbubani.
Seluruh wilayah, tambah Mahbubani, ingin agar Beijing dan Washington meminggirkan egoisme mereka yang bisa menganggu arus perdagangan Asia. Keduanya harus membangun kerja sama ekonomi, kebijakan luar negeri, dan menciptakan kerja sama keamanan.
“Amerika dan China perlu menyelesaikan masalah bersama-sama. Tidak bisa mengatasinya sendirian, melainkan bersama-sama dan mereka bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik dibanding di masa lalu,” pungkas Hill.
Melansir dari CNBC, Jumat (6/1/2017), Trump sejauh ini telah menyebut China memanipulasi mata uangnya, akan meningkatkan bea masuk 45% bagi produk China yang masuk ke AS, dan mencibir meliterisasi RRC di Laut China Selatan. Trump juga mempertanyakan keabsahan kebijakan Satu China, yang menetapkan Taiwan sebagai bagian dari RRC.
Alhasil, masa depan hubungan Amerika dan China pun tergantung kepada Trump. Christopher Hill, mantan duta besar AS untuk Irak dan Korea Selatan, berharap Trump sesudah pelantikan presiden pada 20 Januari mendatang, bisa mengkonfigurasi ulang hubungan bilateral kedua negara.
“Hubungan antara AS dan China terlalu besar kalau sampai gagal. Trump perlu mencari tahu bagaimana cara membangun hubungan ke depan,” ujar Hill di sela-sela Konferensi Kebijakan Publik di Lee Kuan Yew School di Singapura, seperti disiarkan CNBC.
Banyak pihak memperingatkan bahwa memutuskan hubungan Amerika dengan China hanya akan menghasilkan situasi ‘kalah-kalah’ bagi kedua belah pihak.
Perusahaan AS akan kehilangan akses terhadap pekerja murah China. Selain itu, Washington akan kesulitan mencari pinjaman dari China, yang selama ini merupakan pemegang surat utang terbesar AS.
Sementara itu, perekonomian China akan terganggu jika Trump benar-benar menampar produk China dengan tarif masuk yang lebih tinggi, serta pembatasan terhadap investor China yang ingin melakukan bisnis di AS.
“Trump akan segera mengetahui bahwa dia tidak punya pilihan. Dia harus memilih antara krisis atau hubungan lebih baik. Dia harus belajar dan harus siap soal itu,” tambah Hill.
Pendapat senada juga disampaikan Kishore Mahbubani, mantan duta besar Singapura untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan juga bekas ketua Dewan Keamanan PBB. “Dalam hubungan bilateral AS-China, Trump harus segera belajar bernegosiasi dengan orang-orang yang mungkin tidak biasa baginya”.
Perdagangan Amerika dan China memang semakin memanas sejak Trump mengkritik China, terlebih lagi Trump menampik kebijakan Satu China. Media milik Partai Komunis China, Global Times mengatakan bahwa kebijakan Satu China merupakan tidak bisa ditawar-tawar.
Dan ketegangan ini bisa berimplikasi global. “Jika hubungan AS dan China memburuk, seluruh Asia akan guncang,” kata Mahbubani.
Seluruh wilayah, tambah Mahbubani, ingin agar Beijing dan Washington meminggirkan egoisme mereka yang bisa menganggu arus perdagangan Asia. Keduanya harus membangun kerja sama ekonomi, kebijakan luar negeri, dan menciptakan kerja sama keamanan.
“Amerika dan China perlu menyelesaikan masalah bersama-sama. Tidak bisa mengatasinya sendirian, melainkan bersama-sama dan mereka bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik dibanding di masa lalu,” pungkas Hill.
(ven)