Penyebab Tarif Listrik di Indonesia Masih Mahal
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Jumadis Abda mengungkapkan, pemerintah tidak memberikan penurunan harga gas bagi PLN sebagai pengguna gas untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Padahal, pemerintah telah menandatangani penetapan diskon harga gas terhadap tiga sektor industri yaitu baja, pupuk, dan petrokimia.
Abda mengatakan, harga beli gas bagi pembangkit PLN rata-rata diata USD 9 per MMBtu atau di atas harga diskon gas bagi Industri yang hanya USD 6 per MMBtu. Harga gas bumi yang mahal dinilai menambah beban bagi PLN karena berpengaruh terhadap cost produksi dalam menyediakan listrik ke masyarakat.
"Harga gas ke PLN itu sekitar USD9 per MMBTU. Untuk Muara Karang saja sekarang sekitar USD9,5 per MMBTU dari FSRU Jabar. Namun, rata-rata nasional masih USD9 per MMBTU termasuk harga gas pipa masih USD9 per MMBTU, ini tergolong mahal," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (12/1/2017).
Tingginya harga gas bumi tersebut, kata dia, akan berdampak ke daya saing PLN. Sehingga harga listrik yang dijual ke masyarakat juga lebih mahal. Hal ini jika terjadi terus menerus yang dirugikan adalan PLN dan konsumen.
"Tak heran kenaikan listrik yang tinggi akan selalu dibebankan konsumen karena komponen tadi tidak bisa dikendalikan," kata Abda.
Dia menambahkan, PLN menanggung kerugian hingga Rp500 miliar per tahun akibat penghentian suplai listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Bukit Asam di Sumatra Selatan. Penghentian operasi PLTU ini dikarenakan terjadinya over supply.
Over supply ini sendiri merupakan konsekuensi dari ketentuan dalam Power Purchase Agreement (PPA) yang mengharuskan PLN membeli listrik yang dihasilkan swasta baik digunakan atau tidak digunakan (take or pay). Menurutnya, PLN akan mengalmai kerugian akibat selisih KWh beli pembangkit dari swasta dibandingkan harga pokok produksi PLTU Bukit Asam.
Harga KWh IPP Sumsel 5 tercatat sebesar Rp780 per KWh atau lebih mahal dibandingkan harga KWh dari Bukit Asam yang hanya Rp300 per KWh. Jika dibiarkan maka akan berimbas ke masyarakat yang harus menanggung beban harga listrik lebih mahal akibat dari harga pokok produksi IPP.
"Kami minta klausul take or pay dievaluasi. Kami minta direksi dan dirut PLN evaluasi kontrak itu dan kendalikan listrik pembangkit swasta," pungkas Abda.
Abda mengatakan, harga beli gas bagi pembangkit PLN rata-rata diata USD 9 per MMBtu atau di atas harga diskon gas bagi Industri yang hanya USD 6 per MMBtu. Harga gas bumi yang mahal dinilai menambah beban bagi PLN karena berpengaruh terhadap cost produksi dalam menyediakan listrik ke masyarakat.
"Harga gas ke PLN itu sekitar USD9 per MMBTU. Untuk Muara Karang saja sekarang sekitar USD9,5 per MMBTU dari FSRU Jabar. Namun, rata-rata nasional masih USD9 per MMBTU termasuk harga gas pipa masih USD9 per MMBTU, ini tergolong mahal," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (12/1/2017).
Tingginya harga gas bumi tersebut, kata dia, akan berdampak ke daya saing PLN. Sehingga harga listrik yang dijual ke masyarakat juga lebih mahal. Hal ini jika terjadi terus menerus yang dirugikan adalan PLN dan konsumen.
"Tak heran kenaikan listrik yang tinggi akan selalu dibebankan konsumen karena komponen tadi tidak bisa dikendalikan," kata Abda.
Dia menambahkan, PLN menanggung kerugian hingga Rp500 miliar per tahun akibat penghentian suplai listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Bukit Asam di Sumatra Selatan. Penghentian operasi PLTU ini dikarenakan terjadinya over supply.
Over supply ini sendiri merupakan konsekuensi dari ketentuan dalam Power Purchase Agreement (PPA) yang mengharuskan PLN membeli listrik yang dihasilkan swasta baik digunakan atau tidak digunakan (take or pay). Menurutnya, PLN akan mengalmai kerugian akibat selisih KWh beli pembangkit dari swasta dibandingkan harga pokok produksi PLTU Bukit Asam.
Harga KWh IPP Sumsel 5 tercatat sebesar Rp780 per KWh atau lebih mahal dibandingkan harga KWh dari Bukit Asam yang hanya Rp300 per KWh. Jika dibiarkan maka akan berimbas ke masyarakat yang harus menanggung beban harga listrik lebih mahal akibat dari harga pokok produksi IPP.
"Kami minta klausul take or pay dievaluasi. Kami minta direksi dan dirut PLN evaluasi kontrak itu dan kendalikan listrik pembangkit swasta," pungkas Abda.
(ven)