Value Building Growth 2.0
A
A
A
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert- Prasetiya Mulya Business School, Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)
PENELITIAN tentang Value Building Growth dari AT Kearney (baca: Value Building Growth 1.0) menunjukkan bahwa pola pertumbuhan perusahaan tidak linier, namun cenderung berbentuk spiral.
Artinya, posisi perusahaan (center of gravity) pada growth matrix tidak diam statis, namun berpindah-pindah dari tahun ke tahun secara spiral. Perusahaan yang berada di kuadran 2 (profit seekers) bisa saja berpindah ke kuadran 1 (value builders) dengan terlebih dahulu migrasi ke kuadran 4 (underperformers) dan kuadran 3 (simple growers).
Sebaliknya, sebuah perusahaan yang tadinya berada di kuadran 1 bisa terlempar ke kuadran 4 melalui kuadran 2. Untuk menjadi value building company, langkah pertama adalah mendeteksi posisi suatu perusahaan di growth matrix.
Strategi yang diambil didasarkan posisi tersebut dan ke mana perusahaan akan diarahkan. Jika berada di kuadran 2 (profit seekers), strategi menjadi value builder adalah melepaskan diri dari "profit trap" karena pada saat ini perusahaan terlalu fokus pada profit growth.
Visi dan komitmen "go for growth" harus dinyatakan secara jelas. Manajemen harus lebih berani mengambil risiko dengan menanamkan modal pada investasi baru.
Untuk bertumbuh, perusahaan dapat menerapkan strategi-strategi generik seperti: produk baru untuk pasar lama (product development), produk lama untuk pasar baru (market development), produk baru untuk pasar baru (diversification).
Dalam hal ini strategi akuisisi secara selektif untuk meningkatkan pangsa pasar, ekspansi secara geografis, bertumbuh melalui kompetensi inti, serta menemukan kembali dan memperdalam hubungan dengan pelanggan patut dipertimbangkan.
Secara internal, budaya perusahaan dan struktur organisasi harus dimodifikasi untuk mendukung visi pertumbuhan. Untuk menjadi value builders, perusahaan yang berada di area kuadran 3 (simple frowers) dapat menerapkan strategi "go for value" seperti: membersihkan portofolio dari bisnis-bisnis yang termasuk value destroyer, mendefinisikan (kembali) dan memperkuat bisnis inti (core business), mengaitkan insentif manajemen dengan penciptaan nilai dan peningkatan efisiensi.
Bagi perusahaan yang berada di kondisi underperformers (kuadran 4), strategi untuk menuju ke value builders adalah "break out from underperformers", seperti menetapkan visi yang jelas dengan fokus pada pertumbuhan yang memberikan profit, fokus kembali pada core business, membersihkan portofolio berdasarkan kriteria pertumbuhan dan profitabilitas, memanfaatkan motivasi dari karyawan baru untuk mendorong pertumbuhan, membangun leadership team yang lebih growth minded.
Contoh klasik perusahaan yang sukses berpindah dari underperformers ke value builders adalah Nokia. Melihat kinerja Nokia saat ini sulit dibayangkan bahwa pada awal 1990-an Nokia adalah konglomerat over-diversified, memproduksi antara lain ban, komputer, tabung TV, mesin kabel yang masih merugi.
Turnaround Nokia dimulai sejak 1992 setelah Jorma Ollila menjadi CEO. Ollila segera membuat tiga keputusan yang memfokuskan bisnis Nokia pada telekomunikasi, khususnya pada wireless.
Dia menjual bisnis yang tidak berhubungan dengan telekomunikasi, melakukan investasi besar pada R&D, serta menjadi pemain bisnis global yang serius. Hasilnya, pada periode 1995-1999, revenue bertumbuh rata-rata 33% per tahun dan net profit bertumbuh rata-rata 62% per tahun.
Untuk value builders, strateginya adalah "spiral up" yaitu bertahan selama mungkin di area ini sembari menuju sudut kanan atas kuadran 1, daerah impian semua orang. Strategi yang dapat dilakukan antara lain terus-menerus mengorientasikan kembali budaya perusahaan, mendefinisi kembali value chain, ekspansi geografis secara selektif, mengembangkan interaksi dengan pelanggan, memotivasi SDM untuk tidak berpuas diri, dan membuat disain organisasi yang lebih fleksibel.
Bertahan sebagai value buildersbukan hal yang mudah. AT Kearney menemukan bahwa rata-rata durasi perusahaan bertahan di area ini hanya tiga tahun. Tidak jarang value builder terlempar ke area lain, sebagian berhasil kembali, sebagian lagi tidak.
AT Kearney mencatat 53% value builders yang terlempar ke simple growers berhasil kembali. Namun, recovery rate tersebut turun menjadi 38% untuk value buiders yang terjatuh ke underperformers dan hanya 9% untuk value builders yang terlempar ke zona profit seeker. Artinya, jebakan laba di comfort zone seperti profit seeker benar-benar berbahaya.
Ada tiga "dosa" yang dapat dilakukan manajemen dalam mengelola perusahaan. Pertama, membiarkan perusahaan tidak bertumbuh. Kedua, pertumbuhan laba perusahaan tidak diiringi pertumbuhan ukuran perusahaan (diukur dengan pertumbuhan pendapatan).
Manajer terjebak pada comfort zone, terlalu fokus pada bisnis yang ada saat ini tanpa ingin menanggung risiko yang dapat timbul jika menumbuhkan bisnis tersebut. Ketiga, perusahaan menjadi besar, namun nilai yang diciptakan bagi pemegang saham terabaikan.
Manajemen terjebak pada "empire building trap". Idealnya, manajer harus membawa perusahaan ke "tanah impian" yaitu value grower di mana perusahaan bertumbuh secara kuantitas (revenue) maupun kualitas (market value).
Financial Expert- Prasetiya Mulya Business School, Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)
PENELITIAN tentang Value Building Growth dari AT Kearney (baca: Value Building Growth 1.0) menunjukkan bahwa pola pertumbuhan perusahaan tidak linier, namun cenderung berbentuk spiral.
Artinya, posisi perusahaan (center of gravity) pada growth matrix tidak diam statis, namun berpindah-pindah dari tahun ke tahun secara spiral. Perusahaan yang berada di kuadran 2 (profit seekers) bisa saja berpindah ke kuadran 1 (value builders) dengan terlebih dahulu migrasi ke kuadran 4 (underperformers) dan kuadran 3 (simple growers).
Sebaliknya, sebuah perusahaan yang tadinya berada di kuadran 1 bisa terlempar ke kuadran 4 melalui kuadran 2. Untuk menjadi value building company, langkah pertama adalah mendeteksi posisi suatu perusahaan di growth matrix.
Strategi yang diambil didasarkan posisi tersebut dan ke mana perusahaan akan diarahkan. Jika berada di kuadran 2 (profit seekers), strategi menjadi value builder adalah melepaskan diri dari "profit trap" karena pada saat ini perusahaan terlalu fokus pada profit growth.
Visi dan komitmen "go for growth" harus dinyatakan secara jelas. Manajemen harus lebih berani mengambil risiko dengan menanamkan modal pada investasi baru.
Untuk bertumbuh, perusahaan dapat menerapkan strategi-strategi generik seperti: produk baru untuk pasar lama (product development), produk lama untuk pasar baru (market development), produk baru untuk pasar baru (diversification).
Dalam hal ini strategi akuisisi secara selektif untuk meningkatkan pangsa pasar, ekspansi secara geografis, bertumbuh melalui kompetensi inti, serta menemukan kembali dan memperdalam hubungan dengan pelanggan patut dipertimbangkan.
Secara internal, budaya perusahaan dan struktur organisasi harus dimodifikasi untuk mendukung visi pertumbuhan. Untuk menjadi value builders, perusahaan yang berada di area kuadran 3 (simple frowers) dapat menerapkan strategi "go for value" seperti: membersihkan portofolio dari bisnis-bisnis yang termasuk value destroyer, mendefinisikan (kembali) dan memperkuat bisnis inti (core business), mengaitkan insentif manajemen dengan penciptaan nilai dan peningkatan efisiensi.
Bagi perusahaan yang berada di kondisi underperformers (kuadran 4), strategi untuk menuju ke value builders adalah "break out from underperformers", seperti menetapkan visi yang jelas dengan fokus pada pertumbuhan yang memberikan profit, fokus kembali pada core business, membersihkan portofolio berdasarkan kriteria pertumbuhan dan profitabilitas, memanfaatkan motivasi dari karyawan baru untuk mendorong pertumbuhan, membangun leadership team yang lebih growth minded.
Contoh klasik perusahaan yang sukses berpindah dari underperformers ke value builders adalah Nokia. Melihat kinerja Nokia saat ini sulit dibayangkan bahwa pada awal 1990-an Nokia adalah konglomerat over-diversified, memproduksi antara lain ban, komputer, tabung TV, mesin kabel yang masih merugi.
Turnaround Nokia dimulai sejak 1992 setelah Jorma Ollila menjadi CEO. Ollila segera membuat tiga keputusan yang memfokuskan bisnis Nokia pada telekomunikasi, khususnya pada wireless.
Dia menjual bisnis yang tidak berhubungan dengan telekomunikasi, melakukan investasi besar pada R&D, serta menjadi pemain bisnis global yang serius. Hasilnya, pada periode 1995-1999, revenue bertumbuh rata-rata 33% per tahun dan net profit bertumbuh rata-rata 62% per tahun.
Untuk value builders, strateginya adalah "spiral up" yaitu bertahan selama mungkin di area ini sembari menuju sudut kanan atas kuadran 1, daerah impian semua orang. Strategi yang dapat dilakukan antara lain terus-menerus mengorientasikan kembali budaya perusahaan, mendefinisi kembali value chain, ekspansi geografis secara selektif, mengembangkan interaksi dengan pelanggan, memotivasi SDM untuk tidak berpuas diri, dan membuat disain organisasi yang lebih fleksibel.
Bertahan sebagai value buildersbukan hal yang mudah. AT Kearney menemukan bahwa rata-rata durasi perusahaan bertahan di area ini hanya tiga tahun. Tidak jarang value builder terlempar ke area lain, sebagian berhasil kembali, sebagian lagi tidak.
AT Kearney mencatat 53% value builders yang terlempar ke simple growers berhasil kembali. Namun, recovery rate tersebut turun menjadi 38% untuk value buiders yang terjatuh ke underperformers dan hanya 9% untuk value builders yang terlempar ke zona profit seeker. Artinya, jebakan laba di comfort zone seperti profit seeker benar-benar berbahaya.
Ada tiga "dosa" yang dapat dilakukan manajemen dalam mengelola perusahaan. Pertama, membiarkan perusahaan tidak bertumbuh. Kedua, pertumbuhan laba perusahaan tidak diiringi pertumbuhan ukuran perusahaan (diukur dengan pertumbuhan pendapatan).
Manajer terjebak pada comfort zone, terlalu fokus pada bisnis yang ada saat ini tanpa ingin menanggung risiko yang dapat timbul jika menumbuhkan bisnis tersebut. Ketiga, perusahaan menjadi besar, namun nilai yang diciptakan bagi pemegang saham terabaikan.
Manajemen terjebak pada "empire building trap". Idealnya, manajer harus membawa perusahaan ke "tanah impian" yaitu value grower di mana perusahaan bertumbuh secara kuantitas (revenue) maupun kualitas (market value).
(izz)