Pemerintah Punya Kekuatan Menangkan Arbitrase Lawan Freeport
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya Komisi VII menilai pemerintah punya kekuatan memenangkan Arbitrase melawan PT Freeport Indonesia yang tak mau patuh pada Undang-undang Minerba.
"Pemerintah memiliki kekuatan menghadapi Freeport di sidang arbitrase. Kalau saya melihatnya kuat, kan negara berdaulat. Dan ini bukan keputusan sekarang," ujar Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu (21/2/2017) di Gedung DPR.
Namun sebelum diajukan Arbitrase, Gus Irawan meminta pemerintah dan Freeport untuk bernegosiasi lebih lanjut selama masa transisi dalam enam bulan ini. Apabila tidak mencapai titik temu, dia mendukung pemerintah mengambil jalur terakhir, yakni arbitrase.
Politikus Partai Gerindra itu juga mengatakan Freeport tidak bisa serta merta menyalahkan pemerintah, karena Freeport jiga melakukan kesalahan seperti belum menyelesaikan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
"Jika mengacu Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, Freeport Indonesia selaku pemegang kontrak karya (KK) berkewajiban membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun setelah UU keluar. Jadi kalau mau dilihat salahnya, Freeport salah juga. Seharusnya pada 2014 sudah selesaikan smelter," ungkapnya.
Sebaliknya, dia melihat pemerintah sudah berusaha mencari solusi agar Freeport bisa tetap beroperasi. Salah satunya menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017. Dengan aturan ini, Freeport harus mengubah status kontraknya dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) agar mendapatkan izin ekspor.
"Poin inilah yang menjadi pangkal masalah. Freeport keberatan mengakhiri kontrak karya sebelum masanya habis pada 2021. Alasannya, dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, menyatakan KK tetap sah berlaku selama jangka waktunya," jelasnya.
"Pemerintah memiliki kekuatan menghadapi Freeport di sidang arbitrase. Kalau saya melihatnya kuat, kan negara berdaulat. Dan ini bukan keputusan sekarang," ujar Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu (21/2/2017) di Gedung DPR.
Namun sebelum diajukan Arbitrase, Gus Irawan meminta pemerintah dan Freeport untuk bernegosiasi lebih lanjut selama masa transisi dalam enam bulan ini. Apabila tidak mencapai titik temu, dia mendukung pemerintah mengambil jalur terakhir, yakni arbitrase.
Politikus Partai Gerindra itu juga mengatakan Freeport tidak bisa serta merta menyalahkan pemerintah, karena Freeport jiga melakukan kesalahan seperti belum menyelesaikan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
"Jika mengacu Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, Freeport Indonesia selaku pemegang kontrak karya (KK) berkewajiban membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun setelah UU keluar. Jadi kalau mau dilihat salahnya, Freeport salah juga. Seharusnya pada 2014 sudah selesaikan smelter," ungkapnya.
Sebaliknya, dia melihat pemerintah sudah berusaha mencari solusi agar Freeport bisa tetap beroperasi. Salah satunya menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017. Dengan aturan ini, Freeport harus mengubah status kontraknya dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) agar mendapatkan izin ekspor.
"Poin inilah yang menjadi pangkal masalah. Freeport keberatan mengakhiri kontrak karya sebelum masanya habis pada 2021. Alasannya, dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, menyatakan KK tetap sah berlaku selama jangka waktunya," jelasnya.
(ven)