Dihajar Pandawa

Senin, 27 Februari 2017 - 06:01 WIB
Dihajar Pandawa
Dihajar Pandawa
A A A
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)


SIAPA tidak kenal Pandawa? Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Bagaimana kalau Salman Nuryanto? Oh, ia adalah bos Pandawa Group yang nilai investasinya mencapai Rp3 triliun.

Duit sebanyak itu bisa untuk membangun 1/5 proyek MRT Tahap I di Jakarta. Nuryanto pernah menjadi tukang bubur selama 20 tahun, kemudian menjadi sales obat herbal.

Entah mendapat inspirasi dari mana, sejak 2015 Nuryanto mulai menawarkan investasi yang menawarkan imbal hasil 10% per bulan melalui Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Pandawa Mandiri Group.

Bisnis ”money game” ini jauh lebih lezat daripada bubur ayam. Model bisnisnya sederhana, ia menggunakan sistem multilevel marketing (MLM) untuk menggaet anggota baru. Bagaimana mesin uang untuk membayar bunga selangit tersebut bekerja?

Dana investor akan dipinjamkan kepada UKM dengan bunga 20% per bulan. Setengah dari keuntungan diberikan kepada investor. Jenius bukan? Nuryanto-pun tidak lupa membenahi penampilan dan namanya. Ia tambahkan nama depan Salman, dan berdandan bak Pangeran Diponegoro.

Nyatanya, jumlah investor Pandawa Group tumbuh bagai jamur pada musim hujan. Para investor tidak lagi bisa berpikir apakah masuk akal UKM bersedia meminjam uang dengan bunga 20% per bulan. Mereka lupa berhitung, ada berapa UKM yang bisa menyerap dana investor yang terus membengkak.

Di benak mereka hanya ada bayangan indah besaran imbal hasil yang bakal diterima pada akhir bulan. Jurus yang dipakai Salman Nuryanto adalah jurus jadul, yakni Skema Ponzi atau struktur piramida alias arisan berantai. Intinya, duit investor tidak digunakan untuk berinvestasi, tetapi untuk membayar imbal hasil atau bunga yang dijanjikan.

Jadi, sebenarnya investor Pandawa menikmati imbal hasil dari duit mereka sendiri! Ketika duit ini habis, perlu dicarikan investor (korban) baru untuk membayari imbal hasil tersebut. Ketika dana investor baru yang masuk tidak lagi cukup untuk membayar imbal hasil bagi seluruh anggota, bangunan piramida akan roboh.

Mengapa kasus investasi bodong di negeri ini semakin marak? Menurut survei tentang financial literacy yang dilakukan VISA pada 2012, dari 28 negara, Indonesia berada di posisi nomor dua dari belakang. Bahkan, untuk financial literacy pada kaum wanita, Indonesia menempati urutan paling buncit. Ini sungguh memprihatinkan karena wanita biasanya berperan sebagai pengatur keuangan keluarga.

Survei yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2015 juga mengindikasikan hal yang sama. Literasi keuangan masyarakat kita hanya 21,9%. Artinya, dari 100 orang, hanya sekitar 22 orang yang melek keuangan. Kondisi ini diperparah dengan financial inclusion yang rendah juga.

Menurut OJK, hanya 22% masyarakat kita yang terkoneksi pada institusi keuangan. Masyarakat di daerah pedalaman dan pulau terpencil masih tidak terjangkau layanan jasa keuangan. Akibatnya, alternatif investasi bagi mereka sangat terbatas.

Faktor lain yang membuat masyarakat kita mudah tergiur investasi bodong adalah kondisi ekonomi yang buruk dan perilaku ingin meraup keuntungan besar secara cepat dan mudah. Ada indikasi bahwa saat perekonomian memburuk, kasus investasi bodong semakin marak.

Orang yang sedang bermasalah keuangan seperti terbelit utang atau kredit macet memang mudah tergoda. Dari sisi suplai, mengapa perusahaan yang menawarkan investasi bodong masih bergentayangan memakan korban? Bukankah selama ini sudah ada Satuan Tugas Waspada Investasi yang terdiri dari tujuh lembaga, yaitu OJK, Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kejaksaan Agung dan kepolisian. Masalahnya ada pada koordinasi antarlembaga tersebut.

Di lapangan banyak ditemukan penyalahgunaan izin usaha. Misalnya, izin usaha untuk perdagangan emas diselewengkan untuk mengumpulkan uang masyarakat. Dalam kasus seperti ini, OJK tidak bisa mengambil tindakan segera karena tidak di bawah pengawasannya. Yang berhak mencabut izin usaha adalah lembaga lain. Masalah koordinasi membuat penanganan kasus menjadi kurang cepat. Masalah koordinasi juga menimbulkan kelemahan, adanya ”blind spot”, yaitu area yang lolos dari pengawasan karena bentuk organisasinya. Misalnya kasus MMM Indonesia yang merupakan skema Ponzi internasional.

MMM mengaku sebagai jaringan keuangan sosial di mana anggotanya saling membantu, dan sempat dengan santainya beriklan di koran dan televisi. OJK hanya bisa memberikan teguran. Ada satu fakta menarik yang saya temukan. Sebagian korban investasi ilegal sebenarnya tahu bahwa investasi tersebut hanya pepesan kosong yang menggunakan skema Ponzi. Pengelola penipuan investasi ini membayar investor/anggota lama dengan uang investor/anggota baru. Mirip struktur piramida, di mana bagian bawah menyokong bagian atas.

Ketika anggota baru yang masuk tidak mampu mendukung pembayaran untuk anggota di atasnya, piramida ini roboh. Nah, bagi mereka yang masuk duluan berspekulasi bahwa piramida tidak akan roboh sebelum mereka mendapat profit besar. Kasus investasi ilegal atau penipuan finansial sendiri bertambah secara eksponensial berkat adanya internet. Jika dulu pengelola investasi ilegal jelas orangnya dan kantornya, sekarang mereka bersembunyi di dunia maya. Penipunya juga makin kreatif, tidak hanya menggunakan skema Ponzi. Misalnya, kasus PT Swissindo di Cirebon yang menjual surat berharga yang diklaim bisa mengatasi utang nasabah yang mengalami kredit macet.

Dalam sebuah acara diskusi panel bersama OJK tahun lalu, saya menyarankan beberapa strategi untuk menangkal investasi ilegal. Untuk solusi berdampak jangka menengah dan panjang, OJK bisa meningkatkan upaya edukasi keuangan untuk meningkatkan financial literacy masyarakat, terutama bagi kaum perempuan. OJK bisa bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama sekolah dan perguruan tinggi.

Pengenalan pengetahuan investasi dan keuangan bisa dilakukan melalui mata ajaran dan mata kuliah dengan cara menarik. Namun, solusi dengan dampak jangka pendek sangat diperlukan. Kewenangan Satgas Waspada Investasi perlu diperkuat agar bisa mengambil tindakan, misalnya minimal dengan Peraturan Presiden.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0867 seconds (0.1#10.140)