Bekraf Pertemukan Pelaku Industri Kreatif dengan Perbankan
A
A
A
JAKARTA - Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyelenggarakan program Bekraf Financial Club (BFC) yang kedua kalinya di Diamond Swiss-Bellhotel Kemang, Selasa, (28/2/2017). Acara ini untuk menjembatani pelaku industri kreatif dengan perbankan.
Pasalnya, pelaku ekonomi kreatif membutuhkan permodalan untuk mengembangkan usaha kreatif. Dan nature bisnis dari ekonomi kreatif ini juga perlu dipahami oleh pihak perbankan sebagai salah satu sumber permodalan. Dan pada BFC ini, Bekraf mempertemukan pelaku sub sektor aplikasi dan game dengan pihak perbankan.
Deputi Akses Permodalan Bekraf, Fadjar Hutomo, mengatakan Bekraf menyadari jika lembaga keuangan harus mengenal dan memahamai sub sektor yang dibiayai, maka Bekraf menyelenggarakan BFC. Fadjar mengungkapkan pada saat penyelenggaraan BFC pertama pada Selasa 21 Februari 2017 pekan lalu, Deputi Permodalan berperan dalam mengenalkan dan mendekatkan pelaku ekonomi kreatif.
“Sehingga portofolio pembiayaan perbankan pada pelaku ekonomi kreatif meningkat,” katanya dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Selasa (28/2/2017).
Fadjar menambahkan dengan mengetahui kebutuhan sub sektor aplikasi dan game, Bekraf berharap perbankan bisa menyediakan permodalan yang sesuai dengan model bisnis pelaku ekonomi kreatif. “Terutama sub sektor aplikasi dan game,” ujarnya.
BFC bertujuan meningkatkan permodalan bagi pelaku ekonomi kreatif dari perbankan. Para pelaku ekonomi kreatif dari sub sektor aplikasi dan game memberikan pemaparan dihadapan perbankan dan mengharapkan terdapat pola pembiayaan yang sesuai oleh bank kepada sub sektor tersebut.
Ekspertise yang dihadirkan dari sub sektor aplikasi yaitu CFO bukalapak.com Muhamad Fajrin Rasyid, Developer Kuassa yaitu Grahadea Kusuf dan Presdir PT Sigma Cipta Caraka, Djarot Subiantoro.
Ekspertise sub sektor game yang menjadi narasumber yaitu Founder Agate Studio Aditya Dwi Permana; CEO Dicoding sekaligus Ketua Asosiasi Game Indonesia (AGI) Narenda Wicaksono dan CEO Ekuator Games sekaligus Deputi Akses Jaringan dan Permodalan AGI, Cipto Adiguno.
CFO bukalapak.com Muhamad Fajrin Rasyid saat rapat persiapan BFC di Gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengungkapkan bahwa income dan ekosistem usaha kreatif dari pelaku ekonomi kreatif sudah diketahui melalui aplikasi marketplace digital pada bukalapak.com. Founder Agate Studio, Aditya Dwi Permana, dalam rapat tersebut menambahkan jika kendala sub sektor game yaitu jaminan dalam mendapatkan pembiayaan.
CEO Ekuator Games sekaligus Deputi Akses Jaringan dan Permodalan AGI, Cipto Adiguno, menginformasikan bahwa sumber permodalan sub sektor game paling banyak berasal dari dana pribadi pelaku ekonomi kreatif dan hampir tidak ada dari Bank. Cipto berharap, akan terdapat beberapa akses permodalan dengan kejelasan syarat dan metode untuk mengaksesnya.
Menurut Cipto, Bank relatif tidak accessible untuk pelaku sub sektor game karena development minim asset tangible yang dapat dijadikan jaminan. Selain itu, dia menambahkan jika Kredit Usaha Mikro biasanya mengharuskan memiliki badan atau surat izin usaha serta sudah melakukan usaha di tempat yang sama selama beberapa waktu.
Sementara sebagian besar developer menurut Cipto berbentuk pribadi dan tidak terikat lokasi. “Mungkin lebih mirip home industri,” ujarnya.
Pasalnya, pelaku ekonomi kreatif membutuhkan permodalan untuk mengembangkan usaha kreatif. Dan nature bisnis dari ekonomi kreatif ini juga perlu dipahami oleh pihak perbankan sebagai salah satu sumber permodalan. Dan pada BFC ini, Bekraf mempertemukan pelaku sub sektor aplikasi dan game dengan pihak perbankan.
Deputi Akses Permodalan Bekraf, Fadjar Hutomo, mengatakan Bekraf menyadari jika lembaga keuangan harus mengenal dan memahamai sub sektor yang dibiayai, maka Bekraf menyelenggarakan BFC. Fadjar mengungkapkan pada saat penyelenggaraan BFC pertama pada Selasa 21 Februari 2017 pekan lalu, Deputi Permodalan berperan dalam mengenalkan dan mendekatkan pelaku ekonomi kreatif.
“Sehingga portofolio pembiayaan perbankan pada pelaku ekonomi kreatif meningkat,” katanya dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Selasa (28/2/2017).
Fadjar menambahkan dengan mengetahui kebutuhan sub sektor aplikasi dan game, Bekraf berharap perbankan bisa menyediakan permodalan yang sesuai dengan model bisnis pelaku ekonomi kreatif. “Terutama sub sektor aplikasi dan game,” ujarnya.
BFC bertujuan meningkatkan permodalan bagi pelaku ekonomi kreatif dari perbankan. Para pelaku ekonomi kreatif dari sub sektor aplikasi dan game memberikan pemaparan dihadapan perbankan dan mengharapkan terdapat pola pembiayaan yang sesuai oleh bank kepada sub sektor tersebut.
Ekspertise yang dihadirkan dari sub sektor aplikasi yaitu CFO bukalapak.com Muhamad Fajrin Rasyid, Developer Kuassa yaitu Grahadea Kusuf dan Presdir PT Sigma Cipta Caraka, Djarot Subiantoro.
Ekspertise sub sektor game yang menjadi narasumber yaitu Founder Agate Studio Aditya Dwi Permana; CEO Dicoding sekaligus Ketua Asosiasi Game Indonesia (AGI) Narenda Wicaksono dan CEO Ekuator Games sekaligus Deputi Akses Jaringan dan Permodalan AGI, Cipto Adiguno.
CFO bukalapak.com Muhamad Fajrin Rasyid saat rapat persiapan BFC di Gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengungkapkan bahwa income dan ekosistem usaha kreatif dari pelaku ekonomi kreatif sudah diketahui melalui aplikasi marketplace digital pada bukalapak.com. Founder Agate Studio, Aditya Dwi Permana, dalam rapat tersebut menambahkan jika kendala sub sektor game yaitu jaminan dalam mendapatkan pembiayaan.
CEO Ekuator Games sekaligus Deputi Akses Jaringan dan Permodalan AGI, Cipto Adiguno, menginformasikan bahwa sumber permodalan sub sektor game paling banyak berasal dari dana pribadi pelaku ekonomi kreatif dan hampir tidak ada dari Bank. Cipto berharap, akan terdapat beberapa akses permodalan dengan kejelasan syarat dan metode untuk mengaksesnya.
Menurut Cipto, Bank relatif tidak accessible untuk pelaku sub sektor game karena development minim asset tangible yang dapat dijadikan jaminan. Selain itu, dia menambahkan jika Kredit Usaha Mikro biasanya mengharuskan memiliki badan atau surat izin usaha serta sudah melakukan usaha di tempat yang sama selama beberapa waktu.
Sementara sebagian besar developer menurut Cipto berbentuk pribadi dan tidak terikat lokasi. “Mungkin lebih mirip home industri,” ujarnya.
(ven)