Genjot Produksi Holtikultura Nasional lewat Inovasi Digital
A
A
A
JAKARTA - Perusahaan benih sayuran berbasis teknologi PT East West Seed Indonesia (EWINDO) atau dikenal sebagai ‘Cap Panah Merah’ siap mengembangkan aplikasi Sipindo (sistem aplikasi petani Indonesia). Aplikasi ini akan diluncurkan di bulan April 2017 untuk 100 ribu petani di Jawa.
Managing Director Ewindo Glenn Pardede mengatakan teknologi digital harus mulai diterapkan di pertanian termasuk holtikultura. Hal ini demi mendapatkan data petani yang akurat. Oleh karena itu pada program terbarunya nanti, akan diluncurkan aplikasi mobile pada tablet untuk mengetahui data petani dan apa yang menjadi kebutuhannya.
"Kita siapkan program cukup besar yakni aplikasi Sipindo (sistem aplikasi petani Indonesia). Kami akan buat nanti bulan April diluncurkan untuk 100 ribu petani di Jawa dengan fokus tanaman cabai, timun dan tomat," ucapnya dalam jumpa pers kemarin di Jakarta, Selasa (14/3/2017).
Lebih lanjut dia menjelaskan, nantinya dalam Sipindo akan dibuat program big data dengan bantuan dari Belanda (smart seed) yang nilainya mencapai 3 juta euro. Di smart seed tersebut menggunakan sistem satelit sehingga bisa memetakan cuaca, iklim, apakah daerah itu banjir atau tidak.
"Masalah kami hadapi misalnya ketika menanam semangka di Pandeglang tidak banjir, tapi tiba-tiba saat mau panen justru banjir. Nah program ini akan memberi tahu titik mana saja yang aman dari banjir dan yang bisa ditanam, serta bagaimana curah hujannya," jelas Gleen.
Menurutnya rencana tersebut merupakan bukti untuk meningkatkan kesejahteraan para petani di Indonesia. Salah satu upaya yang telah dilakukan ialah dengan mengembangkan digitalisasi data pertanian. Kegiatan ini terwujud berkat kerja sama dengan United Nation Development Programme (UNDP).
Kerja sama ini untuk memberikan metode ukur dan mengetahui seperti apa yang dibutuhkan dan bagaimana kondisi petani Indonesia. Sejauh ini banyak kesimpang siuran pada data petani di Indonesia.
"Kita bekerja sama dengan UNDP memberikan metode ukur yang terarah. Tujuannya adalah agar kita benar-benar mengerti siapa dan apa yang dibutuhkan kondisi petani," ungkapnya
Terang dia kerja sama ini akan memberikan dukungan kepada 12.500 petani rekanan, sehingga kedepan Ewindo akan lebih mengenal kehidupan mereka, dan apa yang dibutuhkan. "Contohnya kami dapat di Karawang. Mereka tidak punya lahan dari situ. Ini program pertama yakni dengan memberikan informasi digitalisasi data petani yang sesuai kebutuhan. UNDP mendukung sistemnya," papar dia.
Sementara Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan, beberapa yang perlu diantisipasi ialah ketidakpastian iklim. Oleh sebab itu, dia menyambut baik upaya Ewindo menerapkan teknologi dan sistem produksi yang lebih adaptif terhadap ketidakpastian tersebut.
"Langkah Tanah Merah merupakan langkah yang tepat, karena informasi sangat penting bagi perusahaan holtikultura dalam membuat bisnis plan," tambahnya.
Dengan antisipasi itu, Bayu memperkirakan agribisnis holtikultura terutama sayuran akan tumbuh signifikan pada tahun 2017-2018, yakni sekitar 4,7%-16,1%. "Total nilai agribisnis dari sayuran diperkirakan Rp112 triliun dan di dalamnya termasuk perkiraan USD421 juta produk impor. Dengan demikian 94,9% kebutuhan sayur dalam negeri telah tercukupi oleh produksi dalam negeri," ujar Bayu.
Managing Director Ewindo Glenn Pardede mengatakan teknologi digital harus mulai diterapkan di pertanian termasuk holtikultura. Hal ini demi mendapatkan data petani yang akurat. Oleh karena itu pada program terbarunya nanti, akan diluncurkan aplikasi mobile pada tablet untuk mengetahui data petani dan apa yang menjadi kebutuhannya.
"Kita siapkan program cukup besar yakni aplikasi Sipindo (sistem aplikasi petani Indonesia). Kami akan buat nanti bulan April diluncurkan untuk 100 ribu petani di Jawa dengan fokus tanaman cabai, timun dan tomat," ucapnya dalam jumpa pers kemarin di Jakarta, Selasa (14/3/2017).
Lebih lanjut dia menjelaskan, nantinya dalam Sipindo akan dibuat program big data dengan bantuan dari Belanda (smart seed) yang nilainya mencapai 3 juta euro. Di smart seed tersebut menggunakan sistem satelit sehingga bisa memetakan cuaca, iklim, apakah daerah itu banjir atau tidak.
"Masalah kami hadapi misalnya ketika menanam semangka di Pandeglang tidak banjir, tapi tiba-tiba saat mau panen justru banjir. Nah program ini akan memberi tahu titik mana saja yang aman dari banjir dan yang bisa ditanam, serta bagaimana curah hujannya," jelas Gleen.
Menurutnya rencana tersebut merupakan bukti untuk meningkatkan kesejahteraan para petani di Indonesia. Salah satu upaya yang telah dilakukan ialah dengan mengembangkan digitalisasi data pertanian. Kegiatan ini terwujud berkat kerja sama dengan United Nation Development Programme (UNDP).
Kerja sama ini untuk memberikan metode ukur dan mengetahui seperti apa yang dibutuhkan dan bagaimana kondisi petani Indonesia. Sejauh ini banyak kesimpang siuran pada data petani di Indonesia.
"Kita bekerja sama dengan UNDP memberikan metode ukur yang terarah. Tujuannya adalah agar kita benar-benar mengerti siapa dan apa yang dibutuhkan kondisi petani," ungkapnya
Terang dia kerja sama ini akan memberikan dukungan kepada 12.500 petani rekanan, sehingga kedepan Ewindo akan lebih mengenal kehidupan mereka, dan apa yang dibutuhkan. "Contohnya kami dapat di Karawang. Mereka tidak punya lahan dari situ. Ini program pertama yakni dengan memberikan informasi digitalisasi data petani yang sesuai kebutuhan. UNDP mendukung sistemnya," papar dia.
Sementara Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan, beberapa yang perlu diantisipasi ialah ketidakpastian iklim. Oleh sebab itu, dia menyambut baik upaya Ewindo menerapkan teknologi dan sistem produksi yang lebih adaptif terhadap ketidakpastian tersebut.
"Langkah Tanah Merah merupakan langkah yang tepat, karena informasi sangat penting bagi perusahaan holtikultura dalam membuat bisnis plan," tambahnya.
Dengan antisipasi itu, Bayu memperkirakan agribisnis holtikultura terutama sayuran akan tumbuh signifikan pada tahun 2017-2018, yakni sekitar 4,7%-16,1%. "Total nilai agribisnis dari sayuran diperkirakan Rp112 triliun dan di dalamnya termasuk perkiraan USD421 juta produk impor. Dengan demikian 94,9% kebutuhan sayur dalam negeri telah tercukupi oleh produksi dalam negeri," ujar Bayu.
(akr)