Belajar Value Investing 7.0
A
A
A
Syahdan, ada seorang investor saham bernama Lo Kheng Hong (LKH). Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Tahun 1989, saat berusia 30 tahun, ia mulai berinvestasi saham sembari bekerja di bank. Tujuh tahun kemudian ia berhenti bekerja dan fokus berinvestasi saham. Kini ia telah sukses dan dijuluki Warren Buffett of Indonesia.
Mari kita belajar sejurus dua jurus dari “pendekar saham” yang rendah hati ini. Minggu lalu kita sudah belajar bagaimana LKH meraup keuntungan dari membeli saham perusahaan batu bara, PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Ia membeli saham BUMI pada Januari 2009, menjualnya delapan bulan kemudian dan menikmati keuntungan 550%.
LKH membeli kembali saham BUMI tahun 2012 di harga Rp1.000. Mengapa? “Saya membeli saham BUMI karena mempunyai cadangan batu bara yang terbukti sebanyak 3 miliar ton, berdasarkan Joint Ore Reserves Committee,” ujar LKH.
“Saat itu harga batu bara adalah sekitar USD80 per metrik ton. Maka kekayaan BUMI adalah USD240 miliar,” imbuhnya.
Memang saat itu BUMI adalah eksportir batu bara termal terbesar di dunia. Penjualannya pada akhir 2011 adalah USD4 miliar. Menurut LKH, Rothschild, investor kelas kakap dari Inggris juga berinvestasi di BUMI. Bahkan Borneo, sebuah perusahaan batu bara, rela berutang ke Standard Chartered USD1 miliar demi membeli saham BUMI. Apakah LKH tidak khawatir dengan utang BUMI yang besar?
“BUMI memang punya utang USD5 miliar, tetapi jika dibandingkan dengan cadangan batu baranya yang besar, utang tersebut terlihat kecil,” kata LKH.
Namun harga saham BUMI terus turun akibat anjloknya harga batu bara. Meskipun demikian, LKH terus membeli saham BUMI, bahkan ketika harganya menyentuh Rp50 per saham. “Ketika harganya Rp50, saya menghabiskan sisa uang saya untuk membeli saham BUMI,” kenang LKH.
Ia mengoleksi hingga 1 miliar saham BUMI atau memiliki 2,7% dari total 36,6 miliar saham BUMI yang beredar. Saham BUMI kemudian “tidur panjang” di harga Rp50 pada periode Agustus 2015 hingga Juni 2016. Malah, di pasar negosiasi, saham BUMI diperdagangkan di bawah Rp50.
Transaksi harian saham BUMI juga sepi, hanya ratusan ribu hingga ratusan juta rupiah. Padahal sebelum 2009, BUMI sempat menjadi “saham sejuta umat” lantaran peminatnya sangat banyak. Transaksi harian saham BUMI saat itu tak pernah sepi. LKH menceritakan pengalamannya saat BUMI terpuruk. “Ketika harga saham BUMI berada di Rp50 dan tidak bergerak, sebagian orang senang. Seperti iklan rokok, senang lihat orang susah dan susah lihat orang senang,” kata LKH.
Saat harga saham BUMI yang enggan beranjak di level terendah, banyak temannya yang berpikir bahwa kali ini LKH kena batunya. Ketika berjumpa, mereka menanyakan bagaimana kabar saham BUMI yang dipegang LKH. Namun ia menjawab dengan santai, “The game is not over yet....” Kadang ia menjawab dengan bahasa Mandarin, “Hai yusiwang,” yang artinya masih ada harapan.
Lalu mengapa LKH tidak tergoda untuk menjual rugi saham BUMI yang dia pegang? “Saya bisa bertahan untuk tetap memegang saham BUMI karena yakin angka Rp50 adalah harga tidak wajar alias salah harga,” ucapnya.
Dengan jumlah saham beredar sebanyak 36,6 miliar, nilai pasar ekuitas BUMI hanya sebesar Rp1,83 triliun. Dengan asumsi kurs rupiah sebesar Rp13.000 per dolar, nilai perusahaan BUMI saat harga sahamnya Rp50 per saham adalah USD135 juta. “Padahal cadangan batu bara BUMI 3 miliar ton. Murah, bukan?” kata LKH.
Ia juga tidak risau dengan penurunan harga tersebut. “Andaikan investasi saya di BUMI habis pun saya masih kaya,” ujar LKH tanpa bermaksud menyombongkan diri. Turunnya harga saham BUMI secara drastis disebabkan tiga hal. Pertama, turunnya pendapatan BUMI akibat jatuhnya harga batu bara hingga mencapai titik terendah di kisaran USD41 per metrik ton pada Januari 2016.
Kedua , beban utang yang begitu besar hingga membuat perusahaan kesulitan membayar. Ketiga, tata kelola korporasi (good corporate governance) BUMI yang kurang baik. Tentang hal terakhir ini LKH mengakui bahwa ia sempat mengabaikannya. “Karena BUMI memiliki kekayaan yang luar biasa besar hingga USD240 miliar, saya mengabaikan aspek tata kelola dan manajemen yang sangat penting ini.”
Agustus 2016 harga batu bara mulai berbalik arah. BUMI berhasil menyelesaikan proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Lalu pada November 2016, para kreditor BUMI menyetujui usulan konversi utang menjadi saham. Melalui skema ini, utang BUMI senilai USD4,2 miliar akan berkurang menjadi tinggal USD1,6 miliar.
Beban bunga BUMI juga akan berkurang sekitar USD250 juta setiap tahun. Yang menarik, kreditor BUMI menghargai BUMI Rp926,16 per saham. Akibatnya, harga saham BUMI bergerak naik secara cepat hingga sekitar Rp500. LKH lantas melepas sekitar 90% sahamnya pada harga tersebut. Dengan harga rata-rata pembelian sekitar Rp300, LKH masih menikmati keuntungan yang cukup besar meski harus mengalami penurunan harga saham BUMI yang tajam.
“Saya mendapat pelajaran yang sangat berarti dari membeli saham BUMI kali ini. Ilmu saham saya naik ke tingkat lebih tinggi dan saya menjadi lebih hati-hati dan pintar,” kata LKH. “Pelajaran utama yang saya dapat adalah jangan membeli perusahaan yang tata kelola dan manajemennya tidak baik.”
Lukas Setia Atmaja
Financial Expert- Prasetiya Mulya Business School, Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)
Mari kita belajar sejurus dua jurus dari “pendekar saham” yang rendah hati ini. Minggu lalu kita sudah belajar bagaimana LKH meraup keuntungan dari membeli saham perusahaan batu bara, PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Ia membeli saham BUMI pada Januari 2009, menjualnya delapan bulan kemudian dan menikmati keuntungan 550%.
LKH membeli kembali saham BUMI tahun 2012 di harga Rp1.000. Mengapa? “Saya membeli saham BUMI karena mempunyai cadangan batu bara yang terbukti sebanyak 3 miliar ton, berdasarkan Joint Ore Reserves Committee,” ujar LKH.
“Saat itu harga batu bara adalah sekitar USD80 per metrik ton. Maka kekayaan BUMI adalah USD240 miliar,” imbuhnya.
Memang saat itu BUMI adalah eksportir batu bara termal terbesar di dunia. Penjualannya pada akhir 2011 adalah USD4 miliar. Menurut LKH, Rothschild, investor kelas kakap dari Inggris juga berinvestasi di BUMI. Bahkan Borneo, sebuah perusahaan batu bara, rela berutang ke Standard Chartered USD1 miliar demi membeli saham BUMI. Apakah LKH tidak khawatir dengan utang BUMI yang besar?
“BUMI memang punya utang USD5 miliar, tetapi jika dibandingkan dengan cadangan batu baranya yang besar, utang tersebut terlihat kecil,” kata LKH.
Namun harga saham BUMI terus turun akibat anjloknya harga batu bara. Meskipun demikian, LKH terus membeli saham BUMI, bahkan ketika harganya menyentuh Rp50 per saham. “Ketika harganya Rp50, saya menghabiskan sisa uang saya untuk membeli saham BUMI,” kenang LKH.
Ia mengoleksi hingga 1 miliar saham BUMI atau memiliki 2,7% dari total 36,6 miliar saham BUMI yang beredar. Saham BUMI kemudian “tidur panjang” di harga Rp50 pada periode Agustus 2015 hingga Juni 2016. Malah, di pasar negosiasi, saham BUMI diperdagangkan di bawah Rp50.
Transaksi harian saham BUMI juga sepi, hanya ratusan ribu hingga ratusan juta rupiah. Padahal sebelum 2009, BUMI sempat menjadi “saham sejuta umat” lantaran peminatnya sangat banyak. Transaksi harian saham BUMI saat itu tak pernah sepi. LKH menceritakan pengalamannya saat BUMI terpuruk. “Ketika harga saham BUMI berada di Rp50 dan tidak bergerak, sebagian orang senang. Seperti iklan rokok, senang lihat orang susah dan susah lihat orang senang,” kata LKH.
Saat harga saham BUMI yang enggan beranjak di level terendah, banyak temannya yang berpikir bahwa kali ini LKH kena batunya. Ketika berjumpa, mereka menanyakan bagaimana kabar saham BUMI yang dipegang LKH. Namun ia menjawab dengan santai, “The game is not over yet....” Kadang ia menjawab dengan bahasa Mandarin, “Hai yusiwang,” yang artinya masih ada harapan.
Lalu mengapa LKH tidak tergoda untuk menjual rugi saham BUMI yang dia pegang? “Saya bisa bertahan untuk tetap memegang saham BUMI karena yakin angka Rp50 adalah harga tidak wajar alias salah harga,” ucapnya.
Dengan jumlah saham beredar sebanyak 36,6 miliar, nilai pasar ekuitas BUMI hanya sebesar Rp1,83 triliun. Dengan asumsi kurs rupiah sebesar Rp13.000 per dolar, nilai perusahaan BUMI saat harga sahamnya Rp50 per saham adalah USD135 juta. “Padahal cadangan batu bara BUMI 3 miliar ton. Murah, bukan?” kata LKH.
Ia juga tidak risau dengan penurunan harga tersebut. “Andaikan investasi saya di BUMI habis pun saya masih kaya,” ujar LKH tanpa bermaksud menyombongkan diri. Turunnya harga saham BUMI secara drastis disebabkan tiga hal. Pertama, turunnya pendapatan BUMI akibat jatuhnya harga batu bara hingga mencapai titik terendah di kisaran USD41 per metrik ton pada Januari 2016.
Kedua , beban utang yang begitu besar hingga membuat perusahaan kesulitan membayar. Ketiga, tata kelola korporasi (good corporate governance) BUMI yang kurang baik. Tentang hal terakhir ini LKH mengakui bahwa ia sempat mengabaikannya. “Karena BUMI memiliki kekayaan yang luar biasa besar hingga USD240 miliar, saya mengabaikan aspek tata kelola dan manajemen yang sangat penting ini.”
Agustus 2016 harga batu bara mulai berbalik arah. BUMI berhasil menyelesaikan proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Lalu pada November 2016, para kreditor BUMI menyetujui usulan konversi utang menjadi saham. Melalui skema ini, utang BUMI senilai USD4,2 miliar akan berkurang menjadi tinggal USD1,6 miliar.
Beban bunga BUMI juga akan berkurang sekitar USD250 juta setiap tahun. Yang menarik, kreditor BUMI menghargai BUMI Rp926,16 per saham. Akibatnya, harga saham BUMI bergerak naik secara cepat hingga sekitar Rp500. LKH lantas melepas sekitar 90% sahamnya pada harga tersebut. Dengan harga rata-rata pembelian sekitar Rp300, LKH masih menikmati keuntungan yang cukup besar meski harus mengalami penurunan harga saham BUMI yang tajam.
“Saya mendapat pelajaran yang sangat berarti dari membeli saham BUMI kali ini. Ilmu saham saya naik ke tingkat lebih tinggi dan saya menjadi lebih hati-hati dan pintar,” kata LKH. “Pelajaran utama yang saya dapat adalah jangan membeli perusahaan yang tata kelola dan manajemennya tidak baik.”
Lukas Setia Atmaja
Financial Expert- Prasetiya Mulya Business School, Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)
(akr)