BPK Minta Produksi Listrik Lebih Efisien
A
A
A
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali mengingatkan PT PLN (Persero) agar efisien dalam produksi listrik, agar kasus ketidakhematan atau inefisiensi PLN pada 2009 dan 2010 tidak terulang lagi. Apalagi PLN mendapat tanggung jawab cukup besar dari pemerintah yakni tambahan pasokan listrik sebanyak 35.000 megawatt (MW).
"PLN harus efisien, kesalahan management lama yang membangun dan memproduksi listrik berbasis solar adalah tindakan yang tidak efisien," kata Anggota BPK Achsanul Kosasih, di Jakarta, Senin (3/4/2017).
Pada laporan hasil pemeriksaan BPK-RI Nomor: 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tertanggal 16 September 2011, salah satunya menemukan inefisiensi dalam penggunaan bahan bakar untuk produksi listrik. Sebanyak 8 pembangkit yang harusnya dioperasikan menggunakan bahan bakar gas, tapi justru menggunakan bahan bakar minyak yakni high speed diesel (HSD) atau solar.
Seperti pembangkit Tambak Lorok pada 2009 inefisiensi Rp2,71 triliun dan pada 2010 inefisiensi Rp2,61 triliun, pembangkit Tanjung Priok inefisiensi Rp5,08 triliun pada 2009 sedangkan pada 2010 inefisiensi Rp6,23 triliun.
Dari 8 pembangkit dalam laporan BPK tersebut, PLN kehilangan kesempatan untuk melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp17,9 triliun pada 2009 dan Rp19,6 triliun pada 2010. "Ini jangan sampai terulang, jangan ada lagi pembangkit PLN yang salah minum," imbuh dia.
Achsanul menambahkan, PLN juga harus mengurangi pembangkit listrik yang saat ini masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan segera dialihkan ke batu bara dan gas, terkecuali di beberapa daerah yang memang kesulitan pasokan batu bara dan gas.
Dia menegaskan, apalagi perusahaan listri pelat merah itu diberi tanggung jawab menggarap proyek 35.000 MW, jangan sampai proyek fast track program pertama (FTP-1) 10.000 MW terulang kembali pada proyek 35.000 MW. "Pada FTP-1 10.000 MW saat ini hanya 48% yang berfungsi menyumbang kapasitas pasokan listrik," tuturnya.
BPK juga menemukan, saat ini pembangkit-pembangkit solar rata-rata sudah rusak. Karena, pemasok dari China hanya menjual mesin dan suku cadang, sedangkan untuk pemeliharaan tidak tersedia.
"Sehingga terjadi kanibalisasi dan pemborosan keuangan negara. Bahkan pemasoknya sudah tidak bisa dihubungi, sehingga PLN kebingungan dan harus menggantinya dengan pembangkit lain yang tentunya membutuhkan pembangunan transmisi baru," tutup Achsanul.
"PLN harus efisien, kesalahan management lama yang membangun dan memproduksi listrik berbasis solar adalah tindakan yang tidak efisien," kata Anggota BPK Achsanul Kosasih, di Jakarta, Senin (3/4/2017).
Pada laporan hasil pemeriksaan BPK-RI Nomor: 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tertanggal 16 September 2011, salah satunya menemukan inefisiensi dalam penggunaan bahan bakar untuk produksi listrik. Sebanyak 8 pembangkit yang harusnya dioperasikan menggunakan bahan bakar gas, tapi justru menggunakan bahan bakar minyak yakni high speed diesel (HSD) atau solar.
Seperti pembangkit Tambak Lorok pada 2009 inefisiensi Rp2,71 triliun dan pada 2010 inefisiensi Rp2,61 triliun, pembangkit Tanjung Priok inefisiensi Rp5,08 triliun pada 2009 sedangkan pada 2010 inefisiensi Rp6,23 triliun.
Dari 8 pembangkit dalam laporan BPK tersebut, PLN kehilangan kesempatan untuk melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp17,9 triliun pada 2009 dan Rp19,6 triliun pada 2010. "Ini jangan sampai terulang, jangan ada lagi pembangkit PLN yang salah minum," imbuh dia.
Achsanul menambahkan, PLN juga harus mengurangi pembangkit listrik yang saat ini masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan segera dialihkan ke batu bara dan gas, terkecuali di beberapa daerah yang memang kesulitan pasokan batu bara dan gas.
Dia menegaskan, apalagi perusahaan listri pelat merah itu diberi tanggung jawab menggarap proyek 35.000 MW, jangan sampai proyek fast track program pertama (FTP-1) 10.000 MW terulang kembali pada proyek 35.000 MW. "Pada FTP-1 10.000 MW saat ini hanya 48% yang berfungsi menyumbang kapasitas pasokan listrik," tuturnya.
BPK juga menemukan, saat ini pembangkit-pembangkit solar rata-rata sudah rusak. Karena, pemasok dari China hanya menjual mesin dan suku cadang, sedangkan untuk pemeliharaan tidak tersedia.
"Sehingga terjadi kanibalisasi dan pemborosan keuangan negara. Bahkan pemasoknya sudah tidak bisa dihubungi, sehingga PLN kebingungan dan harus menggantinya dengan pembangkit lain yang tentunya membutuhkan pembangunan transmisi baru," tutup Achsanul.
(akr)