Jokowi Didesak Evaluasi Aturan Harga Listrik Energi Terbarukan

Senin, 17 April 2017 - 10:33 WIB
Jokowi Didesak Evaluasi...
Jokowi Didesak Evaluasi Aturan Harga Listrik Energi Terbarukan
A A A
JAKARTA - Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mendesak pemerintah untuk mengevaluasi Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Kebijakan baru ini dinilai kontra produktif dengan pengembangan energi terbarukan.

Ketua Umum METI Surya Darma mengungkapkan, pemerintah harus menetapkan kebijakan yang bersifat jangka panjang dan dapat memberikan kepastian bagi investor atau pengembang energi terbarukan.

Apalagi, lanjut dia, pengembangan energi terbarukan butuh waktu panjang. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) memerlukan waktu enam tahun, sedangkan pengembangan panas bumi memerlukan waktu 7-9 tahun mulai dari fase eksplorasi hingga mulai beroperasi.

"Pemerintah harus menetapkan kebijakan yang bersifat jangka panjang yang dapat memberikan kepastian bagi pengembang," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (17/4/2017).

Terbitnya Permen ESDM No 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dinilai sebagai kebijakan yang bisa menghambat pengembangan energi terbarukan. Alasannya, penerapan tarif maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) sangat kontra produktif dengan pengembangan energi terbarukan.

Apalagi, pembatasan tarif sebesar 85% BPP juga pernah diberlakukan terhadap listrik panas bumi. Ketika itu, melalui Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2008 tentang Harga Patokan Penjualan Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi. Namun, aturan ini tidak bisa diterapkan hingga akhirnya diganti dengan kebijakan baru.

Kini, dalam peraturan baru, pemerintah menetapkan patokan harga maksimal untuk listrik bukan hanya dari panas bumi, melainkan juga dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, dan sampah. Kondisi seperti itu membuat para investor prihatin.

Keprihatinan investor karena ketidakjelasan pemerintah dalam menetapkan pembatasan tersebut. Selain kondisi yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain, besaran BPP akan selalu berubah dari waktu ke waktu.

Sementara, proses pengembangan energi terbarukan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. "Kami sudah mengirimkan surat kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk mengevaluasi Permen No 12/2017," paparnya.

Menurutnya, langkah METI ini mendapat dukungan dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Bahkan, Kadin telah menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meninjau kembali peraturan yang ditandatangani Menteri ESDM Ignasius Jonan pada 27 Januari 2017.

Dalam suratnya, Ketua Umum Kadin Rosan P Roeslani menyatakan sangat menyayangkan terbitnya Permen ESDM No 12/2017 yang dinilai justru membuat semangat berinvestasi di sektor energi terbarukan menjadi surut. Kebijakan ini juga membuat iklim investasi di Indonesia semakin tidak kondusif setelah sektor-sektor lainnya juga mengalami kelesuan.

"Kadin telah menerima keluhan dari asosiasi-asosiasi usaha di bidang energi terbarukan yang menyatakan bahwa para pelaku usaha terpaksa menghentikan kegiatan usahanya akibat Biaya Pokok Produksi (BPP) Pembangkit Listrik yang dipatok terlalu rendah di seluruh wilayah Indonesia," ujar Rosan dalam surat tersebut.

Kadin menegaskan memahami bahwa Permen ESDM tersebut dapat menekan subsidi listrik melalui penurunan BPP Pembangkit listrik. Namun Presiden Jokowi diminta untuk melakukan kajian lebih jauh mengenai pemanfaatan energi terbarukan di daerah terpencil, yang dinilai justru dapat menghemat APBN karena dapat menggantikan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) Diesel yang biaya produksinya jauh lebih mahal dan saat ini masih memproduksi sebesar 2.000 MW.

"Jika diganti dengan PLT Biomassa maka dapat menghemat APBN hingga Rp17 triliun setiap tahunnya," mengutip surat Kadin tersebut.

Lebih lanjut, Kadin menilai bahwa keberpihakan terhadap industri energi terbarukan ini dapat menstimulasi pembangunan daerah tanpa membebani APBN karena akan didanai oleh lembaga-lembaga pendanaan internasional seperti Green Climate Fund. Skema ini sejalan dengan harapan Presiden Jokowi yang disampaikan pada forum COP 21 di Paris.

Kadin melihat adanya potensi investasi sebesar USD4 miliar untuk pembangunan 4.000 MW pembangkit listrik dari energi terbarukan. Investasi sebesar itu, menurut Kadin, dapat diperoleh melalui regulasi yang ramah terhadap dunia usaha sehingga menarik bagi investor dan pengembang.

"Karena itu, perkenankan kami untuk mengusulkan kepada Bapak Presiden agar Permen ESDM tersebut ditinjau kembali serta mempertimbangkan agar mekanisme Feed in Tariff dapat diterapkan karena paling sesuai dengan kondisi industri energi terbarukan yang masih merintis," paparnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1391 seconds (0.1#10.140)