Pemerintah Diminta Kedepankan Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan
A
A
A
JAKARTA - Semakin menurunnya kualitas udara di kota-kota besar akibat polusi harus menjadi perhatian utama pemerintah dengan mengedepankan penggunaan energi baru dan terbarukan. Krisis pemanasan global sudah di depan mata dan menjadi ancaman serius.
Demikian paparan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha dalam acara World Bank Civil Society Forum yang digelar di Washington DC, Amerika Serikat.
"Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak krisis pemanasan global dan perubahan iklim. Ini yang harus menjadi perhatian kita untuk tidak mengabaikan isu tersebut," kata Satya dalam rilisnya yang diterima SINDOnews, Senin (24/4/2017).
Menurutnya, penyumbang emisi karbon di Indonesia terbesar berasal dari Land Use Land Use Change and Forestry (LULUCF) yang mencapai 50%. Sementara sektor energi menyumbang emisi 30% yang berasal dari transportasi (12%). "90 persen penyebab polusi udara dari BBM transportasi darat," ujar Satya.
Lebih lanjut, dia memberikan apresiasi bahwa selama 2,5 tahun periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo terdapat berbagai upaya nasional mengantisipasi dan memitigasi dampak perubahan iklim tersebut sebagai bagian dari komitmen internasional dan juga sebagai inisiatif dan aksi strategis pemerintah ke depan.
"Indonesia harus mengambil peran penting sebagai negara yang aktif mengkampanyekan perubahan iklim. Pemerintah dan DPR terus bersinergi sejak penandatanganan persetujuan Paris (COP21)," jelas wakil rakyat dari Partai Golkar ini.
SWY, demikian ia biasa disapa, menggarisbawahi bahwa visi pembangunan energi ke depan harus menitikberatkan pada pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
Seperti diketahui, pada 2015, bauran energi nasional terdiri dari 39% minyak, 22% gas, 29% batubara, dan 10% EBT. Pada 2025 bauran energi tersebut direncanakan menjadi 25% minyak, 22% gas, 30% batu bara, dan 23% EBT; dan pada tahun 2050 menjadi 20% minyak, 24% gas, 25% batu bara, dan 31% EBT.
"DPR akan terus mendukung visi pemerintah tentang bauran energi hingga 2050 yang mengutamakan penggunaan EBT hingga 31%. Bahkan, kami di Komisi VII juga mendorong pembentukan UU EBT," tandasnya.
Sebab, lanjut SWY, energi di masa depan ditentukan oleh seberapa besar pemanfaatan terhadap energi baru dan terbarukan.
"Negara-negara maju saat ini mulai beralih ke EBT. Indonesia harus konsisten penggunaan EBT ke depan mulai dari konversi ke BBG dalam bentuk CNG serta mengubah BBM kita yang beroktan 88 ke Euro 4 bahkan Euro5 untuk menjamin energi bersih," beber Satya.
Demikian paparan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha dalam acara World Bank Civil Society Forum yang digelar di Washington DC, Amerika Serikat.
"Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak krisis pemanasan global dan perubahan iklim. Ini yang harus menjadi perhatian kita untuk tidak mengabaikan isu tersebut," kata Satya dalam rilisnya yang diterima SINDOnews, Senin (24/4/2017).
Menurutnya, penyumbang emisi karbon di Indonesia terbesar berasal dari Land Use Land Use Change and Forestry (LULUCF) yang mencapai 50%. Sementara sektor energi menyumbang emisi 30% yang berasal dari transportasi (12%). "90 persen penyebab polusi udara dari BBM transportasi darat," ujar Satya.
Lebih lanjut, dia memberikan apresiasi bahwa selama 2,5 tahun periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo terdapat berbagai upaya nasional mengantisipasi dan memitigasi dampak perubahan iklim tersebut sebagai bagian dari komitmen internasional dan juga sebagai inisiatif dan aksi strategis pemerintah ke depan.
"Indonesia harus mengambil peran penting sebagai negara yang aktif mengkampanyekan perubahan iklim. Pemerintah dan DPR terus bersinergi sejak penandatanganan persetujuan Paris (COP21)," jelas wakil rakyat dari Partai Golkar ini.
SWY, demikian ia biasa disapa, menggarisbawahi bahwa visi pembangunan energi ke depan harus menitikberatkan pada pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
Seperti diketahui, pada 2015, bauran energi nasional terdiri dari 39% minyak, 22% gas, 29% batubara, dan 10% EBT. Pada 2025 bauran energi tersebut direncanakan menjadi 25% minyak, 22% gas, 30% batu bara, dan 23% EBT; dan pada tahun 2050 menjadi 20% minyak, 24% gas, 25% batu bara, dan 31% EBT.
"DPR akan terus mendukung visi pemerintah tentang bauran energi hingga 2050 yang mengutamakan penggunaan EBT hingga 31%. Bahkan, kami di Komisi VII juga mendorong pembentukan UU EBT," tandasnya.
Sebab, lanjut SWY, energi di masa depan ditentukan oleh seberapa besar pemanfaatan terhadap energi baru dan terbarukan.
"Negara-negara maju saat ini mulai beralih ke EBT. Indonesia harus konsisten penggunaan EBT ke depan mulai dari konversi ke BBG dalam bentuk CNG serta mengubah BBM kita yang beroktan 88 ke Euro 4 bahkan Euro5 untuk menjamin energi bersih," beber Satya.
(ven)